tiga belas
• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Hari kedua aku tinggal di rumah sendiri. Ponselku sudah berbunyi dua kali sejak aku tinggal mandi, keluar dari kamar mandi aku menyambar ponsel itu dan mengatakan 'sebentar' kemudian menutupnya kembali.
Setengah jam berlalu, seperti biasanya, aku memoles make-up tipis dan hanya mengikat rambutku menjadi satu ikatan simpul kemudian turun menuju dapur untuk mengambil bekal yang sudah kusiapkan.
"Lama nih!"
Andres mengeluh ketika aku muncul dari balik pintu. Kali ini ia terlihat segar, jaket tipis cokelat mudanya membalut seragam serba hitam yang selalu ia kenakan. Dia selalu tampil apa adanya dengan celana jeans hitam dan sneakers membuatnya tidak terlihat seperti laki-laki berusia di atas tiga puluh tahun. Seperti biasa, ia membawa motor kesayangannya, hanya pembedanya sekarang ia membawa dua helm.
"Helm baru?" tanyaku saat menerima helm berwarna putih dengan kaca cembung di depannya.
"Nggak, 'kok. Udah lama punya tapi nggak kepake aja. Helm cewek."
Aku mengangguk mendengar jawaban Andres dan segera memasang helm itu di kepalaku. Ketika memakainya aku tahu bahwa helm itu belum pernah dipakai orang sebelumnya, tetapi kenapa Andres membeli helm ini kalau dia tidak butuh? Dari model motor Andres yang besar saja aku tau ia tidak akan cocok dengan helm jenis ini. Tetapi itu tidak mau aku jadikan persoalan.
"Kak Ubay hari ini masuk pagi?" Aku setengah berteriak ketika motornya berhenti di lampu merah.
"Iya. Kenapa?" jawabnya seraya mendongakkan kepala ke belakang.
"Aku ada janji mau main sama Sherly. Kakak nggak usah jemput aku, ya?"
Ia tidak langsung menjawab. Lampu lalu lintas berubah hijau dan ia membelokan motornya ke arah kampus.
"Emang mau main ke mana?" Bukannya menjawab atas izin yang kuminta, Andres justru malah semakin bertanya. Ternyata, ia lebih cerewet dibandingkan Kak Nara.
"Cuma mau ke mal aja, 'kok. Nanti sore ketemuan di coffeshop Kakak deh." Tanpa sadar aku membujuknya.
Andres diam sejenak. Motornya sudah masuk ke area parkir gedung fakultas. Beberapa mahasiswa menatapku heran sementara Andres bersikap tidak peduli.
"Yaudah. Sore, ya. Jangan malam-malam." Andres menerima helm yang kusodorkan dan meletakkannya di atas tangki mesin.
Aku mengangkat tangan, memberikan tanda hormat padanya. "Siap, Bos!"
Ia tersenyum dan mengelus kepalaku--seperti yang ia lakukan semalam. Aku tersenyum dan merogoh tas untuk mengambil kotak bekal yang aku siapkan.
"Kakak suka ayam atau tuna?"
Andres mengerutkan kening mendengar pertanyaanku. Aku menyodorkan dua kotak bekal ke arahnya dan memintanya memilih. "Yang ini sandwich ayam, yang ini isi tuna. Mau yang mana?"
Bukannya menjawab, Andres justru tertawa melihatku menyodorkan kotak bekal itu.
"Pilih, Kak."
"Kamu suka yang mana?" tanyanya padaku.
"Aku? Aku suka yang tuna!"
Andres tertawa lagi sebelum kemudian mengambil kotak sandwich dengan isi tuna. "Kakak ambil yang tuna. Biar Kakak bisa ngerasain apa yang kamu suka."
Perkataan Andres itu membuat gelanyar aneh di perutku. Seolah ingin segera berteriak untuk mengungkapkan bahwa aku menyukai perkataannya.
"Yaudah. Kakak pamit, ya. Makasih buat sarapannya." Ia menepuk tas selempang tempat menyimpan bekal yang kuberikan kemudian memutar motor ke arah pintu keluar.
****
Entah satu atau dua orang kalian pasti pernah punya seorang teman yang sangat suka jalan-jalan bukan? Berjalan berkeliling dari ujung paling timur mal hingga ke barat kemudian kembali mengelilinginya seumpama tawaf yang dilakukan di dalam mal. Tanpa merasa lelah, seperti mengabsen satu persatu karyawan toko yang ada. Itulah Sherly.
Langkahku semakin lama semakin melamban. Sherly sudah seperti pemandu jalan yang terus saja mengoceh. Sesekali ia menolak tawaran brosur yang ditawarkan pramuniaga ponsel atau restoran. Aku hanya seperti ajudan, mengikuti langkah Sherly tanpa protes sama sekali.
"Jadi gimana perkembangan lo sama Kak Ubay?" Sherly menyeruput iced chocolate yang sejak tadi ia bawa.
"Nggak gimana-gimana," jawabku sekenanya.
"Jadi sekarang gencatan senjata sama hati sendiri?"
Aku mengangguk.
"Sekarang usianya tiga puluh dua. Coba deh, kalau nanti kita lulus umurnya udah tiga puluh lima. Tapi dia om-om sukses yang udah punya usaha sih. Sementara lo baru jadi lulusan yang belum tentu jadi apa-apa."
Aku tidak terima, menyela. "Aku punya banyak rencana untuk hidup ke depannya."
"Halah ... palingan nanti juga habis lulu nikah! Tinggal pilih tuh. Mau Naufal apa Andra, atau cowok-cowok yang dulu pernah nembak lo!"
Aku memukul pelan bahunya. Berjalan mendahului dan mempercepat langkah. Aku menatap lamat-lamat sebuah toko buku, membenak sesuatu, bukan tentang sindiran Sherly tentang sehabis lulus menikah. Sesuatu yang membuatku berpikir keras ialah tentang bagaimana perbedaanku dengan Andres.
Andres laki-laki yang sukses, punya pekerjaan tetap dan juga usaha yang menjamin masa depannya. Tentulah ia akan memilih perempuan cantik yang sefrekuensi dengannya. Imel contohnya. Sementara aku? Hanyalah mahasiswi biasa yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengannya.
"Makan dulu, yuk, Ra. Baru abis itu pulang."
Aku menoleh dan mendapati Sherly menunjuk salah satu restoran ayam cepat saji. Aku hampir saja menyetujui sarannya kalau saja tidak teringat akan janjiku tadi pagi pada Andres. Aku melirik jam, sudah menunjukkan jam lima sore dan waktunya aku untuk menemuinya.
"Pulang aja deh. Aku nitipin kunci sama Kak Ubay. Nggak enak kalau dia harus nunggu-nunggu." Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, memberikan cengiran khas rasa bersalah padanya.
Sherly menghela napas, kemudian melanjutkan perjalanan menuju pintu keluar sehabis mengangguk tanda setuju. Langkah kaki kami sudah di pintu depan, ojek online yang dipesan Sherly saat perjalanan mendekat, Sherly memastikan kemudian kami berpisah dan ia pergi terlebih dahulu.
"See you." Sherly melambai sebelum ojek online membawanya pergi.
Tidak lama berselang, ojek online yang kupesan datang, membawaku pada coffeshop Andres yang hanya memakan waktu sepuluh menit dari mal. Aku lihat Andres mengulas senyum ketika melihatku turun.
Saat aku turun dari ojek online, aku merogoh kantong untuk mengambil uang ongkos, tetapi Andres mendahului dengan memberikan uang pecahan dua puluh ribu pada sang sopir.
"Ehh ... nggak usah, Kak." Aku mencegah sopir ojek online untuk menerima uang Andres.
"Nggak apa. Ambil aja, Pak. Adek saya emang suka ngambek." Andres tertawa. Kemudian menarik tanganku yang mencegah sopir ojek online. "Simpan aja uang kamu. Ayo."
"Udah makan?" tanyanya ketika kami melewati pintu kaca.
"Belum. Tadi mau makan keinget janji nggak boleh pulang malem."
Andres terkekeh.
Aku mengerutkan kening karena bingung dengan respons yang ia berikan. "Kenapa?"
"Nggak. Pas banget kalo gitu. Kakak juga belum makan. Kita makan di luar gimana? Kakak traktir deh."
Itu tawaran yang tidak mungkin aku tolak, aku dengan antusias mengangguk. Andres kembali terkekeh pelan.
Rasanya aku ingin berterima kasih pada alam yang tengah memberikan jalan untukku berdiri lebih dekat pada Andres.
ᴋᴇᴀᴅᴀᴀɴ ɪᴛᴜ sᴜᴋᴀ ʙᴇᴄᴀɴᴅᴀ. ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴋɪᴛᴀ ᴍɪʟɪʜ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴʏᴇʀᴀʜ ᴊᴜsᴛʀᴜ ᴅɪᴀ ᴍᴀʟᴀʜ ʙᴜᴋᴀᴋᴀɴ ᴊᴀʟᴀɴ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴋɪᴛᴀ.
ᴀᴅᴀ ʏᴀɴɢ ᴘᴇʀɴᴀʜ ɴɢᴀʟᴀᴍɪɴ??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top