sᴇᴍʙɪʟᴀɴ ʙᴇʟᴀs

• secretalove •

Hari ini satu minggu sejak aku berdamai dengan perasaanku terhadap Andres.

"Kemana aja bidadari seminggu terakhir? Banyak yang uring-uringan nggak liat lo barang sehari aja tau, Ra." Joni menyapaku dengan suara lantang. Mengangkat tangan, mengajak saling bertepuk. Ia merangkulku, seolah kami sudah mengenal sangat lama.

"Ada urusan, Jon." Aku menyelipkan rambut yang mencuat karena Joni ke belakang telinga.

"Anak-anak pada ngumpul di kantin. Ikut, yuk! Ada Andra. Nanti lo bareng dia aja ke kelasnya." Joni menarik lenganku sepihak dan membawaku pada anggota FOGAMA yang tengah berkumpul di taman lapang, seberang kantin utama kampus.

Beberapa menatap kemudian mengangguk sebagai tanda menyambutku. Aku duduk di samping Andra yang sibuk dengan kaki tripod yang terlepas.

"Kenapa, Ndra?" aku bertanya ketika mendapati Andra tidak menyadari keberadaanku.

"Ehh? Ra. Kirain siapa. Ini si Fikri ada-ada aja. Tripod bisa sampe lepas gini kakinya."

Aku mengangguk tanpa menjawab. Andra masih sibuk dengan benda berkaki tiga itu hingga jam menunjukkan pukul delapan pagi, waktunya untuk memulai kelas pertama. Selesai memasang baut terakhir, Andra melipat tripod kemudian memasukannya ke dalam tas panjang.

"Nanti sore ketemu di basecamp aja." Begitu pesan Andra pada angota FOGAMA yang mendapat sambutan berupa anggukan dan acungan jempol sebelum mereka membubarkan diri.

"Masuk, Ra?" tanyanya ketika bangun dan menyampirkan tasnya.

"Iyalah! Masa bolos."

"Ya kali."

Hanya itu yang diucapkan Andra sebelum kami berjalan ke gadung fakultas. Andra membiarkanku melewati pintu kaca terlebih dahulu, tidak ada percakapan di antara kami hingga sampai di lantai empat. Seperti biasa, Andra bukan tipikal laki-laki yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.

Sesampainya di kelas aku duduk di kursi keempat--di samping Andra--membuka laptop dan menyambungkan koneksinya pada WIFI kampus.

"Ndra, bagi catatan komunikasi media massa. Boleh?"

Andra hanya mengangguk kemudian memberikan catatannya. Aku sempat terperangah, melihat catatan rapi, lengkap dengan garis tegas juga block warna dengan stabilo di buku catatan Andra.

"Rajin banget sampe diwarnain begini. Kayak buku anak TK." Aku berkomentar seraya membolak-balik catatan Andra.

"Warna bisa bikin kita lebih mudah mengingat dibandingkan hanya deretan kata yang lebih mirip kamus. Kalo kamu cuma mau nyalin tanpa buat gaya catatan kamu sendiri, lebih baik kamu fotocopy aja buku dosen kita."

Aku memberikan tanda peace pada Andra kemudian melanjutkan membebat halaman-halaman pada catatan Andra. Andra tidak merespons, ia melanjutkan fokusnya pada layar ponsel seperti yang biasa ia lakukan sebelum dosen datang.

"Kok kamu duduk di belakang, Ra?"

Aku menoleh dan mendapati Naufal yang berdiri di sebelah kursiku. Sherly juga baru datang. Dari wajahnya, aku tebak ia punya pertanyaan yang sama dengan Naufal.

"Tadi di depan udah diisi duluan. Lagian aku sekalian mau pinjam catatan Andra aja," jawabku dengan intonasi sepelan mungkin.

Jujur saja aku malas dengan pertanyaan yang diajukan Naufal. Memang apa salahnya aku duduk di sini? Toh yang lain sering berganti posisi duduk, tetapi dia tidak pernah mempermasalahkannya.

"Yaaa ... nggak masalah, sih, sebenernya kamu mau duduk di mana aja. Tapi kalo sejauh ini aku yakin kamu juga bakal nggak nyaman, Ra. Mendingan kamu pindah lagi ke depan."

Masa bodoh dengan ucapan Naufal. Namun, Sherly mengode agar aku segera menuruti perkataan Naufal tanpa suara--hanga gerakan tangan dan bibir yang komat-kamit.

Andra memasukkan ponselnya ke jaket. Kemudian menyenggol lenganku. "Kamu pindah ke depan lagi aja. Dari pada ribut. Udah mau masuk dosennya juga."

Entah apa maksud ucapan Andra. Namun, aku menuruti perkataannya, mengangkat semua barangku dan memindahkannya ke kursi depan. Beberapa mahasiswa yang lain hanya kasak-kusuk tanpa berani bersuara. Naufal mengambil catatan Andra dan melemparnya ke wajah sang empu.

"Naufal apa-apaan, sih, kamu?"

Aku menyentak lengan Naufal. Ia berbalik hendak mengatakan sesuatu, tetapi dosen lebih dulu menginterupsi kami semua.

****

Aku paling tidak suka dengan orang yang merasa dirinya lebih hebat dari pada orang lain. Naufal contohnya. Sejak pernyataan cintanya aku tolak beberapa minggu lalu, Naufal menjadi lebih sensitif terhadap Andra.

Andra yang tidak pernah bersuara selalu saja menjadi sasaran Naufal. Namun, dibalik itu semua aku lebih penasaran dengan sikap Andra. Kenapa laki-laki itu tidak pernah menunjukkan sikap pedulinya pada sekitar? Meski bersaudara, jelas sekali Andra dan Andres memiliki sifat yang jauh berbeda.

Jika aku mendefinisikan Andra sebagai laki-laki dengan pribadi yang datar juga dingin. Andres sebaliknya, ia lebih ekspresif dan hangat. Tunggu dulu! Kenapa aku jadi membandingkan mereka berdua?

Pasti banyak yang berpikir aku akan mudah melupakan Andres setelah perkataannya bukan? Nyatanya tidak. Meski aku memang menjaga jarak dengannya, bukan berarti aku dengan mudah menghapus Andres dari dalam hatiku.

Nah, lantas kenapa tiba-tiba aku jadi teringat dengannya?

Hingga jam kuliah selesai yang aku dengar hanyalah penggalan kata 'kebebasan pers dan hak asasi manusia' dalam kuliah hari ini. Aku membereskan barangku dan mengabaikan ocehan Sherly dengan melangkah ke belakang.

"Ndra. Kamu mau kumpul sama anak FOGAMA? Aku ikut, ya?"

Aku mengabaikan tatapan Naufal. Menarik Andra keluar terlebih dahulu yang disusul Sherly berlari di belakang.

"Parah banget, sih, ninggal-ninggal!" Sherly memprotes.

"Males aku sama Naufal."

"Tau! Si Naufal kayaknya udah bucin banget sama lo, Ra." Sherly sekarang berjalan di sampingku dan Andra.

"Aku nggak mau, ya, kita bahas dia lagi." Aku memperingatkan dengan acungan telunjuk di wajah Sherly.

"Justru karena kamu begitu makanya Naufal merasa dia punya kesempatan. Harusnya, dari awal kamu tegas sama dia atau memang kamu yang suka ngegantung dia begitu?"

Tiba-tiba saja Andra ikut bersuara. Aku hendak mengelak, tetapi banyaknya mahasiswa yang baru saja keluar kelas membuatku mengurungkan niat.

"Yang jelas jangan bawa-bawa aku kalo kamu mau punya urusan sama Naufal."

Benarkan perkataanku. Andra hanya tidak mau dirinya diseret masuk ke dalam masalahku dan Naufal. Jelas sekali Andra bukanlah pemilik kamera berwarna hitam yang sekarang berada di tanganku.

Omong-omong masalah kamera. Aku jadi penasaran, apa si pemiliknya tidak sadar bahwa kamera itu hilang? Atau ia berpura-pura tidak ada apa-apa.

Aku menoleh pada Andra yang hanya menatap lurus ke depan. Sesekali ia menoleh ketika disapa oleh beberapa senior. Begitu juga Sherly, sebagai admin grup gosip kampus, Sherly banyak dikenal oleh mahasiswa yang berbeda fakultas dengannya. Sangat berbeda denganku.

Aku mengulas senyum ketika kami sampai di ruang FOGAMA. Di luar, kami sempat bertemu beberapa anak BEM yang ruangannya memang bersebrangan dengan ruangan UKM. Ruangan itu masih sepi, mungkin yang lain masih ada sisa kelas.

Ruangan serba purih dengan gaya minimalis itu terasa nyaman. Ada whiteboard berisikan catatan-catatan konsep pemotretan alam yang akan dilakukan. Di dinding sebelah kanan ada struktural anggota FOGAMA juga frame-frame berisikan foto hasil jepretan para anggota.

"Foto yang ini bagus, Ndra." Aku menunjuk salah satu frame dengan foto penampakan Gerbang Tol Salatiga yang ada di Jawa Tengah dengan view Gunung Merbabu di belakangnya.

"Yaaa ... kamera bisa menangkap semua keindahan dan menjadikannya abadi lewat gambar."

"Tapi bukannya nggak ada yang abadi di dunia?"

"Tergantung bagaimana konsep abadi itu sendiri menurut kamu, sih," jawabnya.

Aku tidak mendebat lagi. Beberapa anggota FOGAMA masuk setelah mengetuk pintu kaca buram yang ditutup Andra agar pendingin ruangan dapat berfungsi baik.

"Ra, bagi bedak dong. Mau touch up dulu sebelum ikut foto-foto sama tukang foto keliling." Selorohan Sherly mendapat hadiah jambakan kecil di rambutnya. Itu Joni yang baru datang dan mendengat komentar Sherly yang sembarangan.

"Ambil aja di tas."

Aku masih sibuk dengan frame yang terpajang pada dinding. Hingga Sherly kembali menginterupsi. "Sejak kapan lo punya kamera, Ra?"

Sherly mengangkat mirrorless berwarna hitam itu. Beberapa anggota FOGAMA bersikap biasa. Namun, Andra menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ia mengambil kamera itu dari tangan Sherly dan memeriksa sesuatu.

"Dari mana kamu dapat kamera ini, Ra?"

ᴇʜʜ ʙᴀɴɢ ᴀɴᴅʀᴀ ᴋᴇɴᴀᴘᴀ ɴᴀɴʏᴀ ʙᴇɢɪᴛᴜ ᴄᴏʙᴀ??
ᴋᴀʟɪᴀɴ ʏᴀᴋɪɴ ɴɢɢᴀᴋ ᴋᴀʟᴀᴜ ᴋᴀᴍᴇʀᴀ ɪᴛᴜ ᴘᴜɴʏᴀ ᴀɴᴅʀᴀ? ᴀᴛᴀᴜ ᴍᴀʟᴀʜ ᴀɴᴅʀᴀ ᴛᴀʜᴜ sɪᴀᴘᴀ ᴘᴇᴍɪʟɪᴋɴʏᴀ?

ᴊᴀᴡᴀʙᴀɴɴʏᴀ ᴀᴅᴀ ᴅɪ ʙᴀʙ 20 ʜᴇʜᴇʜᴇʜᴇ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top