Bab 20

Hari itu Jati jadi kencan bersama Nava untuk nonton film di salah satu mal di kota mereka. Nava lagi pulang ke rumahnya. Sebenarnya Jati tidak keberatan harus mendatangi sekitar kosan atau kantor Nava. Pekerjaannya yang berbasis di kota kecil dan kantornya masih menjalankan sistem bekerja di luar kantor/work from home. Jati lumayan memiliki banyak waktu luang asal ponsel dan laptopnya bisa tersambung di internet. Dikerjakan di mobil, di teras rumah atau di warkop pun bisa.

Setelah menonton film yang selesai di jam Sabtu malam. Jati mengajak perempuan bertubuh langsing nan semampai itu untuk mampir ke sebuah toko pernak-pernik serba ada. Dia memang ingin membeli sesuatu.

Saat mata bulat Nava terbeliak dan raut wajahnya bingung karena tampaknya cewek itu tidak ingin mampir atau tidak ingin sekadar untuk melihat-lihat.

Jati membawa Nava ke depan sebuah rak boneka plushie yang berderet segala jenis bentuk hewan.

“Hayoo, mau beliin buat siapa, Mas?” ledek Nava seraya tertawa kecil.

“Kamu suka yang warna pink atau biru?” Tawar Jati seraya menunjukkan boneka beruang dengan dua warna yang disebutkan.

Nava terlihat merenung tidak lama lalu mengangkat bahunya. “Aku gak bisa milih di antara warna biru atau pink. Agak sebel aja.”

Jati mendadak jadi heran dan cemas. Dia takut membuat Nava jadi teringat hal buruk. “Kenapa?” tanyanya.

“Sejak kecil barang-barang aku dan Keyna dibedainnya dari warna. Kalo kita dibeliin barang yang sama, pasti warna biru untuk dia dan pink untuk aku. Aku jadi merasa kalo warna biru adalah miliknya dan warnaku itu pink. Aku seperti nggak bisa bebas memilih.”

Lelaki itu mencerna ucapan Nava lalu mengangguk dengan sorot mata menjadi lesu sesaat. Bukan Jati namanya kalau tidak bisa mengalihkan suasana.

“Kalo gitu, sekarang kamu bisa pilih sendiri, kan? Bisa milih satu di antaranya atau dua-duanya?” Sambil menatap Nava, lelaki itu memainkan alisnya. Bibirnya tercetak senyuman bangga.

Nava tertawa kecil. “Masa dua-duanya? Warna lain aja, Mas, kalo gitu.” Cewek itu memutuskan mengambil pilihan lain dari yang Jati berikan.

Dengan lesu Jati meletakkan boneka beruang itu ke raknya lagi. “Yaah, aku kira kamu bakal suka. Soalnya aku aja suka sama boneka ini. Gemesin.” Tangannya mengelus puncak kepala boneka itu satu per satu.

“Kalo aku pilih warna biru, enggak deh, jadi keingetan Keyna. Kalo aku pilih warna pink, aku kayak masih disetir oleh Mama.”

“Mama?” sahut Jati menatap bingung.

“Mama kandungku. Beliau meninggal sekitar 6 tahun lalu.” Nava menceritakan dengan nada santai.

Lelaki itu mengangguk cepat-cepat, dia hampir lupa karena keberadaan Tante Sanna sebagai istri Pak Darso benar-benar sempurna. Dia bahkan lupa kalau dua orang tua itu baru menikah pada tahun lalu.

“Jadiii, ya udah, sekarang kamu pilih boneka yang mana aja.” Jati mengalihkan pembicaraan tidak mau membuat gadis di depannya itu mengingat hal yang mungkin sangat pahit. Sepertinya keadaan yang ada sudah memaksa agar menerima dan seperti terbiasa saja karena Nava sudah tidak terlihat muram amat.

Kini mereka dalam perjalanan pulang dan terjebak dalam jalanan macet sehabis hujan ditambah kendaraan bagai bertumpah ruah menuju berbagai tujuan. Salah satu tujuan favorite adalah ke atas alias puncak. Orang pacaran sangat suka menuju ke tempat wisata di daerah atas sana. Padahal tujuannya kurang lebih hanya warung pinggir jalan. Walau tempatnya cukup besar sampai parkirannya dipenuhi mobil tetap saja layak disebut sebagai warung pinggir jalan.

Macet panjang dan menyebalkan itu cukup menyenangkan karena bersama Nava bisa bernyanyi-nyanyi heboh mengikuti lagu yang terputar di radio mobil.

“Mas sebelum ini kalo malem mingguan ke mana??” Nava bertanya setelah berhenti bernyanyi. Tangannya memegang ponsel seperti sedang mengetik di kolom chat.

Tadi mereka sempat membahas tentang kota mereka yang mulai semakin parah macetnya. Tiada bedanya dengan kota besar. Karena yang lalu lalang memang orang-orang dari luar kota yang numpang lewat melalui kota itu.

Jati tertawa kecil. Di usianya yang sudah melewati puluhan tahun lamanya hidup, tentu pengalaman pacarannya tidak sedikit.

“Aku jomblo udah 1 tahun.”

Nava terbahak keras lalu mengangkat wajah dari memandangi layar ponsel untuk mengamati wajah Jati. “Serius? Nggak mungkin ada cowok yang seperti Mas, gini, bisa jomblo lama??” ledeknya.

Jati menoleh. “Kamu nggak percaya? Aku
orangnya susah jatuh cinta.”

Nava semakin keras tertawanya. “Susah move on-nya kalii.” Lalu cewek itu kembali melihat pada ponsel dan mengetik sesuatu di benda itu.

“Susah jatuh cinta. Orang yang gak punya pasangan lama bukan berarti susah lupain mantan. Nyari yang sesuai tipe itu susah.”

“Oke percaya sama Mas. Soalnya aku lihat sendiri orang yang susah dapet pasangan karena susah lupain orang di masa lalu.” Nava terlihat masih sibuk dengan ponselnya.

“Siapa?” Nada suara Jati penuh tanya penasaran dan bibirnya tersenyum tipis. “Kamu?”

Nava melengos seraya memanyunkan bibir. “Enak ajaaa. Aku sama kayak Mas, tipe yang susah jatuh cinta, tapi kalo udah nemu, aku bakalan bucin banget. Aku terakhir bucin sama orang tuh 2 tahun lalu. Pisah karena mesti LDR. Dia kerja ke Kalimantan, aku di Sudirman.”

Tidak lama ponsel Nava berdering dan yang menghubungi adalah cowok bernama Lutfi.
Siapa cowok itu?

Jati menahan diri agar tidak terlihat penasaran banget meski sudah menoleh beberapa kali untuk mengecek atau mencuri dengar obrolan Nava. Mereka ngobrol cukup lama sampai bermenit-menit diselingi canda tawa.

Jati menangkap arah obrolan mereka tentang Nava yang sedang pulang ke rumahnya dan tidak bisa ikut nongkrong dengan teman-temannya.

“Lutfi ini teman kuliah yang kerja di Jakarta juga. Tadi dia ngajakin minum kopi. Sayangnya aku di sini dan terjebak macet begini.”

“Oo, kamu mau minum kopi? Mau beli kopi dulu nggak?”

Nava menggeleng pelan. “Nggak deh. Aku pengen tidur cepet.”

“Jangan tidur cepet-cepet. Nanti malem kalo aku pengen ngobrol lama sama kamu gimana?”

Nava tertawa. “Besok aku ada acara, jam 1 sih, ke Senayan buat ke nikahan teman kantor. Dia temen deketnya Keyna tuh. Kayaknya Keyna gak bakal dateng. Pasti males ketemu sama orang-orang kantor.”

Jati heran. “Kenapa emang? Loh, kalian satu kantor?”

“Aku belum cerita ya? Aku sama Keyna dulunya satu kantor. Tapi tahun lalu dia resign kerja dan buka usaha kafe.”

Jati mendengarkan dalam diam.

"Dia temennya dikit. Pasti males dateng bersosialisasi. Dia orangnya nggak seru. Kurang jago berinteraksi. Agak kurang asyik. Apalagi kalo di acaranya nanti dia bakal ketemu sama Mas Dudi, mantan tunangannya. Bakal misuh-misuh kali. Hihihi. Dia juga nggak ada temen deket di mantan kantornya itu, pasti males dateng ke acaranya.”

Jati menegaskan kemampuan komnunikasinya. Apa dia kurang mampu menerima info?

“Katanya si Putri akrab sampe ngundang Keyna ke acara nikahannya? Itungannya mereka adalah temen deket, kan?”

“Ada orang yang ngeselin, udah dihargain malah dia lebih mempedulikan orang yang udah jahat. Ya, siapa si yang mau kalo dateng ketemu orang-orang yang males ditemuin?.”

Jati tertawa kecil. “Iya juga. Ngapain ketemu sama orang-orang yang males ditemuin?”

“Orang kayak Keyna mending nggak ketemu sama orang yang dia sebelin daripada menghargai orang yang udah baik kepadanya. Padahal dia lagi diundang teman dekatnya sendiri loh.” Nava mencibir jijik.

Jati mungkin setuju. Waktu lelaki itu memberikan kebaikannya pada Keyna malah kena semprot habis-habisan.

“Aku pernah ngajak dia ngobrol, soalnya celana dan sandalnya yang kotor. Waktu hari Sabtu itu dia jatoh.”

“Iya katanya dia terpeleset di danau. Dia jawab seadanya, kan? Jangan ajak ngobrol dia kalo nggak mau ilfeel dan jadi emosi. Orangnya judes.”

Jati menyimpan informasi itu dicatat baik-baik. Jika Keyna memang bukan orang yang menyenangkan. Ternyata memang orang itu yang bermasalah.

“Memang dia orangnya begitu ya? Dari kecil emang galak?”

Tidak bisa dibayangkan Nava yang bawel dan ekspresif hidup bersama lama dengan orang nyebelin yang tidak seru seperti Keyna.

“Dulu si enggak. Cuma namanya juga manusia lama-lama udah berubah.”

Ohh.

“Dia orangnya bar-bar. Kelakuan aslinya di luar dugaan orang-orang, bahkan ke aku si adiknya ini. Keyna pernah nampar dan jambak aku. Kalo nggak ditolongin aku tuh udah digebukin kali. Dia marah membabi buta banget. Makanya jangan heran kalo Mas sadar sikap dia ke aku tu dingin, dia yang mulai duluan benci sama aku. Dia benci banget sama aku, iri sama aku sejak dulu karena aku punya banyak temen kali ya? Ngapain aku baik ke dia kalo diresponnya dingin?”

Jati menjadi teringat pada tetangga julid di warung itu. Jadi, kejadiannya pernah terjadi sungguhan kalau Kenari yang kelihatan lesu itu bisa mengamuk. Jati meneguk ludah, untung saat di danau dia tidak dijorokin ke kolam air dalam karena membuat Kenari kesal. Selagi mencerna cerita itu Nava kembali bicara membahas hal lain.

“Mas nggak apa-apa kalo aku panggilnya dengan sebutan Mas? Kita lahir di tahun yang sama meski beda bulan.” Nava senyum-senyum malu sampai memalingkan wajah menjadi menatap ke depan dan semburat kemerahan di pipinya menambah keimutan cewek itu.

“Nggak apa-apa kok, Va.” Senyum Jati.

“Pas awal kenalan aku udah manggilnya Mas.”

“Mukaku keliatan tua ya?” Jati tertawa geli.

“Dewasa, Mas. Biasanya cowok sepantaran aku, kita maksudnya, banyak yang gayanya masih kelihatan kayak anak kuliahan.” Nava nyengir malu, terlihat salah tingkah. “Mas memang orangnya rapi ya?”

“Gimana kamu bisa menilai aku orangnya rapi?” Jati menatap serius lalu menunggu jawaban Nava.

Nava menoleh dan memandanginya. “Rambut Mas terpotong rapi.”

“Waktu itu baru potong rambut seminggu lalunya,” kilah Jati malu. Dia jadi membongkar cerita, sampai berusaha niat banget untuk terlihat rapi saat pertemuan di acara itu.

“Model potongannya bagus, cocok untuk Mas.”

Jati menahan cengiran itu agar tidak semakin melebar. Isi kepalanya bagai memiliki lampu menyala otomatis.

“Va, besok kamu pergi ke acara itu sama siapa?”

Nava diam sebentar dengan kening berkerut. Lalu dia menjawab tanpa berlama-lama mikir. “Sama temanku. Kenapa, Mas?”

“Tadinya aku mau temenin ke acara nikahan temenmu,” ungkap lelaki itu disertai cengiran kikuk.

Semoga saja tidak dikira mencari alasan modus untuk bisa lebih lama bersama demi melancarkan aksi pendekatannya.

“Aku batalin kepergian sama temanku ya? Aku juga nggak enak udah maksa dia mau nganterin ke Senayan. Kayaknya kalo aku nggak jadi minta ditemenin, dia bakal seneng deh. Dia sebenarnya males. Lebih suka main futsal.”

Jati merasa tidak enak hati, raut wajahnya gelisah. “Nggak usah, Va. Nanti temanmu jadi marah dan kecewa loh.”

Sebelum Jati berusaha keras menolak rencana Nava yang ingin membatalkan janji rencananya pada temannya itu, Nava sudah menelepon seseorang. Cewek itu sepertinya tidak mendengar ucapannya meski sudah diberikan kata-kata cukup jelas dan nadanya juga serius. Sekarang jadi dia yang merasa tidak enak hati.

“Halo, Va! Ada apaaa??” Terdengar suara lelaki di ujung telepon sana menjawab dengan nada centil.

Jati melongo dengan alis sebelahnya terangkat dengan samar, jadi temannya adalah cowok.

Baguslah kalau Nava memutuskan untuk membatalkan rencananya. Siapa lelaki itu? Si Arsyi?

❤❤❤

Selamat menikmati Pov Jati dulu🥰🥰

27 Juli 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top