ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴛɪɢᴀ

sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ

Sisa jam pelajaran sama sekali tidak membuatku lupa dengan perkataan Sherly ketika di kantin.

Di antara begitu banyak kemungkinan yang dipaparkan oleh Sherly, yang paling membuatku tidak habis pikir adalah kemungkinan sosok yang aku temui dua tahun lalu adalah Andra.

Tidak! Tidak mungkin itu Andra! Aku yakin itu bukan dia! Mungkin aku bisa lupa dengan hal lain, tetapi bukan perihal wajah Andres saat itu. Lagi pula, wajah mereka tidak begitu sama persis, jadi aku tidak mungkin salah mengenali.

"Kamu pulang sama siapa, Ra?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Naufal membuatku kaget.

"Sama Andra." Tanpa pikir panjang aku menjawab.

Andra yang baru saja hendak melewati bangku depan untuk keluar kelas menoleh, menunjuk dirinya sendiri dengan mata yang membulat.

"Iya, Ndra. Aku bareng kamu, ya?"

Buru-buru aku merapikan barang dan menarik Andra dari kelas. Aku lihat, ia sempat menoleh ke arah Naufal sebelum melepaskan tarikanku ketika kami sudah di luar kelas.

"Kalo mau nolak Naufal jangan bawa-bawa orang lain bisa nggak?" Andra menyuarakan protesnya. "Aku 'kan, udah bilang, kalau kamu mau urusan sama Naufal jangan bawa-bawa aku, Ra."

"Maaf deh, Ndra."

"Bukan masalah soal minta maaf, Ra. Cuma aku nggak suka diseret ke masalah orang lain. Masih banyak hal penting yang bisa aku kerjain selain ngeladenin orang kayak Naufal."

Aku jadi merasa tidak enak pada Andra. Ia benar, tidak seharusnya aku melibatkan eksistensi Andra pada urusanku dengan Naufal.

"Lagian bukannya kamu udah nolak dia, ya? Kok masih aja dia ngejar-ngejar kamu? Kayak nggak ada cewek lain aja. Jangan-jangan dia kamu pelet."

Aku memukul lengan Andra ketika ia mencoba menahan tawa pada kalimat terakhirnya. Sudah berapa kali Andra mengejekku seperti ini? Memangnya dia pikir aku senang didekati Naufal?

"Yaaa ... Mungkin nggak cewek yang lebih cantik dari aku?" Aku mengibaskan rambut di depan Andra.

"Kalo standar Naufal cuma cantik, berarti jadiin kamu pacar cuma ambisi buat dia." Andra menggelengkan kepalanya pelan. "Lagian emang kamu cantik? Perasaan biasa aja."

Sekali lagi aku memukul lengan Andra. Oke! Selain mudah khawatir, ternyata Andra adalah seorang laki-laki yang suka mengejek orang. Bukan berarti aku tidak suka dengan kata 'biasa aja' dari Andra, tapi sudah ketiga kalinya ia mengejekku. Jadi tidak salah kalau aku menyematkan penilaian itu padanya bukan?

Karena percakapan ini, aku hampir lupa tujuanku ingin pulang bersama Andra. Iya! Tidak lain adalah karena aku ingin menanyakan kabar Andres setelah kejadian semalam.

"Kak Ubay gimana, Ndra?"

Andra yang berjalan di sampingku menoleh. "Nggak gimana-gimana. Emang mau gimana?"

Aku memutar bola mata secara malas. Apa Andra adalah tipikal orang yang harus diberi pertanyaan detail? Aku rasa laki-laki itu hanya malas menjawab.

"Kan kemarin Kak Ubay sakit!" Untuk ketiga kalinya aku memukul lengan Andra. Untung saja lengan itu tertutupi jaket semi parka warna hijau yang biasa ia kenakan. Kalau tidak, mungkin lengannya sudah memerah.

"Ohh ... Tadi pagi sih udah mendingan, cuma perutnya aja masih sakit. Kebanyakan muntah sih kayaknya."

"Tadi malam masih muntah-muntah?"

Andra mengangguk.

"Kok Kak Ubay bisa gitu, ya? Apa dia ada penyakit serius?"

"Nggak ada, 'kok. Kata Bang Aje seharian kemarin nggak makan, cuma minum kopi doang. Mungkin asam lambungnya lagi naik aja."

"Sampe pucet gitu mukanya?"

"Kamu mau liat Ubay? Aku mau ke sana."

Ini pertanyaan yang aku tunggu dari Andra. Aku segera mengangguk dan tersenyum ke arah Andra. Laki-laki itu tertawa pelan kemudian mendorong kepalaku dengan jari telunjuknya dan kami berjalan hingga tempat parkir motor. Andra memberikan helm padaku.

"Kamu mana?" tanyaku ketika melihat Andra menyalakan mesin Vespa matic hitam miliknya.

"Pake aja. Aku juga jarang pake helm. Gerah."

Di jalan aku sempat meminta Andra untuk mampir ke minimarket untuk membeli roti dan susu steril untuk Andres. Kami sempat bertemu dengan Kak Dhyas yang ternyata pegawai di minimarket tersebut sebelum melanjutkan perjalanan menuju coffeshop.

Aku memberikan helm pada Andra dan merapikan rambut. Namun, pergerakanku terhenti ketika Andra menyentuh rambutku.

"Tadi ada yang kotor," kata Andra ketika aku menatapnya.

Aku mengucapkan kalimat terima kasih sebelum kami masuk dan bertemu dengan karyawan yang biasa disapa Aje.

"Berduaan mulu pasangan baru!"

Sebuah kelakar yang dicetuskan Bang Aje membuat karyawan lain berseru. Aku dengan cepat menolak, sementara Andra hanya cuek tanpa menjawab ledekan Bang Aje.

"Nggak apa, 'kok, Ra. Nggak usah malu-malu gitu. Akhirnya Bang Nara sama Bang Ubay bakal besanan juga."

Salah satu karyawan menimpali.

"Yaa tapi aku emang nggak pacaran sama Andra."

"Belum nembak? Wah! Parah lo, Ndra." Bang Aje menunjuk Andra yang cuek melenggang ke dalam counter roti setelah ia mencuci tangan.

"Hari ini ada supplier dateng?"

Pertanyaan Andra jelas signal bahwa ia ingin candaan itu dihentikan. Bang Aje mengangguk kemudian memberikan penjelasan pada Andra tentang masalah pending pengiriman dua hari lalu.

"Bang Aje, Kak Ubay mana?"

Tepat ketika aku selesai dengan pertanyaan yang belum dijawab, Andres terlebih dahulu keluar dengan setelan santai, kaos putih dengan corak hitam di bagian dada juga celana gunung warna khaki serta sendal gunung yang biasa ia gunakan.

"Kangen Kakak, ya?" tanya Andres ketika duduk pada bangku yang ada tepat di depanku. Wajahnya masih terlihat pucat meski tidak separah kemarin.

"Kakak baik-baik aja?" Aku sedikit ragu ketika bertanya.

Namun, ia mengangguk untuk menjawab pertanyaanku dan jangan lupakan senyumnya ketika aku menyodorkan satu kaleng susu siap minum untuk ia konsumsi.

"Makasih," katanya seraya membuka segel susu itu dan menghabiskannya dalam satu tegukan.

"Kamu ke sini sama Andra?"

Aku mengangguk.

"Udah makan?"

Aku menggeleng. Tadi memang Andra sempat menawarkan mampir ke tempat makan, tetapi aku menolak karena ingin cepat bertemu dengan Andres.

"Mau makan?"

Aku kembali menggeleng.

"Kenapa? Tunggu! Kenapa kamu diem aja dari tadi? Kakak berasa ngomong sama orang gagu."

"Aku bingung mau ngomong apa di depan Kakak." Aku menampilkan cengiran di depan Andres yang sudah tertawa ketika mendengar alasan konyol dariku. Ia mengulurkan tangan kemudian mengacak-acak pelan rambutku.

"Kakak laper nih! Boleh minta tolong nggak?"

"Udah rese minta tolong lagi!" Aku menggerutu sebal di hadapannya. Meski dalam hati ada rasa senang bercampur hangat ketika mendapat perlakuan manis dari Andres, tetapi aku tidak boleh hilang kendali seperti malam kemarin.

"Jadi nggak mau?"

"Emang Kakak mau minta tolong apa? Jangan susah-susah, ya!"

"Tolong beliin makan doang di depan. Kakak laper, belum makan dari pagi tadi."

Andres menunjuk tempat makan yang ada di sebrang jalan. Ahh ... mengingat tempat itu kenapa hatiku terasa sakit? Yaa ... tempat itu adalah tempat di mana aku pernah mendapat perlakuan dingin dari Andres. Rasanya alu tidak ingin lagi menginjakan kakiku di tempat itu. Namun, permintaan Andres tidak mungkin tidak aku turuti.

"Kakak mau aku beli apa ke sana?"

"Apa yaaa?" Andres meletakkan kepalanya di meja kemudian mengetuk meja dengan jarinya.

"Buruan, Kak. Ini udah sore! Kakak harus makan kalau nggak nanti makin sakit."

Sungguh, pada situasi kali ini Andres tidak terlihat seperti berusia 32 tahun bagiku. Ia bahkan lebih mirip dengan balita yang sulit dibujuk makan oleh orang tuanya, dan aku seperti orang tuanya.

"Apa aja deh. Beliin apa aja," jawab Andres ketika kembali menegakkan kepalanya.

"Yaudah tunggu. Aku beliin Kak Ubay bubur, ya? Tunggu loh! Jangan ke mana-mana."

Aku berjalan menghampiri Andra. Bertanya barang kali ada sesuatu yang ingin ia makan. Namun, bukannya Andra, Bang Aje malah kembali meledek dan mengatakan bahwa kami berpacaran.

Aku tidak menghiraukan perkataan Bang Aje, berpamitan pada Andra dan keluar dari coffeshop mencari sesuatu yang dapat dikonsumsi Andres.

****

Kalian pasti pernah ada di dalam kebimbangan antara mundur atau bertahan bukan?

Seperti aku. Jelas sekali jalanku mendapatkan hati Andres memang hampir tidak ada. Namun, jika hati ini aku minta berhenti mengharapkannya mungkin dengan keras ia akan segera menolak permintaan itu.

Jika diibaratkan, aku dan Andres seperti ada dalam satu buah bianglala raksasa yang terpisah tempat. Di mana aku bergerak untuk mendekat sementara ia terus menjauh dengan lajunya sendiri dan akan seperti itu terus hingga kami keluar dari bianglala raksasa itu.

"Kak Ubay mana?"

Aku bertanya pada Andra ketika kembali dan tidak mendapati eksistensi Andres di meja yang tadi aku tinggal.

"Di lantai dua. Masuk aja. Biasanya juga masuk-masuk aja."

Aku sedikit gugup. Mengingat beberapa kali kami berdua dan selalu berakhir dengan pertengkaran membuatku sedikit ragu untuk menghampirinya ke lantai dua. Namun, makanan ini harus sampai padanya. Setelah meminta air minum juga sendok pada Bang Aje, aku menaiki tangga menuju lantai dua.

Aku lihat ia memejamkan mata di atas matras dengan sprei motif hitam putih dan berselimut jaket hitamnya. Kuletakkan makanan yang baru saja kubeli dan membangunkannya.

"Kak Ubay bangun dulu. Makan dulu nanti perutnya sakit."

Karena merasa terganggu, ia membuka matanya. Duduk seraya mengusap mata guna menetralkan cahaya yang masuk.

Tidak seperti di bawah tadi. Kali ini Andres hanya diam tanpa menyunggingkan senyum sedikitpun padaku. Dalam hati aku bertanya 'apa yang salah' kenapa sikap Andres berubah kembali dingin padaku? Apa mungkin aku berbuat kesalahan sehingga ia mengubah sikapnya kembali? Tapi kesalahan apa?

Ia hanya diam hingga suapan terakhir dan aku menyodorkan air untuk diminum.

"Obatnya di mana, Kak? Aku bantu minum obatnya, ya?"

"Nggak usah. Kakak bisa sendiri."

"Aku ada buat salah lagi sama Kakak? Kok Kak Ubay jadi dingin lagi ke aku?"

Aku sama sekali tidak suka dengan sikap Andres yang seperti ini. Ia boleh marah padaku, boleh berteriak padaku, tetapi siapapun tolong bilang padanya, agar jangan diam padaku.

"Nggak ada."

"Ya terus Kakak kenapa? Kenapa Kakak tiba-tiba diam sama aku lagi? Kakak itu ngebingungin. Sumpah!"

Benarkan apa kataku? Setiap kami berdua, selalu akan ada pertengkaran yang terjadi. Entah apa lagi sekarang pemicunya.

"Sebaiknya kamu pulang, Ra."

Hanya itu yang dikatakan Andres sebelum kembali berbaring dan menutup wajahnya dengan jaket hitam yang ia gunakan sebagai selimut.

Dan ....

Hari ini, Andres sukses memberikan aku kebimbangan yang sama besarnya seperti sebelum-sebelumnya karena sikap yang mudah sekali berubah.


Di bab kali ini entah kenapa aku makin kesel sama Andres :)
Aku juga heran kenapa dia tuh laki, tapi plin plan banget :(

Tapi janji kok, bab besok nggak akan plin-plan lagi Andres. Iya! Besok aku update lagi buat nebus minggu kemarin aku drop dan akhirnya nggak update :(
Temen-temen semua yang nggak sengaja baca tulisan ini, stay safe and stay healthy yaa

Kira-kira kata apa yang cocok buat disematkan untuk cowok modelan Andres?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top