tujuh belas
• secretalove •
Mirrorless berwarna hitam, tanpa sarung, atau foto lain di galeri selain aku sebagai objeknya itu membuatku mengerutkan kening.
"Kamu udah mau balik, Ra?"
Suara yang muncul tiba-tiba membuatku terjingkat dan refleks memasukan kamera tengah kugenggam ke dalam tas. Aku berbalik, menatap Andra yang ikut terkejut karena reaksi yang kuberikan.
Mengangguk untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Andra, aku tersenyum senyum kaku atas tanda tanya di kepala yang mulai bersarang tentang siapa pemilik kamera kecil itu.
"Nih." Andra menyodorkan plastik bening berisikan kotak putih bertuliskan 'Ini Toast' dan kopi dengan gradasi warna hijau dan cokelat pada kemasan.
"Ini apa, Ndra?" tanyaku seraya menerima pemberian Andra.
"Roti sama kopi," jawabnya. "Untuk cemilan sore. Anggap aja ucapan makasih karena kamu udah bantuin di sini tadi."
"Bantuin segitu doang juga. Tapi makasih ya." Aku mengulas senyum yang dibalas anggukan oleh Andra.
Kami turun dari lantai dua. Aku berpamitan pada Joni, ternyata ia masih sibuk dengan game, juga para karyawan yang sibuk menata sisa barang tadi. Pandanganku menyapu ke seluruh sudut coffeshop, mencari presensi seseorang yang sejak pagi aku tunggu kabarnya. Namun, nihil. Andres sama sekali tidak terlihat di sudut mana pun di coffeshop.
Aku mengembuskan napas berat. Sepertinya Andres sedang mencoba untuk menghindariku.
Ketika sampai di rumah, hal pertama yang aku lakukan adalah mengeluarkan kamera mirrorless tersebut. Aku tidak mau tahu, tetapi si pemilik kamera ini harus bertanggung jawab karena sudah menjadikanku seorang pencuri yang mengambil miliknya.
Membuka bagian galerinya, semakin penasaran dengan apa saja yang diambil si pemilik kamera ini tentangku? Dan, foto terakhir yang di galeri kamera tersebut berakhir di kampus. Foto ketika aku tengah mengurus pendaftaran sebagai mahasiswa baru.
Andra tuh aneh, Ra. Dia tuh sering banget ngeliatin lo diem-diem.
Pernyataan Sherly tadi pagi kembali bergaung di telingaku. Apa mungkin Andra adalah pemilik kamera ini? Sepertinya Andra bukan laki-laki yang seperti itu. Dia baik, perhatian, juga tidak banyak aksi jika itu tidak perlu. Seperti laki-laki yang akan bertindak dengan jantan ketika ia berambisi, bukan seperti apa yang dipikirkan oleh Sherly.
Apa ini milik Joni? Dia jelas anak orang berada. Sebuah kamera profesional tingkat dua dapat ia miliki, tetapi Joni tidak akan tahu di mana aku tinggal sebelum ini. Jadi, tidak mungkin ini milik Joni.
Atau ini milik Andres? Tetapi tidak mungkin, Andres saja tidak mengenaliku ketika kami bertemu untuk kedua kalinya. Bagaimana mungkin ia menghabiskan waktu untuk mengambil gambarku secara diam-diam.
Aku menutup kamera tersebut. Mungkin saja kamera itu bukan berarti apa-apa. Aku saja yang kelewat penasaran kenapa ada fotoku di dalamnya. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah bagaimana caranya aku mengembalikan benda ini saat aku sendiri tidak tahu siapa pemiliknya?
Aku meletakan kamera itu pada laci nakas, mengambil ponsel dan mengecek, barangkali ada pesan atau apa pun yang Andres tinggalkan untukku. Namun, ternyata dugaanku benar. Andres tengah berusaha untuk menjauhiku.
****
Hari ini hari minggu. Apa yang lebih baik dari hari libur dengan menghabiskan waktu seharian di dalam kamar tanpa mandi atau pun keluar rumah? Bagian terbaiknya, rumah sedang kosong, tidak ada Kak Maudy yang mengomel seharian betapa malasnya aku, atau Kak Nara yang akan menceramahiku tentang seharusnya menjadi seorang perempuan.
Siang tadi mereka menelpon, dan aku terpaksa harus berbohong ketika mereka bertanya aku sudah makan atau belum. Jangankan makan, kopi dan roti pemberian Andra kemarin saja akhirnya berakhir di tempat sampah dan sekarang sudah pukul tiga sore.
Aku turun dari kasur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sejak pagi aku belum mandi, jadi tidak mungkin aku akan tidur nanti tanpa mandi juga. Aku mengerutkan kening ketika melihat notifikasi yang banyak di ponselku. Andra menelponku lima belas kali ketika aku sedang berada di kamar mandi.
Belum sempat aku menelpon kembali, Andra kembali menelpon. Kugeser ikon hijau untuk menerima panggilannya. "Hallo, Ndra. Kenapa?"
"Kamu di rumah, Ra?" Begitu pertanyaan Andra ketika panggilannya tersambung.
"Iya."
"Udah makan?"
"Belum. Kenapa?"
"Dari pagi?"
"Nggak, sih. Kenapa, Ndra?" Aku berbohong. Tidak mungkin aku berkata jujur bahwa aku baru bangun bukan?
"Makan, yuk! Ada tempat ...."
"Aku nggak bisa, Ndra. Maaf, ya. Aku lagi pengen di rumah, pengen istirahat." Aku memotong ucapan Andra ketika ia belum selesai. Aku tahu itu salah, tetapi menjengkelkan saja ketika aku bertanya, Andra justru sibuk dengan maksudnya sendiri.
Aku menutup telepon sebelum Andra sempat menjawab. Setelahnya ia hanya mengirimkan aku pesan berisikan permintaan maaf karena sudah menggangguku.
Ketika sore, hampir gelap, selesai dengan drama Korea Start Up yang kutonton habis, aku keluar dari rumah. Mengenakan setelan rumahan, hanya kaos oblong dan celana hotpants jeans serta cardigan rajut selutut aku keluar rumah. Berjalan hingga ke persimpangan untuk mencari siapa tahu ada penjual makanan dekat-dekat sini yang bisa aku beli.
Ternyata tidak ada.
Aku pikir, jika kembali untuk mengambil motor pasti akan lama. Alhasil aku memesan ojek online setelah mencari rekomendasi tempat makan terdekat dengan bantuan Google.
Aku sampai di HL Xchange, tempat berkumpulnya berbagai penjual makanan yang tidak jauh dari lokasi kampus Moestopo. Aku duduk, memesan satu porsi paket dengan isi nasi dan ayam geprek serta memesan es teh manis sebagai minumnya.
"Maura?"
Aku mendongak untuk mencari siapa yang menyebut namaku dan mendapati Imel yang tersenyum kemudian duduk di sampingku. Di belakangnya ada Andres yang diam tetapi tetap mengikuti Imel duduk di meja yang aku tempati.
"Kamu sendirian?"
"Iya, Kak." Entah kenapa aku merasa canggung dengan situasi ini.
"Yaudah kita makan di sini aja, Bay." Imel memutuskan.
"Bukannya tadi lo bilang mau cari bebek? Di nggak ada kali." Aku hanya diam ketika Andres mencoba mengutarakan niatnya.
"Bebek sama ayam juga sama aja. Lagian dari pada Maura sendirian."
"Aku nggak papa, 'kok, Kak. Kakak kalo mau cari makanan lain cari aja. Toh aku tadi emang ke sini sendirian." Aku mencoba membantu Andres.
Mungkin berada di dekatku membuat dirinya tidak nyaman. Aku tersenyum, berpura-pura membaca pesan pada ponsel.
"Nggak ahh ... kita makan di sini aja, Bay."
Akhirnya Andres setuju. Mereka memesan makanan yang sama denganku. Andres tidak mengatakan apa-apa, tetapi bahasa tubuhnya jelas sekali jika ia risih aku berada di dekatnya. Tatapan Andres sedikit tajam--tidak seperti biasanya, aku melihat apa yang salah denganku? Seolah saat ini aku begitu kotor di hadapannya dan membuatnya muak berada di dekatku.
Untuk mengalihkan tatapannya aku sesekali melihat ponsel. Mengirimi Sherly pesan agar terus membalas pesanku setiap menit.
"Makan yang benar. Taro handphone-nya dulu, Maura." Tiba-tiba suara peringatannya keluar. Aku menjadi gagap pada setiap gerak yang aku lakukan.
****
Sepertinya takdir tengah mempermainkanku saat ini. Setelah terkungkung dalam rasa bersalah karena sudah mengganggu waktu mereka berdua, kini aku dihadapkan pada situasi rumit yang harus memaksaku untuk bersikap serba salah lagi di hadapan Andres.
Sejak pagi perutku memang belum terisi apa-apa dan sekarang aku makan makanan yang pedas. Kalian pasti tau apa yang sekarang aku rasakan. Perih yang merambat pada bagian perut hingga dada membuatku kelabakan. Aku berusaha menahannya, mencoba bersikap biasa di depan Andres dan Imel. Namun, ternyata itu belum cukup ketika hujan tiba-tiba turun ketika kami selesai makan. Bagaimana aku akan pulang?
"Kita baliknya gimana?" tanya Imel ketika melihat hujan semakin deras.
"Tunggu sampe reda aja. Masa iyaa mau ujan-ujanan ke kafe." Andres menjawab datar. Ia melipat tangan, berusaha berlindung dari hawa dingin yang menyelimuti badan.
Badanku menggigil, air hujan menyiprati kakiku yang sama sekali tidak terbungkus kain.
"Ngomong-ngomong tadi kamu ngapain ada di sini sendirian?" Pertanyaan Andres tiba-tiba menyapaku. Ia yang sejak tadi mendiamiku akhirnya bertanya.
Aku memutar otak. Mencari jawaban jitu agar Andres tidak berpikir aku membuntutinya. "Hmm ... tadi sebetulnya janjian sama Sherly, Kak. Tapi dia bilang ...." Aku sedikit berpikir ketika ingin melanjutkan kebohonganku.
"Bilang apa dia?"
"Telat katanya. Makanya aku makan duluan. Tadi di sini mau ketemuan aja. Dia mau nginep di rumah, Kak." Aku mengepalkan tanganku ketika berbohong pada Andres.
Untung saja ketika aku mengatakan itu, ponselku berbunyi. Aku berpura-pura menerima pesan dari Sherly.
"Kak Imel, Kak Ubay aku duluan, ya? Sherly udah jemput. Maaf aku tinggal, ya, Kak."
Aku berlari menerobos hujan, keluar dari kawasan HL XChange dan bersembunyi di balik foodtruck yang terparkir di depan.
Aku sempat mendengar seruan Imel ketika melihatku berlari, tetapi aku abai. Rasanya lebih sakit ketika melihat sikap Andres yang berubah dingin padaku. Kini, jika boleh aku memilih, aku ingin kejadian malam itu tidak pernah ada, agar aku bisa melihat senyumnya, agar aku bisa berbagi cerita dengannya tanpa rasa takut seperti tadi.
Kini, entah apa yang Andres pikirkan tentangku. Namun aku merasa kotor di depannya. Dan rasa sakit itu semakin terasa ketika melihat Andres memayungi Imel dengan jaket untuk menyebrang ke dalam coffeshop miliknya.
Hari ini nggak ada istilah-istilah ribet kan?
Kesel nggak sih sama sikapnya Andres? Kok aku mah sebel banget ya sama dia?
Kalian gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top