Bab 32
Hari ini ada agenda besar. Bu Sanna dan Arsyi mengundang keluarga Jati untuk datang pada pertemuan perkenalan keluarga calon istri Arsyi, Tifa. Akan dihadiri juga oleh orang tua Tifa yang jauh-jauh datang dari Jakarta. Bu Sanna dan Arsyi menggelar acara tersebut di sebuah restoran yang tak jauh dari rumah Arsyi. Orang tua Tifa tidak keberatan perjalanan yang jauh sebab hanya ke kota sebelah tidak begitu melelahkan.
Keyna sudah bisa memprediksi bahwa pertemuan ini selain akan perkenalan pada keluarga Tifa, sekalian pengumuman di mana sebulan lagi adalah hari lamaran Arsyi dan Tifa. Bu Sanna yang membocorkan rencana itu pada Keyna supaya memastikan dirinya harus hadir pada acara tersebut.
Sudah sejak semalam Keyna pulang ke kotanya, dia diajak menginap tinggal di rumah besar. Bu Sanna dan Pak Darso juga menginap di rumah itu sehingga tidak membuat Keyna harus berdua saja dengan Arsyi.
Keyna beralasan harus menginap agar dia bisa ikut mobil keberangkatan Bu Sanna. Awalnya Jati sempat memprotes rencana itu, bahkan juga siap jika harus menjemput Keyna di rumah kosannya yang cukup jauh.
Keyna berupaya menenangkan jika dirinya sedang mendalami pendekatan ekstra setelah apa yang selama ini Bu Sanna usahakan agar bisa diterima kehadirannya di keluarga Pak Darso. Jati akhirnya cukup paham, karena kalau tidak dekat dengan Bu Sanna, pacarnya itu tidak punya keluarga dekat lagi.
Keberangkatan jam 6 kurang, meski restoran dipesan untuk acara jam 7 malam. Keyna ikut dalam rombongan mobil bersama Bu Sanna, Pak Darso, dan dikemudikan oleh Arsyi. Nava akan datang bersama pacarnya dan menyusul ke lokasi acara. Keluarganya Jati akan langsung berangkat ke sana dari rumahnya.
Setelah berhasil melewati kemacetan akhir pekan, mobil mereka tiba di halaman parkiran restoran besar. Mereka segera masuk dan menunggu di meja yang sudah dipesan. Sekiranya dalam satu meja akan ditempati oleh 6 orang. Sudah ada 2 meja besar yang diatur berdekatan. Bu Sanna, Pak Darso, dan Arsyi memilih duduk di satu meja. Keyna memilih duduk di meja yang lain.
“Na, kenapa duduk sendirian di sana?” Pertanyaan Pak Darso membuat tiga orang itu menjadi ikutan memandanginya.
“Aku duduk sama keluarga Jati, Pak.” Nyengirnya malu-malu. Sudah ngebet banget jadi bagian keluarga Jati, kah? Hati kecilnya meringis malu berat.
“Kalo gitu, biar satu meja isinya orang tua. Meja lainnya isinya anak muda,” celetuk Arsyi yang malam ini memakai kemeja warna biru tua pas tubuh, membalut tubuh tegap dan kencangnya. Lelaki itu segera beranjak dan menyusul Keyna. Arsyi duduk di seberang kursi kosong sebelah Keyna.
“Tifa udah di mana, masih jauh?” tanya Keyna berusaha santai. Sejak keributan di mobil dan halte siang itu, hanya dia yang berusaha bersikap biasa dan ngajak ngobrol duluan. Sedangkan Arsyi mendadak jadi pendiam.
“Deket lagi. Jati udah di mana?” Arsyi balas bertanya memandangi ponsel di genggaman tangan Keyna.
“Tadi lagi kena lampu merah, mungkin sekarang udah makin dekat.”
“Nava dateng sama siapa? Dia nggak mau kasih tau,” ungkap Arsyi bagai berusaha keras tidak membuat suasana kering akan obrolan.
Keyna hampir menyentak, mana aku tahu! Cewek itu nyengir kecil. “Kita lihat aja nanti.”
Setelah kejadian pelabrakan itu tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Jati bilang yang Keyna harus lakukan memang cukup mengabaikan keberadaan orang itu.
Keluarga Jati yang muncul duluan, Keyna segera menyambut kedatangan kekasihnya. Jati juga segera menghambur mendekatinya dan memuji betapa cantiknya dress hitam yang Keyna kenakan. Keyna menyalami orang tua pacarnya itu dan dipeluk mesra oleh Tante Widi.
Tante Widi dan Om Kamil masih bersapa ria dengan Bu Sanna dan Bapak lalu bicara panjang lebar. Arsyi yang tadi berdiri untuk memberi sapaan pada Jati sambil memegang ponselnya pamitan untuk berderap ke parkiran mobil. Keluarga Tifa sudah datang, katanya.
“Mana adekmu?” tanya Jati memandang ke sekitar. Pria berkemeja lengan pendek warna hijau army itu membuat Keyna nyaris menabok lengannya. Ucapannya ngeselin banget. Jati nyengir karena berhasil bikin Keyna kesal.
“Nanti dia datang nyusul bawa gandengan. Kamu jangan cemburu ya?” Keyna balas menggoda.
Tahu-tahu saja Jati menarik ujung hidungnya sampai Keyna menepis tangan itu.
“Nanti nempel di tangan kamu dan wajahku belang!!”
Jati yang duduk di sebelahnya tertawa geli.
Tahu-tahu saja Tante Widi muncul di belakang Keyna dan mengelus kedua bahu cewek itu. “Apa kabar, Na? Kamu sehat? Jati nakal dan ngeselin nggak?” tanyanya dengan wajah ramah.
Keyna segera mendongak dan terkekeh. Apa itu nakal? Jati definisi pria baik-baik dan sopan. Bisa dibilang Jati itu seperti pria amatiran.
“Alhamdulillah, Tante. Jati nggak nakal kok, Tan. Ngeselin sih iya.”
“Memang aku ngapain?” Jati memprotes melotot. Ibunya terlihat tersenyum simpul. “Keyna lebih susah dibilangin, Bu. Kalo kerja suka lupa lunch.”
Obrolan mesti terhenti karena Arsyi muncul dengan rombongan keluarga Tifa. Mamanya cewek itu masih muda dan cantik. Di belakang mereka terlihat cewek tinggi dan semampai memakai tube dress warna pink. Nava. Beserta dengan sosok cowok bertubuh tinggi yang tidak Keyna kenal.
Di meja yang berisi muda-mudi itu, Nava membuka suara memperkenalkan temannya itu. “Ini Mas Arfan, pacar aku. Tadi sama Arsyi udah kenalan, kan? Bebiiii, ini Mbak Tifa, calon istri Arsyi.”
Pria bernama Arfan itu tersenyum ramah pada Tifa.
Keyna melirik pada Jati yang duduk di sebelahnya dan tertangkap basah sedang memandanginya tak berkedip seolah tidak akan ada yang mengusiknya atau membuatnya tertarik selain wajah Keyna. Tahu-tahu saja tangannya di kolong meja sudah digenggam, jemari mereka kini bertautan. Keyna berusaha keras menyembunyikan rasa salah tingkahnya.
“Mas Arfan, ini Keyna, kakak aku. Dan Mas Jati ini pacarnya.”
Keyna tersentak, segera mengangkat pandangannya menjadi ke arah dua orang yang masih berdiri itu. Dia melepaskan pegangan tangan Jati, sebelum kelakuan mereka yang senyum-senyum penuh makna berduaan mengundang kecurigaan.
Arfan melemparkan sapaan ramah dan mengulurkan tangan, Keyna dan Jati kompak membalas seraya senyum cerah.
“Arsyi, aku sama Arfan jangan dipisah. Please ya, kita duduknya di–” ucapan Nava terhenti dan mata ber-softlens abu-abu itu memandang bingung.
Keyna memahami, dari segala sudut posisi kursi di meja itu tidak ada yang menyenangkan untuk Nava. Mau pilih yang mana? Duduk di dekat Keyna atau dekat Jati? Seberang Jati atau Keyna? Hayoo, pilih yang mana??? Mana??? Keyna jadi ingin tertawa cekikikan.
“Kamu di sana, Va!” Arsyi menunjuk kursi seberang Keyna.
“Aku di sini aja.” Dari keputusan Nava yang memilih duduk dekat Jati dan membawa Arfan agar duduk di kursi yang seberang Jati, itulah menunjukkan betapa bencinya cewek itu pada Keyna. Mendingan duduk dekat pria-pria ganteng.
Arsyi memboyong Tifa yang sejak tadi diam saja dengan wajah bingung menonton adegan perebutan tahta kursi kerajaan. Cowok itu menarik kursi serong kiri Keyna dan mempersilakannya pada Tifa. Sedangkan Arsyi duduk di seberang Keyna.
Saat mereka bertemu mata dengan garis lurus, Arsyi kedapatan memandanginya tanpa kedip, saat Keyna mengernyitkan dahi Arsyi tampaknya tersadar lalu segera pandangannya dialihkan ke arah lain.
“Halo, Mas Jati, udah lama nggak ketemu kok kayaknya kurusan?” Nava masih seperti dulu, berbicara memancing obrolan duluan pada orang di sekitarnya.
Keyna hanya fokus pada Arsyi yang baru saja memberikan informasi kalau makanan tidak lama lagi akan siap dihidangkan. Saat soal ribut kursi tadi, Bu Sanna sibuk kordinasi dengan orang restoran. Wanita itu tidak butuh siapa-siapa, lihatlah betapa kerennya wanita itu.
“Jangan lupa makan, Mas Jati, kurusan gitu kayak orang sakit,” cetus Nava seraya terkekeh.
“Kurusan gara-gara sakit lama waktu itu. Sekarang jadi susah gemuk kayaknya.” Jati menimpali dengan ucapan basa-basi.
“Apa karena kurang bahagia? Ada masalah apa sih, Mas, sampe stres dan kurang bahagia gitu?” tanya Nava masih tertawa kecil. “Terakhir ketemu aku masih segar dan wajahnya cerah.”
Keyna memandangi orang lalu lalang yang lebih menarik perhatiannya.
“Waktu itu galau mikirin Keyna sampe sakit tipes dan masuk RS.” Jati entah sengaja atau tidak. Cowok ini tampaknya tak ada rasa bersalah membuat dua cewek menjadi melotot padanya. Dari raut wajahnya yang cengengesan sepertinya hanya ingin lebay dan drama soal hidupnya.
Nava sudah melotot sempat memutar bola matanya dan menggertakkan rahangnya sampai tulangnya terlihat.
“Makanya jangan sakit lagi, ngejar cinta aku sampe kena tipes.” Keyna nyengir sambil memandangi Jati setelah memahami agenda cowok itu untuk membungkam Nava.
Bagus, sekarang kamu yang ngajak-ngajak aku biar semua ini semakin memanas!!
Lagi-lagi Nava terlihat memberikan respon yang ngeselin kelewat sinis. Memutar bola mata dan mencebikkan bibirnya.
Keyna ingin terkekeh secara terang-terangan, tapi harus ditahan lantaran Arsyi sudah memandangi mereka.
“Nggak heran, Va, Jati itu kerjanya pake otak dan susah. Bikin mumet. Eh, lo masih jadi kerja yang lama, kan?” Arsyi ikut dalam pembicaraan seolah mengalihkan nuansa yang mendadak jadi menyeramkan karena Nava mulai tampak bete.
“Masih, itu ladang gue.” Jati dan Arsyi kemudian ngobrol berdua soal pekerjaan mereka.
“Mbak Keyna, gue sama Arsyi belum sempet main ke kafe lo.” Tifa menyentak lamunan Keyna. Cewek cantik itu nyengir tidak enak hati.
“Ohhh, udah tahu dari Arsyi ya? Ya, namanya juga usaha. Akan ada untung-rugi.”
“Sekarang kerja di mana, Mbak?” tanya Tifa.
“Gue jadi staf finance lagi di pabrik.” Keyna menghela napas. “Dapetnya jauh banget.”
“Mbak pasti suka petualang dan mudah beradaptasi,” kekeh Tifa.
Keyna tertawa malu. “Enggak juga. Keadaan memaksa.”
Waktu itu kebetulan dia butuh suasana baru dan tak ada halangan lagi yang mengharuskan menetap di suatu tempat. Dia mendapat kesempatan kerja di luar kota tempat kafenya, dia ambil jalan itu. Kebetulan saat itu dia sangat ingin semakin jauh dari lingkungan kafe atau rumah Pak Darso. Biar semakin sulit interaksi mereka. Namun, dia selalu tetap diraih kembali oleh keluarga mereka. Pengen menjauhi Jati, tapi akhirnya masih tetap bisa ditemukan.
“Omong-omong, kapan nikahnya, Mbak?” Jati ikutan nimbrung mereka dan memandangi Tifa. Lelaki itu melirik Arsyi sambil tertawa. “Dia nggak ada cerita.”
Memangnya kalian sudah jadi sohib? batin Keyna.
Arsyi saja masih menganggap Jati sebagai sumber masalah baru yang jadi alasan Nava akan terus memusuhi Keyna.
Arsyi mendecak kecil. “Tanya Keyna aja.”
“Aku kan nggak tau.” Keyna menggeleng.
“Aku denger kamu ngobrol sama Ibu,” sahut Arsyi melotot.
“Gue mau tahu secara langsung dari si pemilik acara.” Jati menengahi untuk menbela pacaranya.
Keyna memang pernah mengobrol sedikit dengan Bu Sanna. Tapi, dia ogah ngomongin Arsyi pada Jati.
“Bulan depan lamaran dulu, Mas. Tiga bulan lagi nikahnya. Lamarannya di rumah aku. Resepsinya akan di Jakarta. Tapi, ibunya Arsyi ingin ada acara ngunduh mantu juga. Iya, kan, Beb?”
“Kalian akan menetap di rumah Arsyi?” tanya Jati lagi.
“Enggak, Mas.”
“Setelah nikah gue bakal tempatin rumah yang gue beli di Sentul.” Arsyi membeberkan rencananya. “Kebetulan gue belom bisa ditarik ke HQ lagi karena ternyata kinerja gue bagusan di cabang. Padahal kalo gue kerja di HQ lagi bisa tinggal di apartemen Tifa.”
“Lo emang lebih cocok di lapangan,” puji Jati pada Arsyi lalu berdecak. “Lo bakal jauh kerjanya dong? Lah, Tifa gimana, kan dia kerja di Jakarta? Rumah di Sentul kerja di Sudirman? Crazy aja lama di jalan.”
Keyna yang kapok pusing mobilitas naik kereta juga sudah lelah hanya membayangkannya saja.
“Gue bakal resign dan freelance dari rumah. Ladang gue copy writer. Habis mau gimana? Gue domisili Jakarta dapetnya orang yang kerja dan rumahnya di Bogor,” jelas Tifa.
“Kalo Mas Jati nanti gimana? Kantornya Keyna sama rumah Mas Jati kan jauh. Apa Keyna mau mengikuti jejak Mbak Tifa dengan resign kerja?” Nava mendadak ikut bergabung dalam obrolan itu dan hanya menyebut nama Keyna tanpa mengajak bicara. “Memangnya Keyna mau resign berhenti kerja? Cewek ambisius dan workaholic kayak dia mana mau fokus di rumah doang jadi ibu rumah tangga.”
Keyna mendadak jadi menoleh. Dia mencerna pertanyaan Nava. Jati juga menjadi memandanginya dengan tatapan menunggu jawaban.
Iya juga ya. Apa dia mau resign dan berhenti kerja dan memilih jadi ibu rumah tangga? Karena bertahan di kantor yang sekarang tidak memungkinkan mobilitas Jati. Jauh dari kantor pria itu meskipun Jati masih sering melakukan work from home, akan ada saatnya rutin ke kantor juga. Bisa jadi di masa depan harus ke kantor setiap hari. Kasihan banget harus melalui perjalanan sejauh 18 km.
“Aku nggak akan mungkin egois sih. Aku udah biasa keluar-masuk kantor, kan? Bukan tipe yang bertahan lama lalu mengabaikan kesempatan atau pilihan lain.”
Keyna pernah resign kerja memilih membuka kafe. Tentu itu bukan pilihan yang bagus amat. Dia ambil risiko besar. Istilahnya resign kerja tanpa cadangan pekerjaan yang jelas.
Tampaknya Jati sangat lega dengan jawaban itu dan sorot matanya menjadi lebih cerah setelah tadi sempat membeku dilempar pertanyaan seperti itu oleh Nava.
Pelayan datang mengantarkan makanan. Hanya makanan yang mampu meredakan emosi dan menjadi fokus teralihkan menjadi pada makanan.
Keyna dan Jati sudah kembali dari westafel setelah cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan. Di meja itu hanya ada mereka berdua setelah penghuni yang lain gantian antre di depan westafel.
Selagi Keyna dan Jati menunggu yang lain selesai cuci tangan, cewek itu melihat-lihat makanan yang sudah terhidang. Tidak sabar ingin segera makan.
“Makan yang banyak, Mas Jati, biar gemukan.” Keyna mencibir dengan gaya kesal.
“Kamu tuh ya!” geram Jati dengan gaya lucu.
“Nggak tahu aja beberapa bulan lalu kamu lebih parah. Kayak wayang.”
Jati melotot lucu. Bibirnya terkatup rapat seolah sedang speechless.
“Alhamdulillah ketemu yang cocok.” Karena tahu Keyna lagi bercanda, dia balas juga dengan candaan santai.
“Apanya yang cocok?” Keyna tahu jokes jorok macam itu. Dia sudah berpikir Jati juga akan mengatakan hal yang dia maksud. Matanya sudah melotot mengerikan.
Jati terkekeh.
“Jangan dibawa hati ucapan dia. Dia hanya ingin memancing emosi doang.” Jati cengar-cengir mengalihkan pembicaraan agar tidak membahas jokes jorok itu lagi.
Setelah orang-orang itu kembali. Acara makan bersama pun dimulai. Saat mengambil makanan Jati selalu mencontek makanan yang dipilih Keyna agar bisa dibantuin diambilin ke piringnya, maka cewek itu akan dengan senang hati sengaja memberikan lauk makanan dengan cukup banyak.
“Makan yang banyak, biar sehat dan gembul.” Keyna berbicara pelan. Tentu hanya Jati yang mendengarnya dan reaksinya hanya menatap masam.
❤❤❤
Soriii, kalo udh banyak yg ga feel sama ceritanya lagi wkwk karna yg nulis juga sudah bosan dengan lapak ini😬😬
Tapi msh akan tetap diupdate😁😁
5 Okt 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top