Part 1 ( Repost)
Caca melirik ke arah pergelangan tangan lelaki di sampingnya.
"Setengah jam lagi, huuuft," gerutunya. "Ini lift jalan ngga sih, lambat banget."
Caca menggigit kukunya. Hal itu dia lakukan jika sedang gelisah. Hari ini hari pertamanya bekerja sebagai announcer radio, yang ada di lantai tujuh gedung itu.
"Aduh kalau telat gawat nih, ini baru lantai tiga lagi, " rutuknya. Lelaki disampingnya nampak terganggu dengan polahnya.
" Hey, kamu bisa diam ngga sih! Belum pernah naik lift ya? " ujarnya kesal.
Caca menoleh ke arah lelaki itu, syukurnya dia dikaruniai ilmu menahan diri, jika tidak pasti dia akan segera membelalakkan mata,teringat oppa oppa korea. Lelaki ini sungguh sempurna, tinggi, kulitnya bersih, hidung mancung, dan bermata tajam kecoklatan.
"Kenapa bengong, terpesona ya?, keluar sana!" ujar lelaki itu padanya.
" Eeh, apa hakmu mengusirku? Emang ini lift nenek mu, enak aja," Caca memandang ke arah lelaki itu dengan pandangan melotot.
Diluar dugaan cowok disampingya itu terkekeh geli.
"Mata kecil gitu, emang bisa melotot," gumamnya dengan mata mengecek.
" Ngga lucu!" timpal Caca sewot.
"Terserah kamu lah, cewek aneh, " ujarnya sambil melangkah keluar lift.
Lift kembali tertutup.
" What, lantai 12? Cowok sialan," Caca menepuk keningnya.
Dia segera menekan tombol angka 7.
********
"Oke musik lovers, lagu tadi menutup jumpa kita petang ini, saya Natasya pamit, see you tomorrow keep spirit and bye bye,"
"Huuuft, finally," gumamnya sambil merapikan jilbab.
Natasya, gadis berkulit putih dengan hidung mancung dan mata yang sedikit sipit itu nampak lega dan puas.
Natasya gadis yatim piatu, saat usianya menginjak dua tahun, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, dia sendiri tidak memiliki saudara. Setelah enam tahun, nenek yang mengasuhnya juga meninggal, kini dia tinggal bersama Ranti , budenya.
Ranti sendiri mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Yang laki-laki sudah bekerja dan yang perempuan sebaya dengan Natasya. Sebenarnya bude memperlakukan dirinya dengan sangat baik, demikian juga Faris anak laki-laki bude, namun tidak demikian dengan Frida, dia sangat tidak menyukai Natasya. Meski begitu Natasya menganggap itu wajar dan dia sering mengalah.
Caca demikian dia biasa di panggil.
"Caca, besok usahakan jangan nge pas datangnya kaya tadi ya," Mba Sulis bagian program director mengingatkan.
"Iya Mba, maaf. "
Ponselnya berbunyi, satu pesan masuk.
[Hai non, keren dah siaran perdananya, proud of you Ca,]
[Seriusan keren?,]
[Iyaa, eh jangan lupa ya, siapin foto paling menarik buat features kamu]
[Oh iya hampir lupa, oke makasih ya Ren]
[Oke, see you Ca]
*******
Tergesa gesa Caca menuju lift, baru saja pintu lift hendak menutup.
"Eeh, please tunggu, "
" Huuuft, Alhamdulillah thanks ya, " Caca mengalihkan wajah nya ke lelaki yang memenuhi tombol di lift tadi.
Eh ini bukannya cowok yang tadi ya, pikirnya.
Melihat tidak ada balasan dari lelaki itu, Caca membuang pandangannya ke depan.
"Cowok sombong, aneh" gumamnya pelan.
From this moment, life has begun.
From this moment, you are the one.
Right beside you is where i belong.
From this moment on.
Lagu Shania Twain terdengar, Caca memasukkan tangannya ke tas mencari ponselnya, namun tak di temukan, alih alih menemukan handphone nya justru semua isi dalam tas nya berhamburan ke luar. Ternyata ponsel terselip dalam buku diary.
"Ceroboh, " suara lelaki itu terdengar, ketika Caca sibuk mengumpulkan isi tasnya yang berserakan.
" Cerewet, " balasnya ketus.
Akhirnya sampai di lantai satu, tanpa menoleh Caca berlari keluar.
" Hari yang buruk," rutuknya sambil berjalan menuju tempat parkir motor.
" Neng, maaf ini dompet neng ya?, " tanya satpam menyerahkan dompet merah muda padanya.
" Oh iya Pak, makasih ya Pak, "
" Bukan saya yang nemukan, ini juga tadi dari Mas Arka "
" Arka? " tanyanya.
" Iya, itu orangnya yang pakai Fortuner putih, " Pak Dadang menunjuk ke arah lelaki tampan yang sudah pergi dengan mobilnya.
" Oh iya, terimakasih Pak,"
Jadi namanya Arka, gumam Caca dalam hati.
******
Tiga bulan sudah Caca bekerja sebagai Announcer, dia tidak ingin terus menerus membebani bude dan pakdenya, sedikit gaji yang dia terima dia berikan ke bude meski beliau menolak. Pagi itu mereka semua berkumpul di meja untuk sarapan.
"Caca, gimana skripsinya sudah mulai di susun? " tanya mas Faris.
" Sudah Mas, sudah ngajukan ke dosen pembimbing malah,"
"Wah, keren semoga langsung di acc ya, " Faris memberi semangat.
" Kamu sudah juga dong dek ya? " tanya Faris ke Frida.
" Belum," jawabnya singkat sambil melirik tajam ke arah Caca.
"Kenapa? "
" Tuh, si penyiar ngga mau nganterin aku cari literatur, mentang mentang udah jadi penyiar, baru juga penyiar radio sudah belagu!, "
" Frida!, " suara pakdenya terdengar tak suka.
Caca menghentikan makannya. " Kapan Mba Frida meminta Caca untuk cari literatur?, mba ngga pernah bilang ke Caca, "
" Diam kamu!, numpang dari kecilaja belagu, " Frida beranjak dari duduk nya dan pergi meninggalkan meja makan.
Bude hendak menyusul namun pakde mencegahnya. Caca menunduk menahan airmata yang hendak tumpah.
" Caca, maafkan Mba Frida ya, dia mungkin lagi banyak masalah, " ujar Bude lembut.
Caca mengangguk mengerti.
" Bude, Pakde Caca hari ini ada hunting foto sama Rena untuk media internal kampus, jadi seharian ini Caca ngga dirumah,"
Pakde mengangguk, "Boleh Ca, kamu ati ati,"
Caca mengangguk.
Caca dan Rena adalah reporter tetap majalah kampus, dan mereka tengah mengerjakan artikel yang mengangkat kehidupan orang - orang yang terpinggirkan.
********
Mereka mengambil lokasi di daerah pinggiran di dekat rel kereta api. Kawasan middle low tersaji disana. Rumah-rumah semi permanen berjejer kumuh, sebagian besar anak - anak disana tidak bersekolah, mereka asyik bermain dan berlarian di sepanjang rel kereta, warung makan ala kadarnya yang di dominasi lelaki yang tak henti mengepulkan asap rokok, cukup menjadi bahan menarik untuk dokumentasi artikel mereka.
"Kita pisah ya Ren, aku ke sebelah sana,"
"Oke sip,"
Caca mengabadikan setiap objek yang di rasa menarik dan pas untuk artikelnya.
Dia tertarik dengan sekumpulan anak yang duduk berkumpul di bawah pohon rindang, mereka tampak asyik mengamati sesuatu. Masing masing di tangan mereka ada kanvas dan kuas. Dan di depan mereka seorang lelaki sedang melukis. Dia tidak menyia nyiakan pemandangan ini, dengan beberapa kali jepretan. Saat jepretan terakhir lelaki itu menoleh kearahnya, merasa terganggu. Caca menutup mulutnya, matanya membulat.
"Maaf, saya harap tidak keberatan," tergagap Caca berkata.
"Saya keberatan, bisa kamu hapus semua tadi?" ujar mendekat.
Caca menelan ludahnya.
"Kamu belajar etika kan? kemarikan kameramu, " tangannya meminta kamera dari Caca. Ragu dia menyerahkan kameranya.
" Biar aku yang hapus," Tak lama lelaki itu menyerahkan kembali kameranya.
Caca menunduk, "Lain kali ijin dulu sebelum mau mengambil gambar, apalagi berhubungan dengan aktivitas orang lain, karena belum tentu dia mau di ekspos," lelaki itu berlalu meninggalkan aroma wangi dari tubuhnya.
"Bvulgari Pour Homme Soir, " gumam Caca dia tau karena dia pernah jadi SPG parfum. Lelaki itu menoleh sekilas, " Penjual parfum juga ternyata," cetusnya berlalu.
"Eh tunggu," panggil Caca membuat lelaki itu menghentikan langkahnya tanpa menoleh.
"Maaf saya sudah ganggu kegiatan mu, saya Natasya, kamu Arka kan?, makasih sudah ngga marah, " Caca membalikkan badannya dan pergi. Arka tersenyum tipis menggelengkan kepala.
Caca kembali melanjutkan huntingnya.
Batinnya berbisik, "Ganteng, selera tinggi, kaya pula tapi beku kaya es," seulas senyum tercetak, sehingga nampak cekung lesung pipinya.
"Kenapa Ca?, senyum senyum sendiri? " Rena menepuk pundaknya.
" Eh Rena, kirain cowok tadi, udah geer aja, " ujar Caca terbahak.
" Cowok?, cowok yang mana? " tanya Rena mengedarkan pandangannya.
" Ah udah Ren, ngga penting, ayo balik ntar aku telat ke studio, "
Bersambung.
Terimakasih sudah mampir dan membaca.
Kalau suka vote yaa, komentarnya juga boleh...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top