ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Perjalanan ke Semarang tidak begitu lama seperti kota-kota wisata lain yang aku pernah datangi. Hanya delapan jam perjalanan dengan bus yang berhenti dua kali.
Dua hari lalu, setelah kami berkumpul dan aku membujuk Kak Nara untuk mengizinkan aku pergi, aku dan Sherly langsung mempersiapkan bawaan yang akan kami bawa. Tidak banyak, hanya beberapa potong baju, obat-obatan serta peralatan mandi, tidak lupa aku membawa kamera Andres yang masih ada padaku.
"Kamu udah mau berangkat, Ra?" Kak Nara bertanya ketika aku memasukkan sarung tangan baru yang ia belikan untuk perjalanan ke Semarang.
"Iya, Kak." Aku menggendong ransel besar miliknya yang aku pakai untuk perjalanan kali ini. Jujur saja, aku tidak pernah pergi jauh sendiri, jadi aku tidak punya tas besar seperti milik Kak Nara.
"Kamu ke kampus diantar Kak Nara, 'kan?" tanya Kak Maudy memastikan.
Aku mengangguk kompak bersama Kak Nara. Ia terlihat cemberut ketika kami keluar kamar dan menuruni tangga.
"Kamu masih nggak rela izinin Maura pergi, Nar?" tanya Kak Maudy ketika melihat suaminya menekuk wajah. Memang, dua hari lalu Kak Nara mati-matian melarangku pergi ke Semarang. Laki-laki yang kuanggap seperti kakak kandungku itu takut jika aku akan terkena bahaya jika pergi tanpanya.
Aku tertawa. Terkadang, orang lain berpikir bahwa kakak kandungku itu memang Kak Nara. Ia lebih protektif, lebih bawel dan terkadang lebih perhatian padaku jika dibandingkan dengan Kak Maudy yang notabene kakak kandungku sendiri. Pernah suatu waktu ia ditanya, lebih sayang Kak Maudy atau aku, dan ia menjawab lebih menyayangiku meski langsung mendapat balasan berupa cubitan dari istrinya yang pencemburu.
Sesekali Kak Nara juga sempat mengatakan bahwa namaku adalah gabungan antara namanya dan Kak Maudy. Untuk itu, aku hanya tertawa menanggapi perkataannya yang tidak masuk akal.
Setelah berpamitan pada Kak Maudy, aku naik ke mobil Kak Nara. Ia menyalakan mesin mobil dan aku membuka kaca untuk memberi salam perpisahan pada Kak Maudy yang tinggal di rumah.
"Kak Nara, Kak Ubay cutinya udah selesai belum?" Meski ragu, aku akhirnya bertanya perihal Andres yang sudah lebih dari sepuluh hari tidak ada kabar.
"Ubay?" tanya Kak Nara. Ia mengerutkan kening karena merasa aneh dengan pertanyaan yang aku berikan.
"Ini perasaan Kakak aja, atau emang kamu dekat banget sama Ubay, Ra?" Kak Nara masih fokus dengan jalan, ia membunyikan klakson pada pengendara motor yang menyenggol kaca spion mobilnya ketika menyalip jalan.
"Dekat gimana, Kak?"
"Yaaa ... dekat gitu." Kak Nara terlihat ragu. Jantungku tiba-tiba saja berdegup kencang ketika Kak Nara menyuarakan kecurigaannya.
"Nggak, 'kok, Kak. Biasa aja aku sama Kak Ubay."
"Bagus deh. Kakak harap, sih, kamu nggak terlalu dekat sama Ubay," ucapnya.
"Kenapa, Kak?" Aku tiba-tiba penasaran, rasa sakit menyergap ke relung hati ketika kata-kata Kak Nara seolah melarangku untuk lebih dekat dengan Andres.
Namun, belum sempat Kak Nara menjawab rasa penasaranku, mobil sudah berhenti di parkiran kampus dengan bus berwarna biru terparkir dengan Kak Dhyas dan Andra tengah mengabsen peralatan yang akan dibawa.
"Tuh temen-temenmu udah nungguin." Kak Nara tidak menghiraukan pertanyaanku. Ia melepas sealbelt dan ikut turun menghampiri Andra dan Kak Dhyas.
"Kalian penanggung jawab acara, ya?" tanya Kak Nara ketika kami mendekat pada anggota yang sudah berkumpul.
Kak Dhyas menoleh, menyambut jabat tangan Kak Nara dengan mantap kemudian disusul Andra.
"Naratama Adhyaksa, ya?" Kak Dhyas bertanya.
"Iya. Kok tahu?" Kak Nara tersenyum ramah.
"Saya ngefans sama Mas Naratama. Sering banget lihat Mas Nara di liputan pagi." Kak Dhyas menjawab polos, sementara Kak Nara tertawa dan menepuk pelan punggung Kak Dhyas.
"Senang bisa ketemu." Kak Nara kembali menjabat tangan Kak Dhyas. "Kamu penanggung jawab acara? Saya titip adik saya, ya. Kalo sampe kenapa-kenapa, kamu sama Andra harus tanggung jawab."
Kak Dhyas dan Andra tertawa, mereka mengangguk canggung sebelum Kak Nara pamit pulang terlebih dahulu.
****
Pukul dua pagi, aku menguap ketika suara Kak Indra menginterupsi lewat toa putih yang setia ia genggam. Kami sudah sampai di penginapan, sebuah villa sederhana dengan enam kamar yang dapat memuat empat orang di satu kamarnya.
Kak Dhyas memberikan instruksi pembagian kamar, dua kamar paling ujung sebelah timur menjadi kamar khusus perempuan dari anggota pecinta alam dan fotografi yanga hanya tujuh orang.
"Rara, Dellis, Maura sama Sherly berempat di kamar satu, ya. Di sana lebih besar. Sisanya Hera, Gita sama Bilqis di kamar dua, nggak jauh beda, 'kok. Sisanya yang cowok tempatin kamar sesuka lo aja pada asal jangan berani-berani masuk ke kamar cewek, ya."
Ucapan Kak Dhyas membuat seluruh anggota yang lelah karena perjalanan berseru, menyoraki ketua acara mereka yang berbicara asal.
"Lo kali yang begitu," cetus Kak Rizal yang disusul tawa oleh yang lain sebelum mereka membubarkan diri ke dalam kamar masing-masing.
Meski letaknya di Kabupaten Semarang, Dusun Thekelan di lereng Gunung Merbabu ini dijangkau tigapuluh menit dari Kota Salatiga lewat Jalan Lingkar Salatiga. Dusun yang berada di ketinggian 1600 MDPL ini memiliki udara yang sangat dingin.
Karena tidak terbiasa dengan dinginnya, aku beberapa kali keluar kamar untuk buang air kecil. Untuk mengusir hawa dingin, aku memutuskan ke dapur dan menyeduh air untuk minum. Namun, langkahku terhenti ketika mendapati Kak Dhyas tengah menyeduh air juga.
"Mau kopi, Ra?" tanya Kak Dhyas ketika berbalik dan mendapati aku berada di sana.
"Ehh? Kak Dhyas nggak tidur?" Aku menghampiri Kak Dhyas yang tengah menuang air panas ke dalam gelas.
"Nggak bisa tidur. Tanggung juga, bentar lagi pagi." Ia mengaduk kopi setelah menuangkan bubuk kopi sachet yang buka. "Mau, Ra? Mau. Ra?"
Aku tertawa ketika Kak Dhyas mencoba bercanda dengan kata tawarannya yang terkesan menyebut namaku kemudian ikut duduk di depan meja.
"Makasih, Kak." Aku menyambut uluran gelas yang diberikan Kak Dhyas.
"By the way ... maaf tadi gue nggak sengaja dengar obrolan lo sama Sherly pas di rest area. Lo lagi naksir sama cowok dan berusaha ngelupain dia, makanya ikut ke sini?"
Tiba-tiba saja Kak Dhyas mengingatkan aku pada Andres. Aku mengangguk sesaat, rasa malu menyergapku ketika kemungkinan Kak Dhyas tahu betapa bodohnya aku.
"Alam emang tempat yang tepat buat ngalihin rasa sakit, sih." Kak Dhyas menyeruput kopinya. "Gue juga begitu, tapi gagal. Gue nggak bisa maksa hati gue buat lupain dia."
Aku menegapkan tubuh ketika Kak Dhyas membuka dirinya. "Kak Dhyas udah punya pacar?" tanyaku.
"Bukan pacar, sih, sebenernya. Cuma cewek yang gue taksir aja. Hubungan cewek sama cowok bukan cuma pacaran doang kali." Ia menjawab santai.
"Iya juga, sih. Tapi gimana, ya, Kak. Dia tuh labil banget. Kadang seolah suka, kadang seolah nggak peduli." Tanpa sadar aku mengeluarkan kebingunganku di depan Kak Dhyas, padahal selama ini hanya Sherly yang kupercaya untuk menceritakan perasaanku pada Andres.
Aku sedikit melupakan udara dingin yang menyelimuti. Sepertinya, Kak Dhyas tipikal orang yang bijak dan suka mendengarkan orang, karena sekarang ia mendengarkan ucapanku sembari mengangguk, berbeda seperti kebanyakan laki-laki yang tidak peduli dengan apa yang aku katakan.
"Kalo menurut lo dia suka juga nggak sama lo?" Kak Dhyas bertanya.
"Nggak tahu juga, Kak. Kadang dia nunjukkin seolah dia memang suka sih sama aku."
"Lo sendiri suka sama dia atau cinta sama dia?" Kak Dhyas kembali bertanya. Kini aku mengerutkan kening karena tidak mengerti dengan pilihan yang diberi Kak Dhyas. Bukankah sama saja?
"Bedanya, Kak? Aku udah nunggu dia dua tahun loh, Kak."
"Jelas beda. Ini, sih, asumsi gue aja, ya. Selama ini lo nggak nunjukkin rasa cinta lo sama dia. Yang lo tunjukkin itu rasa suka. Bisa jadi, sebetulnya selama ini lo nggak suka sama dia, tapi cuma suka sama khayalan lo tentangnya." Kak Dhyas menjelaskan.
"Aku nggak ngerti, Kak."
"Gue tanya lagi. Selama nunggu dua tahun, lo udah ngelakuin apa? Lo tahu apa kelemahannya? Lo tahu apa yang dia suka atau apa yang dia nggak suka?"
Pertanyaan Kak Dhyas telak menghantam rasa percaya diriku. Jika diingat-ingat, aku memang tidak tahu apa pun tentang Andres selain pekerjaannya dan selama dua tahun, aku juga tidak berusaha mencari ketika sibuk menunggu dan mengharapkannya.
Untuk menjawab pertanyaan Kak Dhyas aku menggeleng.
"Ini dia yang jadi masalahnya. Jangan-jangan selama ini lo cuma suka sama khayalan lo tentang dia. Mungkin bisa jadi dia suka sama lo, tapi dia menganggap lo nggak akan bisa nerima dia dengan segala kelemahan yang dia punya? Dan tanpa sadar dia selalu berusaha menjadi apa yang lo mau." Kak Dhyas kembali menyeruput kopi yang isinya sisa setengah.
"Lo tahu nggak, Ra? Bersikap sempurna di depan orang lain memang kelihatannya mudah. Tapi bebannya bukan main, sakit dan capeknya apalagi. Terlebih jika kita tahu, sedikit aja kelemahan itu terbongkar, orang di sekitarnya akan kecewa." Ia menjeda ucapannya. "Padahal kalau dia nggak sempurna kayak yang ada di khayalan lo, itu bukan salahnya."
"Laki-laki kalau udah dihadapkan dengan rasa itu kadang jadi tolol, Ra. Alih-alih dia perjuangin lo saat itu juga, dia justru berkaca, pantas nggak dia untuk lo, atau mau nggak lo terima dia apa adanya? Pernah kepikiran kayak gini? Pasti nggak! Iyalah, cewek." Kak Dhyas menambahkan.
"Kak Dhyas jangan gitu dong. Bawa-bawa gender segala." Aku memberengut sebal ke arah Kak Dhyas.
Laki-laki beralis tebal itu menderai tawa pelan seraya membawa gelas bekas kopi ke wastafel.
"Lo tahu nggak, Ra. Kadang, ada beberapa cowok yang merasa dirinya nggak pantas dekat sama perempuan yang dia suka. Saran gue, sebelum lo salahin dia karena sikap labilnya, lo pastiin dulu rasa yang ada di hati lo itu beneran untuk dia, atau untuk khayalan lo tentang dia. Gue yakin, dia pasti bakal kasih jawaban yang terbaik buat lo."
Ketika Kak Dhyas selesai dengan perkataannya, alarm dari ponsel di sakunya berbunyi, itu alarm tanda waktu sholat subuh datang. Ia pamit untuk mandi dan membangunkan semua anggota laki-laki untuk sholat berjamaah dan memintaku membangunkan anggota perempuan.
Setelah kepergian Kak Dhyas aku sedikit berpikir. Selama ini, memang belum pernah berusaha menunjukkan bahwa aku benar-benar peduli pada Andres. Bahkan ketika ia menunjukkan kejanggalan aku hanya bertanya keadaannya, tanpa mencari tahu apa yang sebetulnya Andres alami.
Kini, pikiranku sedikit terbuka. Mungkinkah selama ini aku benar-benar tidak menyukai Andres dan hanya menyukai khayalanku tentangnya? Jika memang benar, berapa beban yang sudah Andres pikul untuk terlihat sempurna di hadapanku?
Karena di mataku dan Kak Nara, Andres memang terlihat tanpa cela. Namun, pemikiranku kembali melayang pada peringatan Kak Nara sebelum berangkat ke Semarang. Kenapa ia melarangku untuk lebih dekat dengan Andres?
ᴅʜʏᴀs sᴏᴋ ʙɪᴊᴀᴋ ᴋᴀᴍᴜ ᴅɪ sɪɴɪ, ɴᴀᴋ :(
ᴅᴀɴ ᴍᴀᴀғ ᴀɴᴅʀᴀ, ᴇᴋsɪsᴛᴇɴsɪᴍᴜ ᴅɪᴋᴀʟᴀʜᴋᴀɴ ᴅʜʏᴀs ᴅɪ ʙᴀʙ ɪɴɪ :(
ᴋᴇɴᴀʟᴀɴ ᴅᴜʟᴜ sᴀᴍᴀ ᴍᴀs ᴀɴɢɢᴇʀ ᴀᴅʜʏᴀsᴛᴀ ᴛᴇᴍᴇɴ ᴄᴜʀʜᴀᴛ ᴍᴀᴜʀᴀ ʏᴀɴɢ ʙᴀʀᴜ, ʏᴀɴɢ ɢᴀʟᴀᴜɴʏᴀ sᴀᴍᴀ ᴋᴀʏᴀᴋ ᴍᴀᴜʀᴀ :(
ᴋɪᴍɴᴜʀᴀɴᴅ_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top