ᴇɴᴀᴍ ʙᴇʟᴀs

• secretalove •

Selamat pagi, Gelora!

Aku melangkah mantap keluar dari lapangan parkir bersama Sherly yang memasang topi bucket hitam di kepala dan kacamata photochromic andalannya. Ia mengeluh ketika jarak jalan yang kami tempuh cukup jauh hingga stadion. Mengabaikan keluhan Sherly, aku mengirim pesan pada Andra bahwa kami sedang menuju lokasi utama.

Ini hari minggu. Sejak tahun 2007 lalu, di mana pemerintah menjalankan program Car Free Day, warga menyambut antusias dan mulai bergerak pada gaya hidup sehat. Karena itulah, Andra mengajakku ke tempat ini. Tempat yang akan menjadi sesi foto kali ini, Gelora Bung Karno.

"Wey, bidadari udah sampe!" Joni berteriak sembari melambaikan tangan. Semangat sekali Joni hari ini.

Aku tidak membalas sapaannya. Hanya sekadar tertawa pelan seraya menggelengkan kepala.

"Seriusan jadi ikutan FOGAMA, Ra?" Joni bertanya lagi, ia menyalami aku dan Sherly kemudian mundur untuk menghindari pejalan kaki atau pelari sekitar ring road stadion utama. 

"Belum tau, Jon. Emangnya buka pendaftaran?" Aku sedikit meringis menatap Joni.

"Nggak, sih. Cuma sebentar lagi, 'kan, pendaftaran MABA. Jadi pasti buka pendaftaran baru dong. Daftar aja, Ra."

Joni mengusulkan sesuatu seolah itu sangat mudah dilakukan. Padahal, pendaftaran mahasiswa baru saja masih sekitar tiga bulan ke depan akan dibuka.

"Tema kali ini apa?" Aku bertanya ketika Andra memasang sebuah tripod ukuran besar. Tingginya mencapai dada orang dewasa, dengan tiga kaki yang kokoh di setiap sisinya. Aku yakin ini bukan foto biasa.

"Jangan bilang Maura suruh jadi model kalian lagi! Gue kenain tarif nanti," ancam Sherly tepat di hadapan Andra. Padahal sejak tadi ia sibuk mengipasi wajahnya yang tertutup kacamata dan masker.

"Galak banget, Nenek Lampir." Selorohan itu keluar dari mulut Rafli yang baru saja datang dari arah barat. Ia membagikan name card bertuliskan visitor pada semuanya dan meminta kami semua untuk mengikutinya hingga ke Stadion Madya yang berseberangan dengan lapangan panahan.

Mataku berbinar! Napasku sedikit tertahan ketika melihat pemain Timnas yang biasanya ada di depan layar televisi kini berada tepat di hadapanku. Iya! Ternyata Andra dan teman-temannya akan melakukan sesi latihan sport photography.

Aku mengangguk antusias ketika Andra memintaku berjalan bersamanya. Ini luar biasa! Garuda Muda yang kerap mengharumkan nama negara ada di hadapan kami.

"Keren loh, Ndra." Aku berbisik di sebelah Andra. "Apalagi sekalian bisa lihat idola. Jadi ini alasan kalian suka dunia fotografi?"

Andra tidak menjawab, seperti biasa, ia hanya mengulas senyum simpul kemudian menatapku dengan tatapan meyakinkan agar aku mau lebih dalam mempelajari dunia fotografi.

Andra membuka kembali kaki tripod yang tadi sempat ia rapatkan. Memasang sebuah kamera profesional beserta lensanya, dan memasang kabel data yang kemudian ia sambungkan dengan tablet berukuran sepuluh inchi.

"Kamu pegang ini, Ra." Andra memberikan tablet yang tersambung dengan kameranya padaku. Aku menerimanya dan masih memperhatikan apa yang Andra lakukan dengan kamera itu. Ternyata, ia memasang tablet untuk digunakan sebagai monitor eksternal.

Aku menatap layar dengan antusias. Melihat dengan jelas proses latihan pemain TimNas dari balik layar secara dekat adalah satu buah keistimewaan.

"Ndra, aku mau lihat dari versi kameranya dong!" Aku menatap Andra yang tengah membidik melalui lubang viewfinder.

"Yaudah, sini. Kasih tablet itu ke Sherly."

Dengan cepat aku menodongkan tablet itu ke Sherly, berdiri di sebelah Andra dan menunduk untuk dapat mengintip melalui lubang viewfinder menggantikan Andra.

Andra mengarahkan tangan kiriku pada badan lensa, sementara tangan kanannya bergerak mengarahkan tanganku pada tombol rana.

"Atur dulu focal length-nya sampe seberapa jarak gambar yang mau kamu ambil." Jemari Andra menuntun jariku untuk pada focal length dan memutarnya ke arah kanan untuk mendekatkan gambar.

Aku bergerak, mencoba memberikan kode bahwa aku tidak nyaman berada di dalam kungkungan tangan Andra dan kamera. Untungnya Andra mengenali signal yang aku berikan, ia bergerak mundur dan berdiri dengan sikap kikuk di sampingku.

"Gambarnya agak burem deh."

Itu suara Sherly. Ternyata ia sibuk dengan gambar yang terpampang pada tablet yang tadi kuberikan.

"Coba geser tombol rol yang ada di samping viewfinder, Ra." Andra menginstruksikan. Ia bergerak tidak nyaman ketika aku menatapnya.

"Nah! Udah bagus lagi." Sherly mengacungkan jempol sebelah kanan, meski tatapan matanya tidak teralih sama sekali dari tablet yang ia genggam.

"Itu tombol apa?" Aku menjadi penasaran dengan fungsi tombol-tombol yang ada di benda hitam berkulit jeruk itu.

"Itu diopter, untuk koreksi fokus dan ngembaliin ketajaman viewfinder supaya sesuai sama spesifikasi mata pemakainya." Andra menjelaskan.

Ohh begitu, aku baru tahu kalau ada fungsi kamera yang begitu detail hingga mempengaruhi spesifikasi mata. Sepertinya, aku mulai tertarik dengan dunia fotografi.

Anggota FOGAMA yang lain melakukan hal yang sama. Joni dengan Rafli berbagi tugas siapa yang menjadi eksekutor, siapa yang moderator. Begitu pula dengan Fikri dan Dellis, mereka melakukan hal yang sama di barisan paling ujung. Mereka terlihat kompak, padahal Dellis satu-satunya perempuan dari FOGAMA yang ikut pada sesi foto kali ini.

****

Seperti biasa--setelah selesai dengan sesi foto--kami akan menuju coffeshop milik Andres. Bukan! Bukan untuk meminta konsultasi perihal proses editing. Hanya mampir untuk sekadar minum kopi atau menceritakan pengalaman.

Sebetulnya, aku sudah menolak dengan alasan harus mengantar Sherly pulang ke rumah. Namun, ketika Rafli menanyakan rumah Sherly, ternyata mereka searah dan dengan sepihak Rafli memutuskan agar kami tetap ikut dan urusan kepulangan Sherly menjadi tanggung jawabnya.

"Emangnya Kak Ubay bakal ada di kafe, Ndra?" tanya Sherly ketika kami berjalan menuju parkir yang terletak di sebelah lapangan panahan.

"Ada. Emang Ubay mau di mana kalo bukan di kafe? Kan dia emang tinggal di sana."

"Tinggal di sana?" Aku membeo.

Andra hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Lah. Lo tinggal di mana?" Sherly menatap heran pada Andra.

"Sama nyokap gue dan suaminya."

"Suaminya? Bokap lo?" tanya Sherly lagi. Sepertinya ia mulai memiliki minat bicara pada Andra.

Andra menggeleng. Ia menunduk ke bawah sebentar dan menatap Sherly dengan wajah datarnya. "Orang tua gue udah cerai sejak gue umur tiga tahun. Waktu itu umur Ubay enam belas tahun, dan dia nolak tinggal sama siapa pun. Nyokap nikah lagi dan bawa gue, sementara bokap nggak tahu ke mana. Ubay tinggal di rumah yang ditinggalin bokap sendirian dari umur enam belas tahun."

Aku tidak dapat berkata apa-apa. Bibirku seolah terkunci ketika mendengar cerita Andra. Andra yang kukenal sebagai mahasiswa pendiam, ternyata punya masa lalu yang berat.

Namun, bagaimana dengan Andres? Laki-laki itu bahkan berjuang sendirian sejak ia berusia enam belas tahun. Di mana seharusnya ia tumbuh dengan arahan sang ayah tentang bagaimana menjadi seorang laki-laki yang tangguh, ia justru mempelajari itu semua sendiri. Membayangkan itu, entah kenapa dadaku dipenuhi oleh sesak.

Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Aku dan Sherly berpisah dengan anggota FOGAMA yang lain karena mereka membawa motor, sedangkan kami datang menggunakan mobil yang ditinggal oleh Kak Nara.

Sesampainya di coffeshop, aku sedikit ragu untuk keluar. Kemarin, Kak Aje mengatakan Andres tidak ada di coffeshop, tetapi Andra mengatakan Andrea tidak mungkin tidak berada di sini. Apa itu artinya Kak Aje berbohong padaku? Apa Andres menyuruhnya berbohong untuk menghindari aku? Entahlah, hanya Andres yang tahu jawabannya.

Ketika aku melewati pintu kaca, senyum Andres langsung menyapa kami. Ia tengah berada di counter kasir dan mengenakan apron hitam khas coffeshop. Di tangannya tergenggam sebuah portafilter untuk menekan bubuk kopi yang baru saja dihaluskan. Mata kami sempat bertemu pandang, tetapi dengan cepat ia memutuskan kontak itu seolah tengah menghindariku.

Mengabaikan sikap Andres. Aku duduk bersama Andra dan yang lain di salah satu meja untuk enam orang. Kami menggeser satu bangku tambahan untuk Joni. Sibuk membahas dan saling berbagi pengalaman memotret atlet, atensi kami teralihkan ketika mobil pengangkut barang menyalakan alarm.

Mobil itu besar, ternyata itu meja dan property baru yang dipesan Andres untuk memperbaharui coffeshop. Kami membantu penurunan barang karena karyawan sibuk di jam-jam sore seperti sekarang.

"Tas gue bawa ke atas dulu aja, ya? Takut di sini malah ilang." Kami semua kompak mengangguk ketika Rafli mengusulkan.

Aku, Sherly dan Dellis hanya mengangkat kardus berisikan utensil. Sementara Andra, Rafli dan Joni membantu Andres dan dua karyawannya menurunkan perangkat komputer, meja kasir berwarna hitam, enam buah LCD. Untuk apa enam buah televisi LCD? Apa ini berarti coffeshop Andres semakin besar? Akut turut senang mengetahuinya.

"Itu televisi banyak banget buat apaan, Bang?" tanya Joni ketika kami selesai. "Mau buat nonton Liga Eropa? Biar kafe makin rame?"

Apa aku tidak salah dengar? Bagaimana mungkin ada seseorang berpikiran remeh seperti itu? Bukan karena apa, tetapi membeli enam buah LCD TV pasti membutuhkan biaya besar. Apa tidak sayang jika hanya digunakan untuk menonton sepak bola?

Aku lihat Andres tertawa. Ia menggelengkan kepalanya pelan sebelum menjawab, "Bukan. Itu buat pasang iklan. Ada beberapa jasa iklan yang nawarin pemasangan iklan. Ya ... lumayanlah, sedikit-sedikit peluang, lagi pula modalnya pun dari mereka."

"Jadi itu semua nggak beli, Bang?" tanya Joni lagi.

Andres kembali menggeleng. "Nggak."

Kami hanya mengobrol selepas menurunkan barang. Andres kembali pada pekerjaannya hingga Sherly mendapat telepon bahwa ia harus pulang karena diminta membantu ibunya. Sesuai janji, Rafli mengantarnya pulang. Andra pergi sepuluh menit setelah Sherly pulang, ia pamit untuk mengantar pesanan kopi di kantor seberang sementara Joni sibuk dengan game online di handphone-nya.

"Jon. Aku pulang duluan, ya? Udah sore. Mau mandi," kataku ketika menepuk pundak Joni. Ia hanya mengangguk tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku permisi pada Andres untuk mengambil tas yang ada di lantai atas. Ternyata, ruangan itu berantakan sekali dan ketika aku mengambil tas, tanpa sengaja aku menjatuhkan sebuah kamera mirrorless berwarna hitam.

Aku panik kemudian langsung mengambil kamera berwarna hitam tersebut. Mengecek apa ada bagian yang rusak atau tidak. Namun, aku yang tidak begitu paham hanya asal memencet tanpa sengaja membuka galeri kamera tersebut.

Aku sedikit mematung ketika melihat isinya. Kenapa banyak sekali fotoku di dalamnya? Milik siapa ini?

ᴀᴀᴀᴀᴀᴀᴀ....
ᴀᴋᴜ ᴍᴀᴜ ɴᴜʟɪs ᴘᴇɴᴊᴇʟᴀsᴀɴ ʙᴀɢɪᴀɴ ᴋᴀᴍᴇʀᴀ, ᴛᴀᴘɪ ɴᴀɴᴛɪ ᴅᴜʟᴜ ᴀᴊᴀ, ᴀᴋᴜ ᴀʙsᴇɴ ᴅᴜʟᴜ ʏᴀᴀ... ᴜᴅᴀʜ ᴍᴇᴘᴇᴛ ᴀᴀᴀᴀᴀᴀᴀ...

ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ ᴀᴊᴀ ᴅᴜʟᴜ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top