ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴛᴜᴊᴜʜ

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Jika ada penghargaan sebagai perempuan paling bodoh, mungkin aku akan menjadi salah satu kandidat kuat sebagai pemenangnya. Karena, ketika tahu Andres tidak ada di coffeshop dan Kak Aje memberikan opsi agar aku menitipkan barang yang aku maksud padanya, justru aku menolak.

Aku menyimpan kembali foto anak kecil dan kamera itu di dalam tas ketika Andra kembali dari mengantar pesanan kopi di gedung perkantoran. Ya, selain jasa ojek online, coffeshop Andres memang memiliki layanan sendiri yang diberi nama SUARA, yang disingkat menjadi 'Siap Untuk Antar Orderan Anda' dan siapa pun karyawan yang ada untuk mengantar pesanan dengan minimal order seratus ribu rupiah. Menarik bukan?

"Balik lagi?" tanya Andra ketika meletakkan coller box di meja kasir yang disambut oleh Kak Aje.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah Andra hingga Sherly masuk dan menghampiri kami.

"Ndra, ajak kita ke mana gitu. Bete nih di rumah mulu!" Sherly berseru sembari memukul pelan pundak Andra. Aku hanya tertawa melihat interaksi mereka. Sepertinya, Sherly sudah mulai nyaman dengan Andra yang dulu sangat ia jauhi itu.

"Emang mau ke mana?" Andra kembali bertanya. Kali ini ia melepas apron hitam yang ia gunakan sejak tadi dan menggantungnya di kapstok belakang kasir. Mungkin Andra belum mengatakan, tetapi gerakan melepas apron menandakan bahwa ia setuju dengan permintaan Sherly.

"Ke mana ajalaaah ...." Sherly mengeluh. Andra memutar bola matanya kemudian menghela napas panjang yang berat.

"Kamu mau ke mana, Ra?" Andra akhirnya mengalihkan pertanyaan itu padaku.

Sesaat aku sempat berpikir. Akan tetapi, sama dengan Sherly, aku tidak memiliki tujuan akan ke mana kita menghabiskan waktu.

"Kumpul sama anak FOGAMA aja gimana? Foto-foto gitu." Aku mengusulkan. Sepertinya akan seru jika bertemu Rafli juga Joni kemudian belajar mengambil gambar.

"Mereka lagi ketemuan sama anak pecinta alam. Ngomongin rencana ke Gunung Merbabu," jawab Andra. Ia duduk dan menopang kepalanya dengan tangan di atas meja.

"Yaudah kita ke sana aja. Ketemuan sama mereka juga seru. Apalagi ketemu senior ganteng kayak Kak Dhyas." Tiba-tiba saja raut wajah Sherly berubah semringah. Alisnya naik-turun ketika menatap aku dan Andra.

"Dasar cewek." Andra menggelengkan kepala. "Yaudah. Sebentar, aku ganti baju dulu. Udah bau."

Setelah mengatakan itu, Andra masuk ke dalam pintu bertuliskan 'khusus karyawan' sementara Sherly sibuk dengan ponsel, aku melihat sekeliling coffeshop ketika beberapa orang turun dari lantai dua untuk konsumen. Mereka terlihat berkelas dengan setelan kemeja rapi juga menenteng tas laptop. Sepertinya, mereka konsumen yang melakukan booking Coworking Space di lantai dua untuk meeting. Strategi bisnis Andres sepertinya berhasil.

Terkadang aku tidak habis pikir dengan orang seperti Andres. Yang aku lihat, usahanya cukup lancar dengan banyaknya pelanggan yang datang, mulai dari kalangan anak muda yang berkumpul minum kopi hingga pekerja kantoran yang menyewa tempatnya. Kenapa ia masih mempertahankan pekerjaannya di stasiun TV? Apa penghasilannya dari coffeshop tidak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri? Apa lagi yang ingin Andres capai?

"Maura."

Aku tersentak ketika sesuatu yang dingin menyentuh tangan bagian belakangku berbarengan dengan seruan nama. Itu Kak Aje yang menyodorkan dua kap kopi padaku dan Sherly sembari mengulas senyum.

"Aku, 'kan, nggak pesan kopi, Kak." Aku mengerutkan kening sesaat pada Kak Aje.

"Minum aja. Tadi ada yang salah order, sayang kalau nggak diminum." Ia mendekatkan kap kopi itu padaku.

"Yaudah berapa, Kak? Aku bayar aja deh." Aku mengeluarkan dompet dan memberikan uang pecahan seratus ribu yang langsung ditolak oleh Kak Aje.

"Nggak semuanya mesti diuangin, Ra. Udah minum aja," katanya sebelum kembali ke ruang karyawan yang berada di belakang kasir.

"Makasih, Kak Aje!" seruku.

Ia mengacungkan jempol ketika berada di bibir pintu karyawan. Aku memberikan satu kap kopi pada Sherly dan meminum satu kapnya. Ini Cappucinno, kebetulan sekali kesalahan order itu kopi kesukaanku.

Sudah satu minggu memang minuman ini tidak masuk ke tenggorokanku. Iya, aku yang mengatakan bahwa tidak akan lagi berharap pada Andres, berusaha tidak melakukan apa pun yang membuatku mengingatnya. Namun, itu semua menjadi sia-sia ketika otakku terus menyuarakan. Apa yang sedang Andres lakukan saat ini? Untuk yang satu ini, aku izinkan kalian mengatakan aku bodoh.

"Udah rapi, Ndra?"

Itu suara Sherly. Ketika aku sibuk mengutuk diriku yang begitu bodoh, ternyata Andra sudah berada di hadapan kami dengan setelan ᴋasualnya. Kaos putih polos dan celana jeans hitam juga jaket baseball hitam putih yang cocok Andra pakai menurutku.

"Ehh? Tapi masa aku ketemu sama anak-anak FOGAMA sama BROPELA pake celana pendek gini." Aku menatap kaki tanpa balutan celana.

"Santai aja. Mereka asik-asik aja, kok. Lagian kamu pake apa aja juga cant ... cocok." Nada suara Andra berubah ragu.

"Cieee ... mau bilang Maura cantik aja gengsi banget, Ndra." Sherly berlalu heboh. Dengan ekspresi jenaka sahabatku itu mencolek pipi Andra beberapa kali.

Aku tertawa melihat interaksi mereka. Andra yang terlihat terganggu dengan tingkah Sherly terus berusaha menghindar dari sentuhan perempuan yang kini tengah tertawa puas itu.

****

Tidak sampai lima belas menit kami sampai di tempat berkumpulnya anggota kedua UKM. Ternyata lebih banyak dari perkiraanku. Setelah menyalami mereka semua, aku duduk di samping Andra. Kak Dhyas tengah menunjukkan pematangan rencana film dokumenter yang akan mereka buat bersama. Mulai izin dari pihak kampus hingga daerah setempat sudah mereka kantongi, konsep cerita yang bertemakan 'pendidikan toleransi kaki gunung' juga sudah matang sempurna, ditambah sewa bus dan penginapan juga sudah dipersiapkan oleh laki-laki yang menjadi ketua komunitas pecinta alam itu.

"Dari FOGAMA yang ikut ada tambahan nggak? Soalnya bus cuma cukup buat tiga puluh orang." Kak Dhyas menatap Andra dengan raut wajah serius.

Bukannya menjawab atas pertanyaan Kak Dhyas, Andra justru menatapku dan Sherly, seolah memastikan satu hal.

"Kalian gimana? Jadi ikut?" tanya Andra.

"Jadi!" Sherly menjawab mantap sebelum aku sempat berpikir.

Aku membulatkan mata ketika Andra mengatakan untuk menambah dua orang peserta dan diamini oleh Kak Dhyas. Tanpa mengkonfirmasi terlebih dahulu jawaban Sherly padaku. Kenapa mereka berdua terlihat semangat sekali?

"Catatan perlengkapan apa aja yang harus dibawa udah gue notes ke grup chat, jangan sampe ada yang ketinggalan atau lupa bawa. Kita nggak ada waktu untuk drama. Pastiin kalian udah ngantongin izin dari orang tua atau wali kalian. Kita ke Semarang bukan ke Sari Asih, rumah sakit swasta itu." Kak Dhyas mengingatkan.

"Kita berangkat sore, jadi jam empat gue harap kita semua udah kumpul di kampus. Peralatan juga jangan sampe ada yang ketinggalan. Absen dulu pas kumpul." Ia menambahkan.

"Untuk kekurangan alat sama kamera yang kemaren kita bahas gimana, Kak?" Itu Rafli yang sejak tadi serius mendengarkan apa yang diucapkan Kak Dhyas sembari sesekali mencatat apa yang perlu.

"Gimana, Zal?" Kak Dhyas mempersilakan salah satu anggotanya bersuara.

"Aman. Udah gue sewain, masalah anggaran juga udah beres." Kak Rizal mengetuk meja dengan jarinya tanda bangga.

Semuanya kompak mengangguk dan pembicaraan selesai sampai di sana.

Setelah Kak Dhyas dan beberapa anggota pamit, Andra menatap dengan raut padaku khawatir seperti yang biasa ia lakukan.

"Kamu dari tadi diem aja, Ra. Ada masalah?" tanyanya ketika hanya tersisa aku, Sherly, Andra juga Rafli dan Joni.

"Nggak, kok, aku cuma belum izin aja sama Kak Maudy. Apalagi sama Kak Nara, nggak tahu diizinin apa nggak." Aku mengulas senyum pada Andra.

"Iya juga, ya. Maaf, ya, aku main setuju-setuju aja tadi." Andra memasang wajah menyesal.

"Santai, Ndra. Nanti biar gue yang mintain izin ke Kak Nara." Sherly menginterupsi, ia menyeruput es teh manis yang dibeli Rafli dengan santai.

"Sekali-kali, Ra. Sekalian refreshing di gunung. Kapan lagi coba." Joni ikut meyakinkan meski tangannya tetap sibuk pada game online yang langsung ia teruskan saat Kak Dhyas pergi.

"Iya, Ra. Tenang aja, sama kita mah aman kok." Rafli ikut bersuara ketika kembali dari membeli jajan. "Es gue main minum-minum aja, Nenek Lampir."

"Pelit banget lo, Raf." Sherly menggerutu ketika Rafli mengambil kembali es teh miliknya.

Ketika Andra lengah dari hadapanku, Sherly membisikan sesuatu yang membuat aku sedikit berpikir.

"Kali aja dengan jalan-jalan lo sedikit bisa lupain Kak Ubay, Ra," bisiknya serupa informasi yang hanya dibagikan pada kami berdua.

Mau tidak mau, aku ikut berpikir. Mungkin, cara ini tidak akan sepenuhnya ampuh, mengingat dua tahun tanpa melihat sosoknya saja, pergi ke mana pun ia tetap ada di dalam pikiran dan hatiku. Terlebih sekarang aku tahu di mana ia tinggal, di mana ia bekerja dan tidak mungkin aku dapat melupakan Andres semudah itu.

Namun, cara ini mungkin dapat sedikit mengobati rasa sakitku terhadap perlakuan Andres, atau mungkin dengan perjalanan ini, aku akan belajar mengikhlaskan Andres bahagia dengan jalan pilihannya.

Ini beberapa contoh kafe dengan konsep coworking, jadi kalian yang mau ketemu sama rekan bisnis, meeting outdoor bisa banget nih mampir ke coffeshop nya Andres hehehehee ....
Atau yang mau cobain cappucinno buatan Andres tapi masih PPKM bisa langsung ke layanan SUARA heheheheee ... (halu dikit)

K

alo ada yang tanya, kenapa sih Andres nggak keliatan-keliatan? Yaa soalnya di keliatan juga mintanya dihujat mulu. Ehh ... bukan deng ...
Maksudnya nanti aja tunggu bab selanjutnya wkwkwk

Dan terima kasih buat kalian yang sudah mampir ke cerita Andres sama Maura. Jangan lupa kalau ada kritik dan sarannya sampein aja di kolom komen, jangan ragu.

Kimnurand-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top