ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴇɴᴀᴍ

secretalove

Setelah kejadian di ruang kontrol, aku tidak lagi berniat untuk bertemu Andres. Ya, mau bagaimanapun aku tidak akan lagi mengharapkan laki-laki pengecut seperti dirinya.

Sudah lebih dari satu minggu aku tidak mendapat kabar tentangnya. Bahkan ketika hari ini Andra memaksaku datang ke coffeshop aku hanya menunggunya di kursi tunggu khusus ojek online untuk menghindar berpapasan dengan Andres.

Sejak aku ikut dalam kegiatan anggota FOGAMA, memang aku menjadi lebih akrab dengan Andra. Dia sosok yang baik, perhatian juga menurutku ia seorang pribadi pemimpin yang luar biasa. Beberapa anggota FOGAMA bilang, kalau kami pasangan yang cocok. Namun, pernyataan itu selalu aku tepis karena kami memang hanya berteman dan Andra setuju denganku.

Sebenarnya aku masih tidak mengerti. Mengapa sikap Andres sangat membingungkan terhadapku. Seolah, satu sisinya mengatakan bahwa ia hanya menganggapku sebagai adik, tapi sisi lainnya memberikan aku harapan jika suatu hari kami bisa bersama.

Aku menggelengkan kepala. Mencoba mengenyahkan semua pertanyaan untuk Andres yang terus saja meminta jawaban di otakku.

"Ra?" Seruan itu agaknya cara paling pelan dari Andra untuk membuyarkan lamunanku.

Andra mengerutkan kening ketika melihatku tersentak kaget. Mungkin, ia tidak menyangka mendapat reaksi berlebihan dariku.

"Eh? Kenapa, Ndra?" Aku bertanya seraya berdiri dari kursi kayu panjang yang sejak tadi aku duduki.

"Kamu mau balik? Ayo aku anter."

"Aku balik sendiri juga nggak apa, 'kok, Ndra. Kayanya kamu lagi sibuk." Aku menyampirkan tas dan mengulas senyum pada Andra.

Andra membalas senyum. Ia sempat menoleh sebentar pada counter utama dan melirik pada jam tangan. "Nggak apa. Sebentar lagi mungkin Ubay balik."

Satu nama yang Andra sebutkan itu berhasil menghantam rasa percaya diriku. Entah bagaimana caranya, tetapi nama itu seolah punya daya magis yang mampu membuat hatiku kembali dibebat gelisah. Buru-buru aku merapalkan mantra yang selama satu minggu ini aku ucapkan. Aku membencinya! Aku akan melupakannya!

Andra kembali ke dalam ketika aku meyakinkannya untuk pulang sendiri. Hari sudah sore, coffeshop terlihat ramai dengan deretan bangku yang hampir penuh ketika aku melihatnya dari dinding kaca. Namun, seperti ada sesuatu yang kurang di dalamnya.

Aku gagal.

Meski satu minggu ini aku mencoba melupakan Andres. Tetapi hatiku seolah selalu bertanya. Bagaimana kabarnya? Bagaimana harinya? Namun, tidak ada sama sekali tanda-tanda jawaban, walau hanya sedikit. Andres seolah hilang ditelan bumi.

"Kamu udah pulang, Ra?" Sapaan itu terdengar dari Kak Nara. Aku hanya mengulas senyum dan masuk ke dalam kamar tanpa menjawab dengan kata-kata setiap pertanyaannya.

Hari-hariku terasa hambar. Aku tidak memiliki gairah sama sekali untuk melakukan aktivitas selain berguling-guling di kasur.

Sekitar satu jam, ponselku berbunyi menampilkan nama Sherly. Aku mengabaikannya, lebih seperti malas mendengar ocehan berisik sahabatku itu tentang petuah cinta. Namun, ketika dering ponsel itu berhenti berbunyi ia justru muncul dari balik pintu kamarku.

"Kan bener apa gue bilang. Lo pasti nggak pergi sama Andra." Sherly berkacak pinggang ketika melihatku bergelung selimut. Ia mendecak pelan sebelum menarikku dari kasur.

"Apaan, sih, Sher?" Aku mengeluh ketika Sherly berhasil menjatuhkanku dari kasur.

Ia tertawa puas ketika melihatku mengaduh. Sherly memang sahabat yang minus empati.

"Ayo kita pergi," ucapnya dengan tangan yang melempar baju dari dalam lemari.

"Ke mana?"

"Nyari om-om." Sherly menjawab asal. Kini perempuan yang menjadi sahabatku itu duduk di kasur yang aku tinggali tadi dengan tangan yang menyusun bantal.

"Apaan deh. Nggak jelas," ucapku yang justru malah duduk di bangku belajar sembari menatap laptop.

"Lo, 'kan, sukanya sama om-om kaya Kak Ubay. Ayo cari dia! Minta dia tanggung jawab karena udah bikin lo kaya gini. Seenaknya dia ninggalin lo gitu aja." Sherly mencak-mencak sendiri.

Aku tidak menghiraukannya. Pandanganku tertuju pada kamera mirrorless yang belakangan ini aku ketahui milik Andres. Aku memang belum sempat mengembalikannya pada Andres. Sejak hari itu, aku tidak pernah bertemu dengannya dan kini aku mengakui, bahwa aku merindukan laki-laki pengecut itu.

"Aku mau ngelupain dia, Sher." Aku menjatuhkan kepala di meja belajar, mencoba menahan isakkan agar tidak terdengar oleh Sherly. Namun, gagal. Semakin aku menahannya semakin sakit rasanya.

Kenapa? Kenapa Tuhan memberikan rasa ini untuknya? Kenapa tidak diberikan pada laki-laki yang jelas juga menyukaiku? Apa aku harus memaksakan perasaanku pada orang lain agar bisa melupakan Andres?

"Jujur, ya, Ra. Gue juga nggak tahu harus kasih saran apa ke lo." Sherly mengusap punggungku. Mungkin, mendengar isakkan tangisku membuat ia kasihan. "Kalo gue ngotot minta lo lupain Kak Ubay, kesannya gue jahat dan egois banget. Tapi kalo lo terus kaya gini juga gue sakit, Ra. Lo itu cantik, yang suka sama lo mulai dari seangkatan sampe dosen muda ada. Lo nggak pantes perjuangin dia sampe segininya, harusnya elo yang diperjuangin."

Mungkin apa yang dikatakan Sherly ada benarnya. Tidak seharusnya aku memperjuangkan Andres di saat laki-laki itu bahkan sama sekali tidak peduli dengan perasaanku. Tetapi apa yang harus aku lakukan? Berkali-kali aku mencoba hasilnya tetap sama.

Hanya Andres yang selalu ada di dalam otakku.

Jika aku tahu akan seperti ini sakitnya ketika menerima kenyataan. Aku tidak akan pernah berharap akan bertemu lagi sosok Andres yang sejak dua tahun lalu aku harapkan.

"Sekarang bangun, yuk. Gue dateng ke sini bukan buat liat galau-galauan, ya! Ayoo kita main ke mana gitu."

Aku menyeka air mata kemudian mengangguk pada Sherly. Sahabatku itu berusaha tersenyum, meski aku tahu ia tengah merasakan simpati padaku, lebih tepatnya pada kisah cintaku.

Tidak sampai setengah jam aku selesai. Aku mengenakan pakaian seadanya. Hanya kaus polos berwarna hitam dengan denim pendek serta outer putih gading.

"Heran, ya. Orang cakep mau pake apa aja cakep." Sherly berkomentar.

Aku hanya tertawa menanggapi komentar Sherly sebelum kami keluar dan berpamitan pada Kak Nara dan Kak Maudy.

Di perjalanan sahabatku sempat protes karena aku memintanya mampir ke coffeshop Andres. Bukan karena apa. Aku berniat mengembalikan foto anak berusia empat tahun yang pernah ia berikan padaku juga kamera mirrorless yang belum sempat aku kembalikan.

"Mau ditemenin ke dalemnya nggak?" tanya Sherly ketika motornya berhenti di parkiran coffeshop. Ternyata di perjalanan tadi aku melamun.

Jantungku tiba-tiba saja berdegup kencang. Entah kenapa rasa gugup kembali merayap ke dalam hati ketika aku tahu akan bertemu dengannya lagi setelah satu minggu kami tidak bertemu.

"Ehh? Maura?" sapa Kak Aje ketika aku melewati pintu kaca.

"Kak Aje, Kak Ubay ada?" Tanpa basa-basi aku menanyakan kehadiran Andres.

"Ubay? Ada perlu apa?" Kak Aje mengerutkan kening ketika aku menanyakan perihal Andres. Seolah, adalah hal yang sangat aneh jika aku bertanya tentangnya.

"Ada barang yang mau aku kasih ke Kak Ubay, Kak." Aku beralasan. Tidak sepenuhnya alasan, memang benar, 'kan, kalau aku ingin menyampaikan barang untuknya.

Helaan dari Kak Aje menjadi jawaban akan pernyataanku padanya.

"Kak Ubay nggak ada, Kak?" tanyaku memastikan.

"Nggak ada. Udah seminggu lebih dia nggak balik ke sini. Nggak tahu ke mana, kayanya sih ada kerjaan. Makanya Andra sementara bantu-bantu di sini," pungkas Kak Aje.

Hatiku mencelos secara tiba-tiba. Ternyata, sebegitu tidak berharganya aku di mata Andres. Selama satu minggu aku mengharapkan dapat melupakannya, Andres justru sibuk dengan semua pekerjaan tanpa sedikit pun memperdulikan aku.


Halloo semuanya ...
Maaf yaa aku kelamaan bolos :(
Kira-kira masih ada nggak dari kalian yang inget sama jalan ceritanya? Hehehehe ...

Tapi buat ngisi absen kemarin-kemarin aku bakal update ini besok dan beberapa part bertahap setiap hari. Jadi jangan ragu masukin ke library yaa :)

Kimnurand_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top