Bab 13

Isi kepalanya penuh. Padahal duduk di salah satu meja di teras kafe dengan membuka laptop, bukan hal itu yang sebenarnya ingin dia lakukan. Namun, nyatanya bukannya fokus menyimak isi video materi kelas online itu, dia terpenjara dalam lamunan pikirannya.

“Hei, ada masalah? Bengong aja.” Jati tiba-tiba muncul mengagetkan dan berdiri di sebelahnya. Raut wajahnya penasaran seraya mengamati Keyna yang sadar dan sedang gelagapan.

Setelah bisa mengendalikan diri dan tenang, Keyna membalas menatap dingin.

“Menurutmu?” Dia juga heran, kenapa kedatangan Jati tidak bersuara? Apa memang tadi dia seperti tidur dengan mata terbuka? Seram sekali sudah satu spesies dengan ikan.

“Kalo aku bilang sesuatu takut dicolok pake garpu,” kata Jati sudah duduk di depan Keyna lalu senyum tipis.

Cowok ini mengapa terlihat aneh? Waktu awal bertemu agaknya cowok itu lebih sinis dan ngeselin. Keyna terjatuh saja dilihatin doang. Bukan salah Jati sih, lelaki itu hanya menuruti teriakan Keyna. Tapi Keyna menyuruhnya pergi, bukan berdiri nonton orang duduk karena terjatuh. Beneran agak laen, kan, kelakuannya?

“Entahlah.” Keyna mendesah sebal. Dia baru memiliki keinginan untuk menyemprot Jati perihal ngapain dateng-dateng lagi. Tapi, dia ingat butuh pemasukan untuk kafe.

“Aku mau ke kasir dulu, pesan minuman. Kamu jangan pergi dari sini. Ada yang mau aku bicarakan,” Jati seperti bisa membaca situasi atau patuh pada permainan langsung mau pesan makanan. Mungkin takut diusir-usir seperti sebelumnya. “Ini tentang kafe, jadi ini menarik buat kamu juga.” Jati pergi ke konter kasir untuk memesan minuman.

Keyna duduk dengan patuh karena pancingan lelaki itu berhasil. Posisinya yang masih duduk di situ sampai yang ditunggu kembali mengundang senyuman tipis dari raut wajah Jati.
Keyna benci hal ini. Tapi, siapa tahu Jati mau menawarkan investasi. Yang pastinya akan berhasil jadi investasi bodong karena Keyna tidak bisa membalikkan modal apalagi memberikan keuntungan. Tidak. Dia tidak mau memiliki hutang pada pria mengerikan ini.

“Kalo kamu duduk di depan dengan raut wajah sedih dan galak, kamu bisa ngusir calon pelanggan, loh,” celetuk Jati terkekeh.

“Nggak ada orang yang pengen mampir ke sini sejak tadi.” Geleng Keyna. Dia tidak yakin sih, sebab tadi melamun.

“Jadi, kenapa?” Jati menatap padanya serius lagi.

“Karena aku udah ngeluh secara tersirat tadi kalo nggak ada yang pengen mampir ke sini, jadi aku kesal karena tempat ini sepi. Aku ini juga pengen daganganku laris kayak coffee shop reMang itu,” dengus Keyna seraya mengendikkan kepala.

“Kamu aktif medsos nggak?”

Seraya Ines muncul mengantarkan pesanan dengan tatapan penuh tanya dan makna, iseng menggoda karena kini dua orang gila ini malah sedang duduk bersama dan terlihat ngobrol santai.

Keyna jadi berpikir keras. Dia mengeluarkan akun Instagram sejak menerima pesan dari Jati. Dia tidak suka menonton Tiktok. Video youtube yang dilihat juga yang shorts. Dia lebih suka melihat yang real. Kehidupan berjalan yang bisa dirasain dengan kulitnya sendiri. Tapi dunia ini sudah berubah dan semakin jauh dari kendalinya.

Cewek itu heran, ada minuman tersanding di depannya. Ice blended cappucino. Sedangkan Jati sudah menyeruput teh anget, entah manis atau tawar.

“Itu buat kamu.” Jati menjawab kebingungan Keyna.

“Kenapa? Buat apa? Dalam rangka apa? Kamu ulangtahun jadi traktir orang?”

“Bisa nggak sih nggak usah dapet penjelasan.”

Keyna tidak bisa menerima itu. Dia tahu setiap sikap pasti harus ada alasannya. Mungkin Jati juga punya, tapi tidak bisa dikatakan. Cewek itu dengan takut-takut menyeruput. Siapa tahu tujuannya adalah pembunuhan. Jati membayar karyawannya untuk membunuhnya. Oke, ini berlebihan.

“Buat akun promosi di medsos. Pengaruh promosi di medsos lumayan. Di Tiktok paling banyak komunitas orangnya.”

Keyna mencerna saran itu. “Oke.”

“Kamu juga mesti masukin maps lokasi tempat di profile akun medsos.”

Keyna tahu mengapa, jadi agak sedikit tersinggung. “Karena lokasinya agak jauh dari peradaban? Mau di manapun lokasinya bakal disamperin orang.”

“Itu kan kalo udah punya pelanggan setia,” sahut Jati mulai emosi. Wajahnya sudah ngeselin.

“Deket sini ada kampus. Dan kafeku harganya ramah kantong mahasiswa.” Membela diri adalah keharusan. “Harusnya lokasi di sini masih dalam jangkauan orang.”

“Tapi nggak keliatan dari jalanan besar, gimana bisa mereka menemukanmu?” Jati menahan senyum karena pilihan kalimatnya.

Kenapa tidak menggunakan kata kafemu saja sih? Keyna mendengus sebal saat tadi sempat melihat Jati tersenyum aneh. Benar-benar pandai jadi orang yang tiba-tiba mengerikan. Mendadak Keyna menjadi bergidik ngeri. Tidak lama Keyna diam-diam ya setuju, gimana caranya orang tahu ada tempat kafe ini kalau tidak diinfokan? Lokasinya juga di dalam kampung.

“Emang kamu udah pernah promosi ke kampus sana? Aku lihat-lihat, di pinggir jalan sekitar sini, kafe dan coffee shop fancy banget. Estetik.” Kali ini Jati seakan bisa secara tersirat sedang memojokkan Keyna.

Tadi menggoda sekarang mendorong Keyna ke jurang.

Bukankah Jati benar, sampai Keyna diam saja merenungi apa yang sudah dia lakukan beberapa bulan itu? Usaha saat awalnya baru buka kafe dengan cara masih menggunakan cara tradisional. Buka saja dulu, nanti pengunjung juga datang sendiri. Sedangkan kafe dan kedai kopi di sekitar jalanan besar saja cantik dan estetik. Punya konsep yang jelas.

“Oke, aku bakal liat-liat cara promosi kafe-kafe gede deket sini.”

“Kok nyontek si?” Jati mencibir.

Keyna melongo. “Bukannya caranya emang sama semua?” tanyanya heran.

Jati ketawa. “Emang. Aku kira kamu bisa lebih kreatif.”

Keyna hampir mendengus kasar. Dia langsung cemas, dia tidak kreatif. Mana juga tidak bisa pakai kamera. Dia jadi keceplosan bisanya cuma nulis-nulis. Nulis yang tidak ada ilmunya, pastinya.

Jati ngeledekin “Nulis cerita jorok? Dan lebih laris jualannya daripada makanan di kafemu ini?”

Keyna kelepasan tertawa dan malu. “Nggak jorok. Cerita manis. Lagian udah lama nggak nulis.” Dia malu dan segera membereskan harga dirinya lagi.

Setelah itu Jati tidak biasanya cuma sebentar. Lelaki itu pamitan mau pergi ada urusan penting banget katanya. Oh, mungkin mau jalan sama Nava. Ini kan hari Sabtu.

Begitu tersadar sesuatu yang di depannya hanyalah imajinasi dalam kepala yang tidak mungkin terjadi. Dia harus meyakinkan diri untuk besok akan mengusir kehadiran Jati lagi. Cowok itu hanya untuk cukup ditanggapi, tapi tidak perlu dipercaya. Cocok untuk Nava biar hidup cewek itu menderita.

Keyna heran kenapa Jati sering muncul dan saat datang selalu sendirian, tanpa Nava. Dan, setelah beberapa kali lelaki itu muncul di kafe, Nava tidak menghubunginya, siapa tahu penasaran dengan kelakuan calonnya yang ketahuan main ke kafe miliknya. Atau mungkin ditahan-tahan karena gengsi.

Rasanya ini agak mustahil, Nava itu penasaran dan harus tahu sesuatu. Super kepo. Kesimpulannya, Nava tidak tahu apa-apa. Atau yah cewek itu memang gengsi, kalaupun ingin bertanya tentang kelakuan Jati yang datang ke kafe, akan menggunakan cara yang bar-bar, seperti melabrak atau menuduh macam-macam.

“Ngapain muncul lagi si? Jangan berusaha mau akrab sama keluarga calon kamu yang ini. Orang yang ini nggak bisa akrab dan dekat sama orang.” Saat menggertak Jati yang sudah muncul di depan kafe pada hari Minggu jam 11 siang dengan langit mendung gelap gulita. Suasana lebih mirip menjelang malam seperti ini sudah pasti kafe akan sepi makanya Keyna segera menyemprot Jati dengan ucapan pengusiran.

Jati sudah mengeluarkan ponselnya tidak peduli sedang berusaha diusir. “Kenari, aku udah ada video dari stasiun ke kafe ini. Mau lihat nggak?”

Keyna langsung lupa, jiwa oportunisnya keluar tanpa bisa dilawan. “Kamu bikin video kayak apa?” tanyanya dengan mimik wajah curiga menuduh sekaligus penasaran.




15 Juni 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top