Bab 18
Keyna mengakui kegagalannya pada Pak Darso. Dia tidak mampu lagi untuk meneruskan kafe. Mungkin dalam satu bulan lagi, kafe akan ditutup secara resmi. Perempuan itu sudah bicara mengenai keputusannya pada Pak Darso.
Dan juga mengumpulkan karyawan kafe. Semua juga tidak mau seperti ini, Keyna sudah mempersiapkan kemungkinan terburuknya bahkan sejak beberapa bulan lalu. Dia mengaku sudah tidak mampu membayar karyawan lagi. Sebelumnya dia selalu meratapi nasib atas kegagalan usahanya. Betapa tindakannya tidak dengan berpikir panjang. Dia mengira akan semudah itu dan keputusannya terlalu implusif. Dia tidak mau lagi akan memperburuk kondisi tabungannya yang untuk masa depan. Dia tidak akan mungkin tidak meng-gaji karyawannya. Kini dia sudah memutuskan untuk menutup kafe.
Kemarin setelah pulang dari Bandung, dia mengumpulkan karyawannya. Mengumumkan keputusan dan kondisi dirinya. Meminta maaf dan sudah mengizinkan karyawannya untuk resign lebih awal jika menemukan pekerjaan di tempat lain. Pintu terbuka untuk yang ingin meninggalkannya, dan untuk yang masih ingin bekerja di situ juga akan digaji sampai bulan depan sesuai kesepakatan.
Ternyata para karyawannya juga paham dan sudah mengetahui masalah itu, terlihat dari Keyna yang sering diam-diam melamun dan menangis sendirian. Mereka juga bisa memperhitungkan berapa modal yang keluar sedangkan pemasukan hasil penjualan tidak cukup banyak.
Keyna meminta maaf, sudah seminggu tidak muncul di kafe, begitu datang malah memberikan kabar menyedihkan.
Sehari setelah pengumuman itu, tidak ada yang terlihat sedih. Tetap bekerja seperti biasanya. Keyna selalu mencarikan info di web jika ada tempat yang membuka lapangan pekerjaan di bidang FnB. Dia akan membagikan link lowongan kerja ke grup kafe.
Dan, seminggu sudah pelariannya. Keyna tidak akan pergi dari kafe lagi. Katanya Jati sering muncul untuk mencarinya. Tidak langsung bertanya, karena kebingungan dan celingukan lelaki itu sudah menyiaratkan segalanya.
Keyna tidak takut jika Jati mungkin akan kembali muncul mengganggunya lagi. Jati tidak bersalah, Keyna yang membuka peluang itu sejak awal. Dia yang bodoh dan murahan.
Saat sedang mengelap gelas di konter kasir. Via sedang izin ke toilet. Di pintu masuk ada Arsyi muncul dengan gaya khas pekerja kantornya. Kemeja lengan panjang warna navy dengan motif abstrak warna cokelat. Menggunakan celana chino warna cokelat muda. Pria itu menguarkan senyuman lebar menandakan persahabatan. Atau kedatangannya untuk berniat baik. Bukan untuk melabrak Keyna agar tidak cari gara-gara pada Nava lagi. Terakhir berbincang dengan Arsyi, Keyna sedang kesal karena lelaki itu yang bocorin informasi tentang Keyna ke Jati.
Arsyi berhenti di hadapannya dan ngeledekin. “Loh, belum ada Jati?” tanyanya.
Keyna mendecakkan lidah. Mana aku tau!!
“Nggak ke sini kali.”
“Dia tiap hari ke sini?”
“Kurang tahu, udah lama aku nggak ke kafe. Dulu sih iya, nggak tau tuh kenapa dia sering muncul. Kayak orang nggak jelas banget. Biarin deh nambah pelanggan. Asal pesennya banyak.” Keyna masih mengelap gelas basah sedangkan Arsyi sudah berdiri di depan meja kasir dan menonton kerjaannya dengan gaya bagai bos-nya.
Arsyi berdeham kecil. “Kamu nggak peka sama dia?”
Keyna heran menautkan kedua alisnya. Dia sampai menghentikan gerakan kerjaannya.
“Kelakuan dia aneh-aneh? Berarti kamu belum tau ya? Apa kabar itu nggak bikin kamu berkesan?”
“Apa?” sahut Keyna dengan malas.
“Jati nggak jadi sama Nava. Mereka emang nggak cocok sih. Jati sukanya sama kamu. Waktu Nava galau dia ngajak aku ngopi-ngopi.” Arsyi menyandarkan tangan dan tubuhnya pada meja kasir yang setinggi dadanya itu.
Keyna hampir bikin gelas jatuh, karena saat mendengar Arsyi bercerita, dia sedang sok sibuk dengan pekerjaan mengelap gelas basahnya itu.
Arsyi ngeliat dan ketawa. “Salting banget? Kamu juga suka sama dia ya?” soraknya keras.
Keyna hampir nyemprot karena malu. Matanya sudah melotot beringas pada Arsyi. Entah kenapa perasaannya nyeri. Ya, sesuai dugaan. Nava mana mau sama cowok kalem agak nerd kurang energi kayak Jati.
“Apaan sih kamu! Jangan sok tau deh,” desis Keyna dengan kesal. Pipinya mendadak menjadi panas.
Arsyi masih tersenyum penuh makna. Keyna menjadi memalingkan wajah takut terbaca. Entah mengapa dia tidak bisa marah diledekin seperti itu. Justru malu dan jadi salah tingkah. Arsyi terkekeh nyaris ngakak, kemudian Keyna menggebuk pelan dengan lap gelas.
“Diem deh!!” omelnya mencoba tidak kasar. Biar gimanapun Keyna adalah cewek manis dan ucapannya baik-baik.
Saat masih berusaha menghindari tatapan Arsyi yang semakin memajukan wajah karena menggodanya, di pintu kafe sudah ada sosok yang datang dan sedang berdiri mematung. Jati dengan jaket hitam membalut tubuhnya dan tas di punggungnya.
Keyna segera berusaha menghindari tatapan mata Jati dengan menunduk pura-pura mengamati gelas. Kemudian cewek itu meninggalkan Arsyi untuk sok sibuk mengembalikan gelas-gelas pada tempatnya.
Saat Keyna menoleh di meja kasir sudah ada Jati menemani Arsyi. Keduanya berdiri bersebelahan.
“Na, ini Jati mau pesan,” kata Arsyi, seolah ingin ngerjain dirinya.
Keyna tidak mungkin mengamuk, menolak, dan mengusir Jati. Jadi, wanita itu berderap ke meja kasir. Omong-omong Via lama banget sih di toilet! Makanya banyakin makan sayur biar BAB-nya lancar!!
“Mau pesan apa?” Keyna bicara pada Jati tanpa memandang wajah. Dia melihat hanya pada mesin hitung.
“Bakmi goreng dan teh tawar dingin.” Jati mengeluarkan ponsel. “Lo nggak pesen?” tanyanya ke Arsyi.
“Nggak. Gue mau cabut. Orang cuma mampir bentar. Mesti lunch sama teman kantor. Dan sekarang harus secapatnya ke sono.”
Maksudnya Arsyi apaan si, sengaja banget datang ke sini cuma buat ngomongin soal Jati.
“Aku pergi dulu, Na! Dadah!” Arsyi pamit pada Keyna. Lalu Arsyi melakukan hal yang menyebalkan.
Jati memandanginya tanpa berkedip saat Arsyi berpamitan pada Keyna seraya mengelus puncak kepala cewek itu. Keyna sudah ingin mengamuk, tapi sekujur tubuhnya sudah lunglai karena berdiri kaku di depan Jati.
“Udah ini aja? Totalnya 30 ribu,” ucap Keyna agar Jati kembali fokus pada makanan yang dipesannya. Keyna juga hanya sedang menjalankan tugasnya.
Jati membayar dengan scan barcode, mulutnya juga berbicara. “Na, kamu nggak mau kasih kesempatan aku buat ngomong? Atau kesempatan lainnya mungkin? Kamu ke mana aja, Na, nggak muncul di sini?”
“Sibuk ngerjain sesuatu di kosan.” Alasannya.
“Ngerjain di kafe bukannya lebih enak?” tukas Jati.
Keyna memberikan struk pembelian. “Kafe bikin nggak fokus. Dulu kalo ngerjain tugas di perpus juga nggak bisa fokus. Aku pikir kamu aneh, bisa fokus ngerjain kerjaan di kafe. Langka dan spesial.”
“Gimana soal kafe? Mulai rame?” Jati memandangi sekitar. Tidak ada orang lain jelas-jelas.
Keyna nyengir gugup. “Ada lah pelanggan wajah baru dan ada yang balik makan di sini lagi.”
“Aku lihat video kamu bikin jus dan roti bakar keju cokelat.”
“Bagus nggak?”
Jati ngangguk mantap. “Lumayan.” Pria itu senyum kecil.
“Kemarin aku ke Bandung. Bener ya, banyak tempat laris meski tempatnya kelihatan nggak bagus amat.”
“Kamu mau pindah ke sana?” Jati melotot terkejut. Senyumnya mendadak kaku.
“Nggak, mereka mana bisa ke luar kota. Ahh.” Keyna tersentak akan sesuatu. “Mohon, ditunggu ya!” Dia segera membalikkan badan seolah tugas membuat makanan adalah kewajiban yang harus secepatnya dikerjakan.
❤❤❤
Keyna menyibukkan diri dengan menyapu halaman kafe. Tugas itu sudah dilakukan oleh Azam tadi pagi. Namun, melihat helaian dedaunan jatuh karena angin besar membuat halaman depan menjadi kotor lagi.
Juga sebuah upaya untuk bisa menjauhi Jati. Keyna tidak bisa lama-lama ngumpet di dapur. Dia ingin bertingkah normal. Tingkah normal seorang pemilik kafe ya mengurus pekerjaan kafe. Menyapu salah satunya. Dia berada di halaman depan kafe, akan jauh dari Jati yang meja favoritnya di ruangan dalam.
“Kenari!!” Jati memanggilnya.
Sang pemilik nama menjadi menoleh dan tersentak karena kemunculan orang itu.
Jati berdiri di sebelahnya dan mengulurkan tangan ke atas kepala cewek itu. Keyna hampir menepis kasar tangan Jati. Tidak jadi dilakukan saat lelaki itu menunjukkan ada sebuah daun kecil yang semlat hinggap di kepalanya tanpa disadari. Jati membuang daun itu dan memandangi wajahnya dengan sorot dalam-dalam dan hangat. Lembut. Penuh rasa.
Tapi, Keyna tidak bisa menjabarkan ada makna apa di dalamnya. Hanya saja, tatapan mata itu campur. Dari hangat dan lembut, kini menjadi sendu yang diakibatkan sakit penuh kecewa.
“Katanya kamu mudah jatuh cinta, tapi kenapa kamu menghindar. Kamu nggak suka dikejar dan dideketin?” Jati tidak membahas daun sama sekali.
Keyna diam saja. Dia mendengar ocehan Jati, hanya saja dia tidak mampu memberikan jawaban apa-apa. Lidahnya menjadi kaku seolah benda itu menjadi mati. Tangannya mencengkeram sapu lidi untuk menyalurkan gemetar sekujur tubuhnya.
“Apa karena bukan aku orang yang kamu inginkan? Apa kamu bisa berpaling dari dia ke aku?” Suara Jati yang lembut mengalunkan untaian kata itu.
Keyna heran sampai matanya melebar. “Dia? Siapa maksud kamu?”
“Kamu nggak bisa lupain dia ya? Arsyi.” Jati mengalihkan wajahnya berusaha menghindari tatapan.
Keyna tidak mampu menjawab, dia berupaya meneguk ludah pun sudah sesulit itu seolah air liurnya sangat penuh. Apa maksudnya lelaki itu menyebut nama Arsyi?
“Aku pulang ya. Bye!” Jati pamitan dengan suara pelan dan tidak biasanya lesu tak ada energi. Biasanya terlihat kuat dan tengil nyebelin.
Keyna diam saja membiarkan cowok itu yang terlihat sengaja ingin cepat-cepat pergi. Tanpa tahu, mungkin saja itu pertemuan terakhir mereka. Semua bagai berputar sangat cepat atau Jati memang sengaja mempercepat gerakannya ingin segera pergi karena pria itu tidak memakai helm terlebih dahulu. Mulut Keyna baru nyaris terbuka saat Jati sudah pergi dengan menarik gas motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkan gerbang kafe.
❤❤❤
20 Juli 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top