Bab 5
Kafe Keylight, milik Keyna, tidak terlalu ramai sampai buka larut malam. Jam 8 saja sudah tidak ada tamu yang muncul. Belum ada jam 10, para staf sudah bubar pulang. Jam kerjanya yang aneh lebih banyak pegawai yang dipekerjakan setelah jam 12 siang dengan maksud tertentu, karena jam siang dan sore, lebih ramai dibanding di bawah jam 12 siang.
Jam penutupan juga butuh banyak karyawan, untuk membersihkan dapur, meja-meja kafe, dan menghitung pendapatan cash hari itu.
Hal yang terakhir ini yang membuat Keyna menjadi termenung belum ingin pulang. Dia masih duduk di kursi kayu di halaman kafe, sedangkan Azam yang terakhir masih di kafe sudah duduk di atas motor matic yang sudah terlihat bobrok dan dimodifikasi itu.
Bocah itu sudah mau kabur pulang, tapi raut wajahnya tidak enak. "Teteh, ngapain masih di sini? Mau ditemenin?" Tawar anak lelaki berwajah manis itu.
"Kamu pulang aja. Aku masih mau di sini," jawab Keyna sudah berulang kali mengikrarkan kata yang sama.
"Mau ngapain dulu si, Teh? Udah mau jam 10."
"Hey, aku bekas anak tukang keluyuran malam-malam." Keyna mencebik. "Kamu pulang sana, ntar dicariin Ibu."
"Nggak enak ninggalin Teteh."
"Kenapa nggak enak? Kamu takut aku mau bobol kafe ya? Ini kan kafeku, Zam."
Azam segera berwajah kecut tapi juga sekaligus menahan tawanya. Sedangkan Keyna sudah terkekeh pelan.
"Bukan begitu. Jarang-jarang Teteh betah di sini setelah bubaran pulang."
"Paling 10 menit doang di sini."
"Ya udah, Azam tungguin," katanya seolah memang takut Keyna akan membobol kafe.
"Zam, ini kafeku. Aku pengen liat sesuatu, apa yang kurang biar kafe kita buka sampe tengah malem kayak coffee shop beberapa blok itu," ucap Keyna segera mengendikkan kepala ke arah bangunan penuh imajiner.
"Teteh mau stalking coffee shop Mang Fikri? Astaga, bilang dong!" Azam terkekeh. "Ke sana aja langsung, Teh, di sana masih rame. Aku takut Teteh ditemenin huntu di sini. Di sono banyak cowok-cowok juga. Ganteng lah."
Kedai kopi itu namanya ReMang. Yang paling rame di sekitar kampung situ. Karena sudah terlanjur mengada-ngada alasan mau mengamati kedai kopi yang ramai itu, Keyna pasrah saja saat diledekin oleh Azam.
"Jadi, kamu udah bisa pulang, Zam, kan udah tau alasannya."
"Sebenarnya belum, nggak enak, takut ada apa-apa cewek di halaman remang sendirian begini."
"Sebelum ini jadi kafe, aku sering di sini sampe larut malam loh pas tukang renovnya udah pulang. Bahkan pernah nginep. Aku nggak takut." Setelah kafe rapi tapi belum bisa beroperasi, Keyna pernah menginap. Entah mengapa dia sangat bangga dan senang pada apa yang dimilikinya.
"Ya udah, kalo ada apa-apa hubungin Azam ya. Ntar cepet sampenya soalnya dibantu diajak terbang sama setan."
"Kamu langsung pulang aja, ntar Teteh yang gembok pintu gerbang pake kunci cadangan yang aku pegang. Biar besok kamu tetep harus dateng pagi buat buka gembok."
Azam mengangkat jempol. "Siap, Ratu. Saya pulang dulu karena mau push rank game."
"Tidur, jangan begadang!" omel Keyna seperti kakak bawel.
Azam terpingkal kecil lalu pergi membawa motornya melalui gerbang yang terbuka, jadwal seharusnya digembok oleh bocah itu yang sudah memegang kunci gembok gerbang depan.
Kini kesendirian yang hanya melingkupi cewek itu. Dia tidak peduli lagi pada kedai kopi yang tadi dibahas ingin diamati. Sekarang cewek itu malah duduk di pinggiran teras kafe memeluk kakinya dan meletakkan dagunya, seolah kardigan besarnya tidak mampu menghangatkan dinginnya malam ini.
Dia hanya membayangkan, beginilah keadaan kafe nanti, mungkin saat nanti dia dengan amat terpaksa harus menutup tempat itu. Atau berakhir akan menyewakan tempat ke orang yang tepat. Bisa jadi akan dijual saja kalau dia akan terpaksa menjalani ini sampai hutang di bank bertumpuk karena memaksakan operasional kafe yang tidak menguntungkan amat.
Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Harusnya dia sadar, dia tak ada bakat lebih untuk hal-hal seperti ini. Uji peruntungan yang amat salah. Keyna segera menghapus air mata begitu ada suara berat pria yang memanggil namanya dan juga suara bebatuan yang diinjak.
Keyna melongo tak percaya melihat sosok pria bertubuh tinggi yang perlahan mendekat rupanya semakin jelas terlihat adalah Arsyi. Arsyi Raffa.
"Hai, kok belom pulang padahal udah se-sepi ini?" tanya lelaki berhidung bangir dengan alis tebal itu. Penampilan Arsyi yang masih memakai kemeja lengan panjang warna biru tua, minus dasi di leher, lelaki itu masih tampak seperti orang yang masih di jam kerja. Masih rapi, wangi, dan wajahnya bersih tanpa minyak. Cowok ini memang terlahir ganteng.
"Kamu dari mana?"
Arsyi ikut duduk di sebelah Keyna. Cewek itu sedikit menggeser posisi duduknya bukan karena sempit. Dia tidak mau lelaki itu berada sangat dekat sampai lengan dan dudukan mereka sedikit bersenggolan. Keyna diam saja saat melihat Arsyi yang menunjukkan reaksi judes karena dihindarin.
"Mau mampir. Tadi aku ke sini, tapi kafenya udah mau tutup lagi diberes-beresin. Aku ke kedai kopi deket situ dulu."
Keyna tercenung. "Bank kantormu kamu jauh dari sini. Jam kerja kantormu overwork ya sampe lewat dari 9 jam kerja?"
Masa iya sudah malam Arsyi masih keluyuran ke kafe-nya dengan alasan mampir. Tidak logis. Bisa saja terjadi jika Arsyi habis lembur dan lapar berat.
"Tadi siang aku ke daerah sini lewat depan kafemu. Tiba-tiba aja jadi pengen mampir. Jam 8 udah beres-beres?"
"Udah. Lihat aja, sepi begini malem-malem di jalanan depan."
Keyna tidak melawak, tapi Arsyi mampu melebarkan senyuman. Ucapan dan nada suaranya sangat tidak bersahabat, anehnya Arsyi tidak tersinggung.
"Jadi aku tungguin, mau ketemu kamu setelah kafe tutup. Tapi telat dikit ke sininya, aku udah ada di depan pagar situ dari pas kamu ngobrol sama si yang anak bocah itu."
"Namanya Azam. Parkir di mana mobil kamu? Awas kena bobol."
Arsyi menjadi ngeri. "Masa banyak penjahat? Kata si barista kopi di lahan kosong pinggir jalan sini aman-aman aja. Kalo emang banyak penjahat, kafe kamu udah dibobol dari lama, kan?"
"Malingnya selektif. Apa yang mau diambil sih dari kafeku?"
Keyna berusaha mengusir sugesti bahwa ucapan adalah doa. Lagian Arsyi ngomong sembarangan. Pria itu senyum simpul. Masih tenang dan kalem seperti mereka awal saling kenal.
"Ngapain mau ketemu aku?" Keyna meluruskan kembali demi jawaban atas kebingungannya.
"Cuma pengen ngobrol. Kenapa kita jadi asing, Na?"
"Kita kenapa?" tanya Keyna balik. Heran.
"Bukannya pernikahan mereka tanda kamu udah nggak suka sama aku."
Keyna mendengus geli, dia kaku ditembak pertanyaan begitu. "Siapa yang masih su-ka?" Dia juga kaku saat menjawab dengan ungkapan itu.
Arsyi menatap Keyna. "Kamu masih suka sama aku, Na? Bukannya kamu nyerah dengan perasaan itu dengan merelakan Pak Darso nikah sama ibuku."
"Maunya aku harus gimana, Ar?"
Keyna juga tahu, sebelum pernikahan itu terjadi keduanya masih akrab dan Arsyi yang membantunya dalam beberapa hal yang berkaitan dengan gosip busuk hasil kelakuan Nava. Memang Keyna sangat kurang ajar tidak ingat siapa yang pernah baik dan berpihak padanya saat semua orang menjahatinya.
"Kenapa makin menjauh dari aku? Kamu nggak nyaman karena masih ada rasa ya?"
Lelaki itu memang tahu perasaan Keyna yang terpendam semenjak lama. Makanya mengira itulah alasan mengapa Keyna mengasingkan diri. Bukan. Keyna mengasingkan diri dari semua orang.
Dengan suara berserak, Keyna menjawab, "Kalo karena aku jarang pulang ke rumah, ya aku kan sibuk. Kalo aku nggak pernah ke rumahmu, ya itu alasannya, jangankan ke rumahmu, ke rumahku aja jarang pulang. Itu juga bukan rumahku, kan, Ar. Aku kan cuma anak angkat." Wajah perempuan itu segera berpaling. Keyna menjadi membelakangi Arsyi. Dia menahan agar tidak menangis.
Dekapan dari belakang tubuhnya terasa, Arsyi menghangatkan tubuhnya. Pria itu bagai mengerti segala kepahitan yang muncul dalam benak Keyna.
Keyna masih emosional jika mengingat kejadian itu. Fakta itu memang benar. Tapi mengapa bisa membuatnya se-hancur itu?
"Udah malem dan semakin dingin. Pulang yuk, aku anterin," ucap Arsyi melepaskan pelukan dan mengusap puncak kepala Keyna.
Cewek itu menyeka air mata yang tak bisa ditahan. Karena menangisnya dihentikan entah mengapa matanya menjadi perih.
Selama dalam perjalanan pulang mereka diam saja. Jalanan sudah sepi. Suara knalpot motor racing yang memekakkan telinga saat lewat sedikit membuat Keyna beberapa kali tersentak dan mengumpat. Namun sebelum turun dari mobil Arsyi tepat di depan kosan Keyna.
Pria itu menanyakan sesuatu. "Apa kamu pernah menyesali pernikahan Pak Darso dan ibuku?"
"Nggak. Pernikahan mereka adalah keputusan mereka. Aku nggak mau bereaksi apa-apa." Keyna sudah ingin membuka pintu mobil tapi kembali menoleh pada Arsyi. "Makasih ya udah anterin. Oh ya, kita nggak bisa bersama bukan karena mereka menikah. Kamu inget itu, 'kan?"
Jadi tolong, jangan berpikir kalau aku marah atau sedih karena orangtua kita menikah?
"Kalo gitu, kenapa kamu marah dan benci sama aku?" tanya Arsyi dengan nada suara penuh penekanan dan keras. Matanya menunjukkan sakit.
"Aku nggak marah apalagi benci. Cuma aku pengen jauh dari orang-orang aja."
"Apa nilai aku sama kayak Nava ya sekarang? Aku punya kejahatan yang nggak termaafkan?"
Keyna menggeleng. "Mungkin kita nggak bisa akrab kayak dulu lagi. Kita pernah saling nggak ada kabar selama beberapa tahun, ya? Mungkin kali ini benar-benar bisa disebut 'masanya udah abis'. Tiap orang punya waktunya masing-masing untuk jadi asing kan?"
Karena Arsyi masih diam saja terlihat kehilangan kata-kata Keyna segera membuka pintu mobil untuk turun. "Makasih, Ar."
Keyna menahan seringai geli, dia mengeluarkan kartu AS lama. Apa-apaan dulu cowok itu yang menganggapnya tidak ada padahal sangat mudah untuk menyapanya.
Pernikahan dua orangtua itu bukan jadi masalah untuk Keyna. Dia tidak ada hubungan darah dengan Pak Darso. Jika menikah dengan Arsyi pun diperbolehkan. Hanya saja bukannya mereka tidak memiliki perasaan yang sama? Kenapa Arsyi masih menganggap Keyna masih keberatan atas pernikahan Pak Darso dan Bu Sanna!
Kau sedih bukan karena nggak akan bisa menikah dengan pria itu. Karena nyatanya kalian bisa saja tetap menikah. Kalian bukan saudara sedarah. Kau juga bukan anak kandung dari lelaki yang sekarang menjadi bapak tiri cowok itu. Sangat boleh untuk menikah, bukannya?
"Kita nggak bisa bersama bukan karena mereka menikah. Kamu inget itu, 'kan?"
Pernyataan Keyna tadi yang itu tidak dijawab oleh Arsyi. Seharusnya lelaki itu mengingat jelas pembicaraan mereka hari itu.
Alasan nggak bisa bersatu, karena si pria itu nggak ada perasaan spesial lebih padamu.
❤❤❤
Keyna kembali duduk di teras kafe. Jam 11 siang. Belum memiliki rencana sudah harus dipaksa untuk mikirin masa depan.
Ada banyak pilihan memenuhi kepalanya. Dia harus ngurangin karyawan atau sudahlah tutup kafenya lebih cepat. Dia akan kembali kerja kantoran saja. Apa egois dia kabur dan karyawannya pada dihentikan? Tapi, bukankah lebih baik mereka kerja di tempat yg lebih baik daripada di kafenya yang tidak ada masa depannya.
Keyna nangis sesenggukan. Entahlah meski tidak bisa menyelesaikan masalah, dia mau nangis dulu.
Lagi-lagi Arsyi muncul di depannya seperti peri ajaib. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil menjentikkan jemari di depan wajah Keyna.
Keyna sampai heran. Kok bisa ada pria ini lagi?
"Aku habis kunjungan ke warung sembako deket sini yang ajuin pinjaman ke unit bank tempatku," Arsyi menjelaskan menjawab keheranan Keyna.
Ngapain pagi-pagi sudah muncul di kafe Keylight?
Penampilan Arsyi yang rapi klimis. Wangi dan wajahnya masih segar memang menunjukkan lelaki itu sedang di tengah jam kerja, bukan cuti atau main-main.
"Kamu buang-buang waktu buat ke sini, Ar." Keyna mendengus marah. Matanya melotot.
Arsyi malah nyengir. "Nope."
"Aku nggak pengan ngobrol apalagi buat berakrab diri sama siapa-siapa. Nanti kamu yang malah kesal, karena terus diketusin."
"Jangan tiran gitu deh. Lagian itu bukan jawaban pertanyaan aku. Kamu nggak apa-apa?" Arsyi kembali membahas kondisi Keyna.
"Aku bersikap benar kok. Jangan nanya-nanya, aku tiran nggak bisa diajak akrab." Keyna mencebik bibir, nyebelin.
"Jangan nangis di sini. Kamu ngusir tamu yang mau dateng loh."
"Jam segini masih sepi." Keyna bangun dari duduknya dan mengusap mata dengan gerakan lembut agar bedaknya tidak longsor kena sapuan tangan. "Aku masuk. Ada kerjaan penting."
"Na, ada yang minta nomor kamu, buat hal yang penting." Arsyi menghentikan langkah Keyna.
Keyna menjadi gede rasa dan campur bingung. "Siapa? Mau apa?"
Mau jadi jodohku, kah?
"Jati. Mau kenal sama kakak-kakaknya Nava. Kalo kamu nggak nyaman atau males nanggepin, ya udah jutekin aja." Arsyi selalu membuat kondisi Keyna selalu buruk. Sekali datang bikin pusing. Tapi, ini yang paling aneh.
Alis dan kening Keyna sampai menjadi keriting. Heran.
"Jangan kasih nomor aku. Suruh dia minta sendiri!" seru Keyna dengan mimik wajah kesal. Bahkan dia ingin melampiaskan bentak-bentak Arsyi padahal orang itu bukan objek kekesalannya saat ini.
"Galak banget sama orang. Jati akan jadi bagian keluarga kita loh. Jangan disinisin, dia nggak ada salah apa-apa."
"Siapa yang sinisin dia? Jangan libatin aku," tukas Keyna cepat. "Kalian ntar ribetin aku."
"Makanya udah aku ingetin dari awal. Jangan jutek ke orang lain. Mereka udah berusaha baik. Emang kayak mau diapain sih, Na, sampe nggak mau ngobrol sama orang lain?" Arsyi melongo tak percaya.
Sekarang pria ini bersikap sebagai juru bicara keluarga Darso atau kakak tertua di keluarga itu. Keyna mendecak. Tak ayal kini dia seperti adik yang sedang dinasehati sang kakak.
Keyna malas terlibat dengan orang lain, lebih banyak ganggu dan ribetinnya. Saat dia sulit memang akan ada yang membantu?
Karena lamunan yang tadi pagi dia menjadi kesal lagi karena orang-orang mencarinya untuk mengganggu saja.
Wajah berang Keyna membuat Arsyi cukup lama diam saja. Dan kemudian akhirnya bicara dengan nada pelan ucapannya menarik sampai bisa mencegah langkah kepergian Keyna.
"Aku lihat kamu nangis dua kali. Ada apa? Kenapa kamu nggak nganggep aku sodaramu? Atau sebagai temen kamu deh? Aku bisa diandelin, Na. Cerita aja sama aku."
"Aku nggak ada masalah apa-apa," tandas Keyna langsung.
Belum sempat balik badan dan pergi, Arsyi melangkah maju menuju padanya, berkat kaki panjang pria itu mencapai Keyna dengan amat cepat. Pria itu memegang lengan Keyna dengan mata menatap lurus pada matanya. Jemari Arsyi melepas pegangan pada lengan Keyna, segera memegang jemari cewek itu dengan belaian amat lembut.
Keyna membeku dengan mata menatap Arsyi yang tidak bicara apa-apa lagi.
Pada saat yang bersamaan, Azam muncul ingin lewat melalui area depan kafe seraya membawa lap meja dan semprotan cairan pembersih noda.
Keyna segera menarik tangannya dari pegangan Arsyi. Astaga!! Keyna menjadi malu dan wajahnya memanas.
Bocah remaja itu melihat adegan yang tak wajar dari aktris si bosnya sendiri. Matanya melebar terkejut. Segera mengendalikan diri, Azam segera balik badan dan pergi masuk lagi. Good actor bocah itu.
Keyna segera pergi masuk juga dengan membawa kekikukan. Wanita itu tidak menoleh lagi, bodo amat soal si pria yang selalu muncul dengan menciptakan efek kekacauan di hatinya.
❤❤❤
5 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top