#08
"Apa kau akan menemui cowok itu?"
Chloe masih setengah tidur saat Emily menegurnya. Emily telah selesai membersihkan diri beberapa menit lalu. Rambut Emily masih basah dan gadis itu berniat untuk mengeringkannya dengan mesin pengering rambut.
"Entahlah." Chloe hanya bergumam pelan. Sesungguhnya ia belum memutuskan untuk bertemu dengan Oliver atau tidak.
Emily mengambil mesin pengering rambut, lalu menyalakan benda itu. Selama beberapa menit di dalam ruangan itu hanya terdengar suara mesin pengering rambut. Chloe masih memejamkan mata, meski ia tidak berniat untuk tidur kembali.
"Kalau menurutku, temui saja dia. Toh, dia juga sendirian. Tidak mungkin dia akan menculikmu, kan? Kalau cuma sebatas bicara, tidak masalah. Lagipula besok kita akan pulang, bukan?" Emily melanjutkan pembicaraan setelah mematikan mesin pengering rambut yang selalu ia bawa ketika bepergian itu.
"Bagaimana jika dia psikopat yang akan membuntutiku sampai di rumah?" Kali ini Chloe membuka kedua matanya dan sedikit mengangkat kepala dengan bantuan bantal yang ditekuk.
"Apa dia tampak seperti psikopat?"
"Tidak juga." Dengan gaya malas Chloe menggelengkan kepala.
"Lagipula mana ada psikopat tampan," seloroh Emily. Kini ia sibuk menyisir rambut. "Tapi, memangnya setampan apa Oliver itu? Apa dia lebih keren dari Casey?"
"Jangan bandingkan dia dengan Casey," timpal Chloe yang selalu masih tidak terima jika Emily mengungkit nama Casey di depannya.
"Berarti dia lebih tampan dari Casey," ucap Emily menyimpulkan. Menilik dari gelagat Chloe, Emily bisa menangkap isi pikiran sahabatnya.
Chloe tak merespon. Memang, Oliver tak bisa dibandingkan dengan Casey secara fisik. Mereka sangat berbeda. Oliver memiliki rambut hitam dan lurus, serta postur tubuh yang lebih tinggi dari Casey. Mata Oliver yang hitam legam membuatnya berkali-kali lipat terlihat memiliki kharisma. Sementara Casey, ia memiliki rambut semi ikal dan pirang. Matanya kebiru-biruan dan posturnya tidak setinggi Oliver. Tapi, Casey memiliki otak yang cerdas. Entah Oliver.
"Temui saja dia. Siapa tahu kalian cocok dan bisa menjadi obat patah hatimu," sambung Emily menyelutuk. Tawa kecil tersungging di bibir Emily usai mengucapkan kalimat itu.
"Aku tidak sesedih itu. Aku masih bisa mengatasinya," tukas Chloe merasa diremehkan oleh Emily.
"Kalau begitu Oliver untukku saja," cetus Emily disambung tawa lepas.
Ini tidak lucu, batin Chloe dengan mencibir ke arah Emily.
"Kau mau pergi pagi-pagi begini?" Chloe baru menyadari jika Emily telah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Gadis itu bahkan telah menyentuh pensil alisnya. Padahal Chloe masih berbaring di atas tempat tidur.
"Ini sudah siang, Chloe. Sudah jam delapan pagi. Aku ada janji dengan seseorang."
Kening Chloe mengerut. Mereka baru dua hari tiba di sana, tapi Emily sudah memiliki janji dengan seseorang. Jadi benar Chloe hanya dimanfaatkan oleh Emily?
"Janji? Dengan siapa?" desak Chloe penasaran.
"Dengan karyawan kedai ramen semalam. Dia juga aktif di media sosial, Chloe. Jadi kami berencana untuk sarapan sambil berfoto. Mungkin kami akan merekam video juga. Mungkin sampai nanti siang," ujar Emily membuat Chloe tak habis pikir.
"Jadi aku ditinggal di sini?"
"Kau mau ikut? Kurasa dia tidak masalah kalau kau ikut. Dia orang yang baik."
"Tidak," tolak Chloe tanpa basa basi.
"Kenapa? Kau mau menunggu sampai aku kembali ke sini? Atau begini saja. Kau temui Oliver selama aku pergi. Nanti sore kita pergi jalan-jalan ke pantai berdua," usul Emily.
"Aku akan di kamar saja," putus Chloe tak bersemangat. Gadis itu telah kehilangan minat untuk berjalan-jalan ke pantai. Ia tidak akan bisa menikmati apapun yang disuguhkan alam saat suasana hatinya buruk seperti sekarang.
"Chloe." Emily mendekat ke tempat tidur, lalu duduk di samping tubuh Chloe yang masih terbaring dengan kepala bertumpu pada bantal yang ditekuk. "Aku tidak bermaksud untuk mengabaikanmu. Tapi ini benar-benar di luar rencanaku. Setelah selesai, aku janji akan segera kembali. Kita akan pergi jalan-jalan sampai kau puas. Atau kalau perlu, sampai malam nanti kita akan menjelajahi tempat ini."
"Apa kau sudah tidak waras?" ejek Chloe seraya menebarkan senyum sinis. "Hei, kalau kau mau pergi, pergi saja. Aku baik-baik saja. Nanti kita juga bisa pergi jalan-jalan, kan? Tenang saja dan jangan khawatirkan aku."
"Benarkah itu?" Kedua mata Emily menyipit.
"Ya. Tentu," tandas Chloe berusaha meyakinkan sahabatnya.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan berangkat sekarang. Oh ya, apa kau mau kupesankan mi instan?" tawar Emily sembari mengangkat tubuh dari tempat tidur. Ia sudah merasa lega usai diyakinkan Chloe.
"Boleh." Chloe tak menolak.
Di penginapan itu memang tidak menyediakan pelayanan sarapan gratis atau makan malam, tapi mereka menyediakan mi instan secara cuma-cuma pada penyewa kamar.
"Aku pergi, Chloe. Kalau ada apa-apa, hubungi aku!"
"Sudah pergi saja," usir Chloe seraya membuat gerakan tangan dengan maksud menyuruh Emily untuk segera pergi menjauh.
Mi instan yang dipesan Emily untuk Chloe datang sekitar 15 menit kemudian. Chloe menikmati mi instan nya selagi masih panas sembari berpikir.
Apakah ia harus pergi menemui Oliver? batinnya bimbang. Tapi, Oliver sudah menjanjikan akan memberinya jawaban jika Chloe datang menemuinya.
Ya, Oliver memang semisterius itu. Tapi dia tampan. Siapapun bisa dengan gampang menjatuhkan hati untuk cowok setampan Oliver. Chloe bingung harus bagaimana. Terlebih lagi Emily sedang pergi dan entah kapan kembali. Rasanya mustahil menghabiskan waktu menunggu Emily dengan berdiam diri di dalam kamar dan tidak melakukan apa-apa.
"Ah, kenapa aku harus datang ke tempat ini? Dasar Emily," desis Chloe dengan mulut penuh dengan untaian mi instan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top