Part 6 (repost)
Caca merasa kepala berat, dan matanya sebab setelah menangis dan hanya tidur tak lebih dari setengah jam, dia beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian menjalankan kewajiban Agamanya.
Kembali dia menangis. Perkataan sekaligus permintaan Budenya semalam membuatnya tak berdaya menolak.
Perusahaan Pakde nya tengah terlilit hutang yang tidak sedikit, jika tidak segera melunasi semua aset Pakde nya akan diambil alih dan Pakde akan masuk penjara.
Walau bagaimanapun mereka sudah sangat berjasa padanya. Mengasuh dan mendidik hingga seperti sekarang, dan kini mereka butuh pertolongan, mungkin jika keadaannya baik-baik saja, tidak begini ceritanya. Caca mencoba menasihati dirinya sendiri. Kini Bude dan Pakde nya meminta supaya dia mau menikah dengan pria yang sama sekali dia tidak pernah tau. Bahkan namanya dia tidak tau. Bude hanya bilang bahwa dia akan menikah dengan putra angkat Bapak Santoso.
"Maafkan Bude Ca, awalnya Frida yang Bude ajukan tapi dia menolak karena kuliah nya belum selesai, dan akhirnya kamu lah yang bisa jadi penolong kami," kalimat Bude kemarin terdengar kembali.
Itu artinya dia harus segera mengajukan resign mulai sekarang, sehingga tidak kerepotan mencari pengganti yang baru. Caca melepaskan mukena dan melipatnya. Dia beralih ke kursi dan membuka laptop untuk membuat surat pengunduran diri.
********
Pagi setelah sarapan, Caca bersiap ke studio, dia berangkat pagi karena ingin bertemu lebih dulu mampir ke rumah Rena.
"Caca, terima kasih sudah menolong kami," ujar Pakde saat Caca pamit hendak pergi. Caca tersenyum samar.
Frida nampak tersenyum mengejek.
"Jadi nanti dia akan tinggal bersama suaminya kan Pa? "
" Iya, tapi Suaminya itu kerjaannya di sini kok, jadi Caca bisa sering berkunjung ke sini, tapi kan Ca? "
Kembali Caca tersenyum, atau lebih tepatnya memaksakan untuk tersenyum.
" Bagus lah, " sergah Frida.
" Caca pamit dulu Pakde, Bude, assalamualaikum,"
Caca keluar rumah dengan berlari kecil menahan tangis yang hampir tumpah.
Dia duduk di halte menunggu bis menuju ke rumah Rena. Pandangan nya kosong sesekali dia mengusap airmatanya.
"Jangan nangis, kamu jelek kalau lagi nangis," Caca menoleh mendengar kalimat itu. Dia terkejut melihat Arka ada di depannya.
"Ngapain pagi pagi sudah nongkrong disini? "
" Bapak sendiri ngapain pagi-pagi sudah di sini? " Caca balik bertanya tanpa menatap.
"Kamu ngga perlu tau urusan aku," jawabnya cuek.
"Kalau gitu bapak juga ngga boleh tau urusan saya," tukas Caca sebal, dia berani menjawab karena dia sudah menyiapkan surat pengunduran dirinya. Jadi jika bos nya ini marah toh sudah bukan soal buat dia.
"Baguslah kalau gitu, aku cuma mau bilang, gimana bis bisa tau kalau kamu lagi nunggu, sementara kamunya dari tadi mundur mulu, emang ada lukisan apa di lantai itu?," lelaki itu pergi meninggalkan Caca. Mungkin dia akan mengajari anak anak melukis lagi pikir Caca.
Tak lama setelah Arka pergi, bis yang di tunggu tiba dan membawanya ke tujuan.
Sampai di rumah Rena, Caca menceritakan semuanya.
"Apa Ca?, dan kamu nerima gitu aja?" Rena gusar.
"Aku ngga punya pilihan lain Ren,"
"Kabur Ca, kamu harus pergi dari rumah itu, Papa punya rumah di Surabaya, kamu bisa tinggal disana semau kamu, sampai kapanpun, "
Caca menggeleng, "Jika itu aku lakukan, itu sama artinya dengan membuat mereka malu, dan Pakde akan masuk penjara Ren,"
"Kamu ini Ca, mereka memang harus dibuat begitu supaya tidak sewenang wenang,"
"Rena, doakan saja aku ya, supaya aku bisa bahagia, itu saja" Caca berkata sambil mengusap airmatanya.
"Pasti Ca, aku pasti doakan kamu, " dia memeluk Caca erat.
"Lalu kapan kamu ke rumah calon mertua mu itu?,"
"Bulan depan aku sudah disana, tapi... Bude tadi bilang kalau acara dipindah di sini aja, bukan di Semarang atas permintaan anak angkatnya itu,"
"Sebentar Ca, kamu emang sudah tau seperti apa calon suami mu itu? "
Natasya menggeleng pelan.
"Oh God, Caca kenapa kamu tidak cari tau Ca?"
Rena mengusap wajahnya, makin gusar.
"Untuk apa Ren?, toh pada akhirnya mau ngga mau aku harus menerima,"
Sahabatnya itu membuang nafas kasar, Rena mengambil air minum didepannya dengan cepat meminum nya.
"Ca, paling tidak kamu tau lah sedikit tentang calon suami kamu itu, oia namanya siapa?"
Lagi lagi Caca menggeleng. Dan Rena cuma bisa menepuk keningnya.
"Sudahlah Ren, ngga penting itu semua doakan saja aku, "
" Oke, itu pasti,"
Caca membasahi tenggorokan dengan segelas air putih di depannya.
"Lalu bagaimana dengan Kim Bum?, kamu sudah cerita ke dia? "
" Aku sudah bikin surat pengunduran diri, " Caca berkata pelan.
"Secepat itu Ca?,"
"Ren, bulan depan itu tinggal dua minggu lagi,"
Rena mengangguk mengerti.
"Ca, aku yakin kamu bisa melewati ini semua, aku kenal siapa kamu,"
"Makasih Ren,"
*********
Usai siaran Caca menemui Sulis menceritakan tentang pengunduran dirinya.
"Caca, kamu pertimbangkan dulu deh, toh nanti kamu akan tinggal di sini juga, kita bisa kasi cuti kok, "
" Tapi Mba,..."
"Sudah gini aja, kamu simpan saja surat itu, nanti kalau suami kamu tidak membolehkan kamu bekerja kamu bisa kasi ke kita, gimana? "
Caca diam, kemudian mengangguk.
" Nah gitu dong, susah nyari pengganti kaya kamu Ca,"
Caca tersenyum tipis.
"Kalau gitu Caca ke bawah dulu ya Mba, laper," Caca memerangi perutnya.
Sulis tertawa melihat ekspresi Caca.
"Ya sudah sana, kasian tuh cacing,"
Sampai di bawah dia keluar gedung.
"Mba Caca mau kemana?" sapa pak Dadang security.
"Mau maka siang Pak, di seberang itu, soto nya enak,"
"Oh iya mba, ati ati nyebrang nya,"
"Iya Pak,"
Baru saja Caca hendak menyeberang ada sepeda motor dengan kecepatan tinggi menyenggolnya membuat Caca limbung dan hampir terjatuh, beruntung Pak Dadang menahannya.
"Mba Caca nggak kenapa napa mba?"
Caca belum sempat menjawab tiba-tiba seorang lelaki turun dari mobil.
"Ada apa ini Pak Dadang?, kenapa pegang pegang anak orang," tanyanya tajam.
"Mas Arka ini bisa aja, ini tadi Mba Caca keserempet motor, hampir jatuh nah saya datang nolongin gitu Mas,"
Arka tersenyum, "Oh gitu, emang dia biasa ceroboh Pak,"
Caca tertunduk dia tidak berani menatap lelaki itu. Entah, sejak kapan perasaan aneh itu hadir namun dia tidak yakin, sebab apalah dia, hanya seorang pekerja. Lebih mirip punguk merindukan bulan.
"Kamu mau kemana?," suara Arka menyadarkannya.
Mendadak Caca kehilangan rasa lapar.
Caca menggeleng, "Ngga kemana mana Pak, maaf saya mau kembali ke studio," dia berjalan cepat meninggalkan Arka yang heran dengan sikap gadis itu.
"Loh Mba Caca ngga jadi makan to?," Pak Dadang setengah berteriak memanggil.
Namun Caca sudah jauh sehingga tak mendengar panggilan Pak Dadang.
"Makan?, dia mau makan?," tanya Arka.
"Iya Mas, dia tadi bilang mau makan di seberang itu, soto ya enak katanya, eh la kok sekarang malah balik, "
Arka mengeluarkan selembar uang pecahan seratus ribuan.
" Pak, tolong bungkus kan buat dia, kalau Bapak mau bungkus juga ngga apa-apa, sisanya ambil aja. Nanti minta office boy yang antar ke studio,"
"Waduh, terimakasih Mas,"
Arka mengangguk kembali ke mobilnya kemudian pergi.
Bersambung, terima kasih sudah mampir dan membaca, yang masih setia mana suaranya 😁😘😘.
Maafkan typo bertebaran.
Krisan yang membangun di tunggu 😊😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top