ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴜᴀ

Halloo semuanyaa ...
Ada yang kangen sama Andres dan Maura nggak?

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Kalian pasti pernah mengalami gelisah, bukan?

Sepertinya hari ini pagi datang lebih lama dari biasanya. Semalam, aku tidak dapat tidur sama sekali karena melihat kondisi Andres yang melemah. Wajah pucat pasi dengan bulir keringat ketika memohon agar aku tidak mendekat seperti sebuah hantaman keras yang tiba-tiba menyerang kepalaku.

Juga berbagai pertanyaan yang bersarang di kepala. Ada apa dengannya? Apa kondisinya sekarang sama seperti kondisinya beberapa hari lalu? Namun, itu tidak menjadi begitu penting ketika hatiku terus bertanya. Apa ia baik-baik saja sekarang?

Kak Nara baru pulang setelah azan subuh berkumandang. Ia terlihat lesu, meski senyuman tidak pernah absen dari wajahnya. Tanpa berani menyuarakan pertanyaan, diam-diam aku mencuri dengar percakapan kedua kakakku itu. Namun, nihil. Kak Maudy sama sekali tidak bertanya tentang kondisi Andres lebih jauh.

Apa aku tanya Andra aja, ya?

Jelas pikiran itu cepat-cepat aku hapus. Aku tidak ingin Andra semakin menaruh curiga padaku, apalagi pada Andres yang notabene adalah kakaknya. Lalu, bagaimana caranya aku mendapat informasi tentang kondisi Andres?

"Nggak dimakan sarapannya, Ra?"

Tepukan pelan pada bahu membuatku terjingkat. Kak Maudy ikut terjingkat ketika mendapat respons yang berlebihan dariku.

"Kamu ngelamunin apa?" Kak Nara mengerutkan kening sesaat sebelum menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Nggak, 'kok. Masih ngantuk aja," jawabku sembari menampilkan senyum lebar padanya. "Kakak hari ini udah mulai kerja?"

"Harusnya, sih, dua hari lagi, Ra. Tapi hari ini masuk gantiin Ubay dulu," jawab Kak Nara ketika meletakan sendok di atas piringnya.

"Kak Ubay masih sakit? Sakit apa, Kak? Parah nggak sakitnya? Dia bilang kenapa bisa sakit?"

Bukannya menjawab, Kak Nara justru menatapku dengan tatapan bingung.

"Kamu mau ambil alih profesi kakak apa gimana? Nanya detail banget." Kak Nara terkekeh tanpa menjawab pertanyaanku.

"Hari ini kamu berangkat sama Kakak apa berangkat sendiri?"

Benar, 'kan, apa kataku. Percuma bertanya pada Kak Nara yang selalu menganggapku tidak serius. Menyebalkan!

"Ubay beneran nggak apa-apa, Nar?" tanya Kak Maudy kemudian. Wajahnya terlihat teduh menatap Kak Nara yang mengembuskan napas berat setelah mendengar pertanyaan yang dilemparkannya.

"Dia bilang dia nggak apa-apa. Dia nggak mau dibawa ke rumah sakit atau ke klinik. Nggak ngerti juga kenapa. Alergi obat mungkin?" Kak Nara mengangkat bahunya, lebih seperti orang yang tidak peduli dengan sahabatnya.

"Emang Kak Ubay alergi obat?"

"Nggak tahu."

"Masa Kak Nara nggak tahu? Katanya udah sahabatan lima belas tahun! Masa iya nggak tahu temennya alergi obat. Temen macam apa itu!"

Entah kenapa aku tidak terima dengan ucapan Kak Nara yang terdengar seperti tidak peduli sama sekali dengan kondisi Andres. Aku marah, seolah Andres bukan apa-apa baginya.

Kak Nara kembali menghela napasnya, kali ini lebih panjang dan berat. Ia memejamkan mata sejenak kemudian menatapku dengan senyumnya seperti biasa.

"Selama kakak kenal Ubay, dia nggak pernah sama sekali sakit, Ra. Mungkin kamu nggak percaya. Bahkan tadi pagi Kakak kasih kabar ke kantor, orang kantor nggak percaya Ubay bisa sakit."

Bohong! Mana mungkin ada seseorang yang tidak pernah sakit selama lima belas tahun? Tidak mungkin! Kak Nara pasti berbohong.

"Kakak bohong, 'kan?"

Aku menunjuk wajah Kak Nara dengan sendok yang berlumuran minyak nasi goreng.

"Ngapain kakak mesti bohong ke kamu. Astaga!"

"Seriusan, Ra." Wajah Kak Nara berubah serius. "Ubay itu nggak pernah sakit, atau mungkin dia nggak pernah nunjukin kalau dia sakit, kita semua nggak ada yang tahu."

Aku diam. Perkataan Kak Nara membuatku teringat akan cerita Andra tempo hari. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan masa lalunya? Entahlah ... kalau memang seperti itu, apa itu berarti tindakanku selama ini sangat membebaninya?

****

"Jadi dia alergi sama lo, Ra?" Sherly bertanya seperti yang aku ingat sudah kesepuluh kalinya dalam satu jam terakhir, menyeruput es cokelat, dan mengetukan jari telunjuk pada meja kantin.

Aku menghela napas, tidak peduli dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Sherly setelah ia memaksaku bercerita tentang Andres padanya dan yang lebih menyebalkan lagi, ia tidak serta merta percaya pada ceritaku.

Aku berdeham sebagai jawaban malas, menatap lalu lalang mahasiswa yang bergerombol meninggalkan meja kantin, ada yang membawa tas besar, ada juga yang membawa banyak papper--sepertinya ia diminta dosen untuk membagikan lembar fotocopy pada teman satu kelasnya.

"Ehh ... Tapi berarti, ya, Ra. Kemungkinan dia naksir sama lo ada dong! Misal, dia naksir tapi alergi. Bisa aja, 'kan?"

Entah kenapa kata alergi menjadi kata yang menyebalkan di telingaku saat ini. Aku mencebik, lebih seperti mengatakan bahwa argumen Sherly tentang alergi Andres terhadapku adalah salah.

Aku memang menceritakan semuanya pada Sherly. Tentang kamera juga respons Andres ketika laki-laki itu mengetahui tentang perasaanku. Namun, aku tidak mengatakan bahwa kami pernah berciuman. Jelas saja tidak akan aku katakan! Mau diletakkan di mana wajahku? Jika aku mengakui bahwa akulah yang awalnya mencium Andres lebih dulu.

"Ehh ... Tapi, Ra. Kemungkinan kamera itu punya Andra bisa nggak, sih?"

Sherly menggeser kap plastik yang sudah kosong dan duduk merapat padaku. Ia menunjuk wajahku dengan telunjuknya dan kembali pada posisi seolah-olah ia seorang detektif, mengusap dagunya dengan jemari.

Aku memutar bola mata, malas sekali meladeni Sherly jika kepalanya sedang eror seperti ini.

"Ya nggak mungkin Andra! Orang dia yang ngasih tahu kalo Andres punya kamera itu." Aku mengelak.

"Ya itu, 'kan, karena lo tanya langsung sama Andra. Bisa aja sebetulnya itu punya dia, tapi dia nggak berani jujur, makanya dia nuduh Kak Ubay karena dia pikir lo nggak bakal nanyain itu ke Kak Ubay."

Aku menoleh, mulai tertarik dengan penjabaran yang Sherly berikan.

"Ngomong-ngomong, gue jadi inget sesuatu. Lo tahu nggak kalo Andra itu dulu pernah keterima di PTN di Bandung? Bisa aja, siapa tahu sebetulnya Andra kuliah di sini karena pengen deket sama lo! Ouwhh ... sweeet banget, sih!" Sherly berucap dramatis di akhir kalimatnya.

"Bukannya kamu nggak suka, ya, sama Andra?" Aku mengernyitkan kening menatap Sherly.

"Iya dulu, tapi kalau tahu dia suka sama lo udah lama dan selama ini dia diem karena yang dekatin lo banyak. Gue setuju lo sama dia, berarti dia orang yang sabar."

"Bisa jadi juga, ya, Ra. Orang yang lo lihat waktu di rumah dua tahun lalu itu sebetulnya Andra. Tapi lo lupa mukanya, makanya lo pikir Kak Ubay itu dia karena lo baru pertama kali ketemu Kak Ubay." Sherly menambahkan.

Aku menelan ludah mendengar penyataan yang Sherly lemparkan. Kepalaku mulai memutar balik kejadian di mana aku dan Andra bertemu. Waktu itu, pemotretan untuk karti mahasiswa, ia meminjamkan almamater padaku ketika almamaterku tidak sengaja dibawa Kak Nara di dalam mobilnya.

Akan tetapi, hatiku mengatakan bahwa memang Andres laki-laki yang aku tunggu selama ini. Aku tidak mungkin salah. Ya! Sherly yang salah dengan argumennya. Bagaimanapun, aku mempercayai kata hatiku ketika mengatakan bahwa Andres adalah orang yang selama ini aku tunggu.

Mungkin, aku harus mencari tahu bagaimana kondisi Andres saat ini. Aku harap ia baik-baik saja setelah kejadian kemarin, atau minimal ia tidak semakin membenciku karena kejadian malam itu.

ʜᴀʟʟᴏᴏ ʀᴇᴀᴅᴇʀs!
ᴍᴀsɪʜ ᴀᴅᴀᴋᴀʜ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ᴅɪ ʟɪʙʀᴀʀʏ ᴋᴀʟɪᴀɴ? sᴀᴛᴜ ᴍɪɴɢɢᴜ ᴋᴇᴍᴀʀɪɴ ᴀᴋᴜ ɴɢɢᴀᴋ ᴜᴘᴅᴀᴛᴇ sᴀᴍᴀ sᴇᴋᴀʟɪ.

ʙᴀɢᴀɪᴍᴀɴᴀ ᴋᴀʙᴀʀ ᴋᴀʟɪᴀɴ? sᴇᴍᴏɢᴀ ʙᴀɪᴋ ᴅᴀɴ sᴇʜᴀᴛ-sᴇʜᴀᴛ ʏᴀ...

ᴊᴀɢᴀ ᴋᴇsᴇʜᴀᴛᴀɴ ʏᴀᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ sᴇᴍᴜᴀ, ʀᴀᴊɪɴ-ʀᴀᴊɪɴ ᴄᴜᴄɪ ᴛᴀɴɢᴀɴ, ᴋᴏɴsᴜᴍsɪ ᴠɪᴛᴀᴍɪɴ, ᴍᴀᴋᴀɴ ᴛᴇʀᴀᴛᴜʀ ᴅᴀɴ sᴇᴍᴘᴀᴛᴋᴀɴ ᴏʟᴀʜʀᴀɢᴀ ᴍᴇsᴋɪ sᴇʙᴇɴᴛᴀʀ. sᴇᴍᴏɢᴀ ᴋɪᴛᴀ sᴇᴍᴜᴀ ᴅɪᴊᴀᴜʜɪ ᴅᴀʀɪ sᴇɢᴀʟᴀ ᴠɪʀᴜs ᴅᴀɴ ᴘᴇɴʏᴀᴋɪᴛ ʏᴀᴀ :)

sᴀʟᴀᴍ
ɴᴜʀᴀɴᴅ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top