ᴅᴇʟᴀᴘᴀɴ
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Keesokan harinya, jam tengah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika aku dengar suara deru motor yang beberapa hari ini aku kenali.
Aku menggeliat, kemudian menarik selimut untuk kembali melanjutkan tidur. Tidak berniat sama sekali bertemu dengan si pemilik motor sejak kejadian semalam.
Setelah kejadian semalam, aku putuskan untuk tidak akan pernah lagi bertemu atau bertegur sapa dengan Andres. Untuk apa? Toh, perhatiannya hanya untuk perempuan bernama Imel! Bukan untukku.
"Maura, makan dulu, yuk." Teriakan kakak terdengar dari balik pintu kamar. Sengaja aku abaikan karena aku tahu kami akan makan bersama siapa. Tentu saja dengan Andres.
Aku hampir saja merasakan kantuk kembali karena hening yang kuciptakan sendiri. Hingga kudengar pintu kamarku dibuka, aku masih memejamkan mata menghindar dari permintaan Kak Maudy untuk sarapan.
Namun, suara Kak Maudy tidak juga terdengar hingga aku merasakan seseorang berdiri di samping ranjangku. Aku sedikit mengerutkan kening ketika mencium wangi parfum seseorang yang berada di dekatku, itu jelas bukan parfum yang biasa kakak pakai. Jadi, siapa orang yang ada di depanku?
"Ra, kamu udah bangun?"
Deg!
Ini suara Andres! Aku tidak salah lagi. Tapi, kenapa dia bisa ada di kamarku? Apa Kak Maudy tidak salah membiarkannya masuk ke dalam kamarku sembarangan?
Aku bergegas untuk menjauh dari jangkauan Andres sebelum membuka mata, menaikan selimut kemudian membuka mataku lebar-lebar. "Kakak ngapain di kamarku? Aw!"
Aku meringis ketika nyeri pada tangan kananku kembali terasa. Andres yang mendengar ringisan itu bergegas mendekat hingga pergerakannya terhenti karena aku menyentak, "Kak Ubay jangan dekat-dekat!"
"Tapi kamu seriusan nggak papa?"
"Kak Ubay mendingan keluar dari kamarku." Aku menunjuk arah pintu untuk mempersilahkannya keluar.
"Ta ...."
"Keluar!"
Aku kembali mengeraskan suara di depan Andres. Ia menghela napas kemudian mengangguk sebelum melangkah keluar kamarku.
Belum sempat aku bernapas lega, ia menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. "Kamu siap-siap, ya. Kita ke dokter. Tulang kamu perlu perawatan serius," katanya sesaat sebelum menutup pintu kamarku rapat-rapat.
Tidak sampai setengah jam aku turun dengan wajah yang sengaja kutekuk. Dengan langkah gontai aku menghampiri meja makan di mana kak Maudy, kak Nara, dan Andres menunggu. Tanpa basa-basi aku duduk dan menyendok nasi goreng yang disediakan kakak, tetapi lebih dulu Andres mengambil alih sendok nasi dan membantuku mengambil nasi.
"Makan yang banyak. Nanti kamu sakit lagi," katanya saat meletakkan satu telor ceplok dan irisan tomat juga timun segar. Ia kembali tersenyum seperti biasa--dua tahun lalu--seolah tidak ada yang terjadi tadi malam.
"Sekarang bisa cerita kenapa tadi malam kamu pulang dengan kondisi begitu?" Kak Nara memulai percakapan. Aku tahu ia tidak akan tinggal diam pagi ini ketika semalam aku tidak sama sekali menjawab pertanyaannya.
"Bukannya kemarin kamu pamit pergi sama temen kampus kamu? Kenapa jadi pulang bareng Ubay? Temen kamu ke mana?"
"Itu ... Anu, Kak."
"Anu apa, Maura? Kamu ditinggalin sama temen kamu? Siapa temen kamu? Biar Kakak hajar dia." Nada suara Kak Nara meninggi.
"Andra, Nar. Temen kampus Maura itu Andra." Suara Andres menjawab satu dari sekian banyak pertanyaan kak Nara.
"Andra?" Dia mengerutkan kening. "Andra adek lo, Bay?"
Andres mengangguk.
Kak Nara tidak banyak bicara lagi setelahnya. Ia menatapku seolah mencari kejelasan. Namun, aku hanya bisa diam menunggu Andres menceritakan kejadian detailnya.
"Jadi ... Maura nggak mau lo salah paham antara hubungan dia sama Andra. Makanya Maura minta balik sendiri dari kafe. Trus pas di jalan dia jatoh, makanya gue yang anter."
Kedua kakakku hanya menghela napas berat. Kak Nara meminum air putih sembari menatapku dengan tatapan sedikit tajam. Sepertinya, dia masih ingin mendengar cerita dengan versiku sendiri.
"Yaudah, habis ini kamu ke dokter ya, Ra. Biar kamu dianterin Ubay. Dia sengaja dateng ke sini mau anter kamu katanya."
Aku menghentikan kunyahan pada mentimun ketika mendengar perkataan kak Maudy. Andres datang ke sini hanya untukku? Apa aku tidak salah dengar?
****
"Kamu sariawan, Ra? Diem aja dari tadi."
Di dalam mobil, Andres mencoba berbasa-basi padaku yang sejak keberangkatan ke rumah sakit hanya diam dan sesekali menatap keluar jendela.
"Ra, kamu masih marah sama Kakak? Kakak minta maaf soal kejadian kemarin. Kakak tahu Kakak udah keterlaluan perlakuin kamu kaya gitu. Tapi please, jangan diemin Kakak kayak gini dong."
"Aku nggak marah, kok. Udah wajar kali kalo Kakak marah pas aku kaya gitu sama pacar kakak." Jujur saja, dadaku terasa sesak ketika mengucapkan kata pacar, tetapi aku harus terima kenyataan bahwa selamanya aku hanya akan dianggap adik kecil oleh Andres.
Andres hanya diam, ia sama sekali tidak menjawab perkataanku hingga mobil masuk ke areal parkir rumah sakit. Andres membantuku menyiapkan berkas yang akan kubutuhkan untuk mendaftar ke bagian ortopedi, mencarikan tempat duduk di tengah banyaknya pasien pada rumah sakit umum dan mengantarkanku pada bagian radiologi ketika mendapat rujukan dari bedah tulang.
"Hasilnya baru bisa diambil besok. Kamu sementara jangan kuliah dulu, biar Kakak minta Andra buatin catatan untuk kamu."
Perjalanan pulang tidak jauh berbeda dengan saat berangkat tadi. Aku yang hanya diam juga Andres yang sesekali mengajakku mengobrol.
Meski tidak menjawab, aku mendengarkan ketika Andres bercerita tentang Andra, sikap dan gadis yang disukainya dan dari cerita itu, aku tahu Andres sangat menyayangi Andra.
Jalanan siang itu sudah lengang, mungkin akan padat ketika menjelang jam-jam pulang kantor. Aku masih menatap gedung-gedung tinggi dari jendela, mengabaikan cerita Andres tentang adik kesayangannya.
Aku tidak pernah berharap jika Andres ternyata hanya menganggap kejadian dua tahun lalu itu sebagai suatu kewajaran. Namun, melihat sikap Andres membuat dadaku sesak. Kenapa harus aku? Kenapa Tuhan memberikan rasa ini hanya untukku? Tidak untuknya juga? Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya jika hanya untuk memberikan rasa sakit seperti ini?
Tiba-tiba saja mataku memanas, perlahan lelehan air mata keluar tanpa bisa aku cegah. Ia menepikan mobil ketika mendengar isakkan tangis yang aku keluarkan.
"Maura kamu kenapa? Ada yang sakit?" Raut wajah Andres berubah khawatir. Ia menata dan meneliti setiap inchi wajahku untuk memastikan jawaban yang aku berikan.
"A-aku mau pulang aja, Kak." Hanya itu kata yang mampu aku ucapkan di sela-sela isakkanku.
Kurang dari setengah jam lagi ....
Dan aku ketinggalan banyak episode-episode age gap ini_-
Semoga minggu depan bisa update lebih dan dobel-dobel pay-pay !!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top