Bab 12

"Apa? French kiss?"

Keyna melotot. “Aku yakin kamu nggak budek,” omelnya.

Jati tertawa geli. “Iya deh, aku mau menu makanan itu, sama jus alpukat. Karena kamu udah jawab pertanyaan aku, jadi aku terima jawabannya.”

Keyna memasukkan harga menu makanan pada mesin kasir sementara Jati mengeluarkan ponsel untuk melakukan pembayaran melalui e-wallet.

“Es teler-nya nggak sekalian?” Keyna menawarkan atau tepatnya memaksa lelaki itu. Akan menghabiskan duit orang yang memang layak diperas. Orang Jati yang minta dirampok kok.

“Ntar aja. Nunggu cuaca panas dan pengen es,” jawab Jati. “Aku bayar pake SoPay, ya?”

“Totalnya 55ribu ya?” Keyna menyodorkan barcode untuk Jati melakukan pembayaran. Cewek itu menahan tawa sadisnya saat mendapati raut wajah masam Jati yang tampaknya menyesal baru sadar kena tipu bujuk manis sales promosi yang menjual barang kemahalan.

Warisan uang Keyna pun jika masih banyak, dia saja ogah sekali makan siang doang mengeluarkan kocek 50ribuan. Mana kemarin ada perjanjian akan diusir kalau pesan makanan cuma sedikit.

Jati tidak mengomel meski wajahnya berubah jadi sebal menahun seraya tetap melakukan pembayaran. Setelah struk tercetak, Keyna memberikan pada Jati tanpa bicara seperti perlakuan ke tamu lain.

“Kenari, wifi kafe ini namanya apa? Bagi password juga dong,” ucap Jati sebelum Keyna sempat berjalan meninggalkan meja kasir menuju ke arah dalam.

Keyna diam sambil berpikir sejenak. Dia lupa nama wifi kafe karena memang tidak pernah digunakan lagi. Modemnya sudah lama membusuk dengan segala alasan.

Tidak perlu penjelasan Jati sudah segera paham dan menghela napas pendek. Kepalanya menggeleng lesu. “Ya, udah lah.” Lelaki itu berjalan menuju meja favorit-nya di dekat colokan listrik.

Kontan mata Keyna menjadi melotot. WOY, elaahh!! Jauh-jauhlah dari colokan listrik itu! Tagihannya nanti naik!

Saat melayani pesanan Jati di konter kasir, ternyata keduanya menjadi perhatian para karyawannya dari belakang.

“Itu gebetan Teh Keyna kali,” ucap Via sok tahu dengan hebohnya.

“Kalo gebetan masa dijutekin?” Ines menyahuti. Tidak kalah hebohnya.

“Mungkin cowok itu naksir, tapi Teh Keyna nggak suka.”

“Padahal cowoknya ganteng. Masa Teh Keyna nolak?”

“Serem kali. Atau jangan-jangan Teh Keyna tuh dalam bahaya saat ini?” Ines melotot ngeri.

Azam bersuara. “Kita harus bergerak. Lapor preman sini dah, biar nggak cuma jadi tukang minta upeti. Bisa ngusir orang juga, biar ada gunanya dikit.”

“Jangan, kita kan musuh preman. Kita di pihak lawan premanisme. Tar mereka manja. Ga guna amat kehadiran mereka tau. Jadi gede kepala kalo bantuin kita, nanti minta duit banyak lagi.”

Keyna muncul di pintu yang menghubungkan ke arah belakang dapur kafe. “Bukan seperti dugaan kalian. Dan, jangan bahas dia lagi. Jangan mikirin dia karena dia udah pasti gak mikirin kalian. Oke? Fokus kerja. Dia nggak jahat atau bahaya, cuma agak gak jelas. Gak tau sih, nggak kenal amat. Yang penting dia bayar dan pesen banyak makanan.”

Azam, Via, dan Ines manggut-manggut campur takut sebab ketahuan bergosip tentang bos besar. Meski Keyna tidak mengamuk, tetap saja aura wajah bosnya tidak pernah se-dingin dan se-menyeramkan itu.

Keyna hampir lupa untuk ngasih perintah mengerikan. “Bilang sama dia kalo dalam dua jam nggak pesen makanan jangan lama-lama nongkrong nggak jelas di sini.”

Sang karyawan langsung pada pucat. Ekspresi wajah yang syok dan terkejut bukan main menyiaratkan, yang bener aja bosnya ini? Gimana kalo kafenya di Google Maps malah mendapat rate jelek karena pelayannya pada tukang ngusir.

Tapi, tidak ada yang berani mempertanyakan perintah Keyna.

Setelah makanan pesanan Jati diantarkan oleh Ines, beserta pesan berantai perintah peringatan dari Bos Keyna agar si tamu iti tidak berlama-lama di kafe. Saat Ines kembali membawa nampan raut wajahnya lesu bukan main seraya menunduk.

“Kamu diapain sama dia, Nes?” tanya Keyna dengan nada penuh selidik mendapati pucat dan lesunya wajah Ines.

“Nggak diapa-apain, Teh. Cuma aku yang nggak enak bilang begitu ke pengunjung. Meski mukanya langsung kek mau marah, itu tamunya diem aja sih. Aku takut dia ngamuk. Untungnya aja enggak.”

Keyna mengangguk paham. Untungnya lagi di sekitar meja yang ditempati Jati tidak ada pengunjung lain.

Dalam waktu satu jam setelahnya Jati muncul di konter kasir yang segera ditangani oleh Via. Dari kursi tunggu di ruangan dalam, Keyna bisa melihat pria bertubuh tinggi tegap itu yang juga sedang melirik penuh minat kepadanya. Mereka sempat bertemu mata. Jati pasti tahu kalau keberadaan dirinya sedang duduk di kursi dengan meja kecil di area dalam, tepatnya depan pintu kayu yang ukurannya hanya satu meter dan menutupi area tengahnya saja.

“Teh, pesen Es Teler. Banyakin es serutnya ya!!!” Jati memesan dengan nada suara penekanan sengaja dikencengin.

Sambil menonton video dari ponsel Keyna masih bisa mendecih dalam hatinya, getok atau bawa es batu aja sendiri sana!

Usai Jati kembali menuju mejanya. Via menoleh padanya dengan raut wajah takut, cewek itu berjalan mendekat kemudian berbisik berharap suaranya tidak terdengar sampai ke orangnya.

“Teh, aku takut nih. Deg-degan. Dia udah kayak mau marah-marah.”

“Emang kalian mau kalo dia di situ lama-lama pesen makanan dikit. Mana mencurigakan gelagatnya,” balas Keyna ngomporin.

“Teh Keyna emang nggak kenal sama dia? Dia cuma butuh tempat buat kerja tenang kali. Kafe atau coffee shop rame kan berisik.” Danil muncul seraya mengambil alpukat untuk membuat Es Teler.

“Kita ini bisnis, Nil.”

“Tapi jangan diancem juga, Teh,” tukas Danil. “Ntar dia review jelek-jelekin di profile kafe gimana?”

Apa iya Jati bakal melakukan hal itu? Ini kan gara-gara kelakuannya sendiri. Keyna mendengus sebal.

Mungkin bisa saja Jati melakukannya. Tak ayal, pria itu hobi mengganggu orang lain seperti calon jodohnya. Memang cocok sekali pria itu buat cewek tukang drama kayak Nava. Keduanya pasti bisa satu cara dan satu pemikiran untuk merisak orang yang tidak dia sukai. Kalau keduanya sudah menikah dan memiliki musuh, pasti tidak lama musuhnya akan dibunuh bersama. Keduanya sama-sama berhobi mengganggu orang begitu.

Ines dan Via sempat ribut berdebat saling menyuruh untuk mengantarkan Es Teler. Ines sudah melakukan tugas mengerikan tadi dan masih trauma gemeteran sudah disuruh mendatangi malaikat maut lagi. Via mengalah daripada es serut-nya keburu mencair. Dan juga kelakuan mereka dipelototin oleh Keyna yang mendadak menyebalkan jadi mirip Tuan Krab yang nista itu.

“Jangan lupa, Via,” seloroh Keyna mengingatkan.

“Ii--iya, Teh.”

Dari sudut mata ada bayangan Via sudah kembali ke konter kasir.

“Kamu ingetin dia lagi, kan, Vi?” tanya Keyna.

Via menoleh dan mengangguk. “Terus dia jawabnya gini, ‘kenapa? Kagak ada waiting list tuh’.”

Alias ngatain kafenya sepi. Emang dasar Jati tuh titisan demit.

Selagi Keyna melamun, Via berbicara lagi. “Teh, mukanya tuh serem banget. Azam aja juga pasti takut kalo disuruh ngomong sama dia.”

“Cewek lebih jago disuruh debat, Vi.” Keyna mengangguk amat yakin.

“Tapi bukan aku sama Ines juga, Teh. Kita takut digebukin,” desis Via.

Keyna mendecakkan lidah. Perempuan itu bangun dari duduknya berderap keluar melalui pintu kayu untuk mendatangi Jati. Dia tahu di meja kasir ada Via dan Ines mengamati. Mungkin juga sekalian untuk siap merekam kalau terjadi keributan.

“Kamu kerja apa sih keluyuran terus?” Pertanyaan Keyna membuat Jati menoleh dengan tatapan mata kesal.

“Kerjaku full time kayak orang kantoran kok. Cuma WFH.”

“Tau kepanjangan WFH dan makna from home, kan?” ledek Keyna sinis.

“Kamu duduk dong, biar nggak kayak pegawai yang lagi di-briefing.” Jati menahan tertawa.

Bahkan lelaki itu juga merasa bahwa yang lebih mirip bos di kafe ini adalah penampilan dirinya. Sedangkan Keyna lebih mirip pelayan kafe. Memang dia kurang keren? Dia kan kerja di kota kecil, warung di dalam kampung, bukan di kafe elit di Kemang atau SCBD.

Karena ucapan Jati memang tidak bisa dibantah, Keyna segera duduk di hadapannya.

“Kenapa nggak suka amat aku ada di sini? Aku pake wifi sendiri. Kafe-mu nggak ada wifi. Aku loyal banget pesen makanan berulang loh.” Jati menuturkan dengan panjang kali lebar, tidak terima dirinya diusir secara halus.

“Enak aja nggak ada wifi. Ada kok. Tapi dimatiin,” tepis Keyna dengan wajah kecut.

“Idih pelit.” Jati memandang terpukau.

“Nggak berguna amat.”

“Emang nggak ada pengunjung yang minta koneksi?” Jati menatap Keyna penuh tuduhan yang jelek-jelek. Terlihat dari wajahnya yang bengis dan kepalanya menggeleng samar.

Keyna ceming. Orang kafenya sepi.

“Salah beli modem. Dipake di sini entah kenapa lemot. Sinyal di sini jelek.” Keyna mengatakan yang sesungguhnya.

Kok jadi dirinya yang diserang? Wajar harusnya, karena Jati kan si pelanggan. Tapi, Keyna datang menghampiri untuk menanyakan Jati. Entah akan dengan cara halus atau ngeledek duluan.

“Kamu kan disuruh WFH, ya pake koneksi milik pribadimu lah. Motivasi kantor kamu buat WFH tuh apa? Kok karyawannya dibiarin pergi ke mana-mana. Tau defisini work from home nggak? Biar orang nggak capek di jalanan macet. Nggak banyak polusi. Dan lebih mudahnya, pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah tanpa mesti ke kantor. Tapi yang WFH manusia model kamu. Tetep cape keluyuran dan bikin polusi jalanan. Terus ngomel karena wifi kafe ini nggak nyala. Dasar aneh!”

“Motivasi kantorku ada WFH biar kantornya sepi. Nggak banyak orang.” Jati pasti bicara asal menganggap lawan bicaranya orang gila yang nyinyir.

Keyna pun terkekeh palsu. “Ada loker di sana nggak? Menarik banget. Cocok buat aku cara kerjanya. Bisa di rumah. Di kantor pun sepi.”

“Ck, nggak menarik amat di sana. Alasan bisa WFH ya karena emang kerjaannya nggak mesti harus di kantor. Dan ngurangin beban bosan di kubikel kaku putih polos itu. Biar karyawan fresh, katanya.”

“Dan, di sini bikin nyaman? Enak ya? Bikin fresh? Nggak bosenin? Bawa teman-temanmu ke sini juga.” Keyna tersenyum miring.

“Pantesan sok manis, jadi promosi terselubung,” cibir Jati menyeringai geli. “Dan dengan caramu itu? Hei, yang ada kafemu udah ditinggal cuma dalam 1 kali pesan dan dapet review bintang 1. Dihujat netizen. Mana ada yang se-sabar aku.”

Keyna tidak benar-benar mengundang para temannya Jati. Itu tandanya lelaki itu bakal muncul di sini lagi. Wanita itu inginnya mengusir Jati agar tidak kembali lagi.

“Omong-omong tadi emang kamu mau kerja di kantoran juga? Kamu jurusan apa? Kali aja ada yang cocok di kantorku.”

Keyna menoleh dan menggeleng. No, thanks!

“Kamu dulu kuliah di mana, Kenari? Udah pernah kerja di mana aja?” Kini Jati terlihat seperti orang yang lagi interview pencari kerja.

Melihat Jati yang menatap pada laptop, Keyna jadi ngeri kalau lelaki itu iseng dan menganggap ocehan palsunya sebagai keseriusan.

“Emang Nava nggak cerita tentang keluarganya?”

Karena basa-basimu sangat basiiii, kalo memang udah pernah mendengar cerita dari orang lain ngapain masih nanya-nanya!

Jati ketawa saja. “Kenapa si kalo pengen tahu dari orangnya langsung? Aku juga nanya riwayat hidup Pak Darso dan Bu Sanna loh.”

“Kamu mau tau aja!” sergah Keyna kesal.

Oh, jadi benar cowok itu serius dengan Nava sampai kenalan sudah sangat jauh pada keluarganya. Mungkin pada Arsyi juga.

“Bukannya itu wajar ya? Baru kali ini ada yang sebel jutek ditanyain, itu kan cara buat ngajak cerita, jadi bahan obrolan.” Jati sudah mengembuskan napas lelah.

“Lebih mirip interview kerja. Cuma saat lagi interview kerja aja, aku nggak akan marah atau sebal ditanya gitu. Karena itu penting buat HRD. Emangnya kalo dikasih tahu, bakal diinget?” Keyna mencibir tertawa sinis.

“Kalo aku sih bakal inget.”

Creepy.” Keyna memincing mata curiga. Jati ketawa.

Kenari sudah mulai habis batas kesabarannya. Kembali pada tujuannya mengajak Jati untuk bicara. Biar cepat selesai masalahnya. “Sebenernya apa tujuan kamu di sini?” tanyanya dengan suara dan wajah serius. Matanya melotot mengunci tatapan mata Jati yang tidak serius pun sudah tajam. Kacamata lelaki itu tidak menghalangi penilaian Keyna.

“Mau caper sama kamu.” Jati menjawab tanpa mikir dan tanpa beban.

Emang dasar cowok sinting. Dan, Keyna tidak ada waktu buat hal tidak penting seperti itu.

Karena tidak ada senyuman usil dari wajah Jati. Sepertinya cowok itu juga sudah memiliki dendam kesumat dan sedang balas dendam dengan cara menggoda, menerbangkan lalu dijatuhin ke jurang.

Setelah ini Jati pasti akan tertawa ngeledek.
Keyna diam saja sebab menahan diri agar tidak emosional dan langsung marah-marah. Sementara Jati memandanginya cukup lama dan tidak tertawa, lalu mengalihkan pandangan ke arah laptop lagi.

“Jangan aneh-aneh, Jati.” Setelah berbicara dengan suara pelan penuh makna, Keyna pergi meninggalkan lelaki itu dengan berjalan ke arah pintu depan kafe.

❤❤❤


8 Jun 2024


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top