Bab 9: Misi Kedua
Bel pulang berbunyi disusul oleh sorakan riang dari para siswa yang sudah bosan bergelut dengan soal matematika. Entah pihak kurikulum sedang bercanda atau bagaimana sehingga menaruh pelajaran laknat itu di siang menjelang sore hari, di saat semua siswa kekenyangan selepas makan siang hingga menyebabkan kantuk. Adapula siswa yang mulai lelah karena tugas di pelajaran sebelumnya hingga mereka tak dapat menyerap pelajaran terakhir. Fokus Riana pun bahkan sudah mengawang dan tak dapat mencerna tiap kata yang diucapkan guru.
Riana melihat dua temannya di belakang, lalu memberi isyarat untuk segera hengkang dari kelas. Hari ini jadwal ekstrakulikuler basket, ia harus melihat pujaan hatinya bermain.
Riana berada di kelas XII IPA 2 bersama dengan Tala dan Ardi. Sedangkan Candra tinggal di kelas XII IPA 1. Awalnya mereka berempat satu kelas, tetapi karena insiden Candra menyerang Ardi semester lalu, Candra dipindahkan. Riana tentu tahu apa yang mereka perdebatkan, tapi ia tak terlalu peduli. Riana akan tetap mendukung Candra karena sejujurnya ia begitu membenci Tala dan Ardi. Riana bahkan beberapa kali menawarkan untuk menjadi sekutu Candra untuk melawan Ardi, tapi hati Candra tak mudah percaya semenjak dikecewakan oleh teman karibnya itu.
"Riana, minggu depan lo ulang tahun, kan?" tanya Iren. Gadis itu mempercepat langkah agar sejajar dengan Riana yang gesit sekali. Cewek itu sepertinya tak mau ketinggalan menonton Candra.
"Iya, gue mau ngadain pesta besar. Ntar lo yang sebarin undangannya."
"Lo mau ngundang si Tala?"
Pertanyaan Poppy tentu saja membuat Riana mendelik tajam.
"Lo mau gue babak belur lagi, Pop?"
Poppy mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Lalu, ia nyengir tanpa dosa.
"Kalau menurut gue, hantu itu nggak bakal merasuki Tala lagi."
"Lo berani jamin?"
"Nggak juga, sih."
"Yaudah nggak usah bawa-bawa lagi cewek sialan itu."
"Tapi gue ada ide, Na." Poppy menghentikan langkah Riana. "Ini saatnya lo mempermalukan dia di pesta lo yang pasti dihadiri oleh banyak orang. Biar dia kapok karena pernah mukuli lo di kantin."
Riana tampak menimbang-nimbang. "Serius bakal aman?"
"Nanti kalo lo diserang lagi, kita pasti bantu." Iren membantu meyakinkan Riana. Mereka pun akhirnya membuat rencana yang bagus untuk menjatuhkan Tala.
Riana dan teman-temannya sampai di tujuan. Beberapa siswi masuk tanpa permisi dan duduk di tribune demi menyaksikan Candra. Tak mau ketinggalan Riana pun langsung memilih jajaran kursi paling bawah agar bisa melihat cowok itu dari dekat.
Candra menggunakan lapangan indoor yang ada di sebelah kanan gedung IPA. Sengaja cowok itu tak memakai lapangan outdoor, ia malas bila harus menjadi sorotan seantero sekolah. Di lapangan tertutup saja masih ada saja cewek yang berani melihatnya. Dan itu sedikit membuatnya risih.
"Candra!"
Riana berteriak memanggil cowok itu supaya mendapat perhatiannya. Tetapi usahanya sia-sia. Candra lebih memilih mengajari beberapa teknik pada anggota ekstrakulikuler.
"Sial. Dia sulit banget gue taklukin."
Riana menyapu seluruh tribune untuk melihat siapa saja yang menjadi saingannya dalam mendapatkan Candra. Betapa terkejutnya dia saat mendapati Tala di tribune atas.
"Ngapain dia di sini?"
Poppy dan Iren langsung mengikuti arah pandang Riana. Mereka sama terkejutnya saat melihat Tala dengan senyum lebarnya.
"Dia mau deketin Candra?" Karena pertanyaannya itu, Iren langsung mendapat sentilan di dahi lebarnya.
***
Demi menghibur Amerta, Tala rela duduk di tribune paling atas untuk menyaksikan ketua ekstrakulikuler basket mengajari anggotanya di tengah lapangan. Ia sudah membawa aneka snack dan air mineral, berjaga-jaga barangkali hantu itu tak mau diajak pulang dan Tala akhirnya kelaparan.
"Ini cara Kakak menghibur hati?" tanya Tala saat Amerta kegirangan karena melihat Candra berhasil memasukkan bola basket ke ring.
"Iya. Dulu, gue sering lihatin Farhan tiap main basket. La, lo harus tahu kalo pemain basket itu kelihatan seksi." Amerta menjelaskan dengan antusias.
"Farhan itu ketua tim basket angkatan Kakak?"
"Iya, masa lo nggak tahu."
"Terus kenapa misi Kakak bukan pacaran sama Kak Farhan aja. Malah maunya pacaran sama Candra?"
"Misi gue pokoknya pacaran sama ketua tim basket. Karena sekarang gue nggak tahu Farhan di mana, jadi mending yang ada aja, kan?" Amerta duduk setelah melihat cowok incarannya istirahat di pinggir lapangan. Kalau Amerta bukanlah hantu, mungkin kakinya sudah kesemutan karena berdiri hampir dua jam cuma untuk menyemangati Candra. "Dan ada sesuatu juga kenapa gue milih Candra."
"Apa?"
Amerta mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Tala. Aneh, padahal Amerta tak usah berbisik segala. Toh, hanya Tala yang mampu mendengarnya.
"Riana suka sama dia. Lo bisa memanfaatkan dia buat bales dendam. Ibaratnya sekali dayung dua-tiga pulang terlampaui."
Tala langsung tersentak mendengar penuturan Amerta. "Nggak, ah! Itu namanya cari mati."
"Cari mati gimananya? Urusan merayu Candra bagian gue. Lo cuma perlu meminjamkan tubuh lo ke gue."
Sebenarnya malam itu mereka sudah membicarakan perihal berbagi tubuh ini. Namun, itu untuk misi Amerta mengungkap kematiannya. Karena ia perlu bertemu dengan para penyidik yang menangani kasusnya. Tala setuju saja. Tetapi untuk misi yang ini Tala agak ragu. Mendekati Candra yang banyak fans membuat nyalinya ciut. Apalagi Tala hanyalah cewek cupu yang sering jadi bahan bullyan geng Riana. Sudah dipastikan hidupnya nggak akan selamat bila nekat menjadi pacar Candra.
"Udah nggak usah banyak mikir!"
"Tapi, Kak ...."
"Lo percaya ke gue, kan?"
Tala mengangguk.
"Yaudah."
Amerta kembali fokus pada Candra yang kini sedang selonjoran sambil mengobrol dengan temannya-temannya. Cowok itu rupanya tidak terusik oleh perempuan yang secara terang-terangan memanggilnya. Atau mungkin cowok itu hanya pura-pura tak peduli. Entahlah, yang terpenting adalah Candra mirip dengan Farhan, idolanya semasa hidup yang pernah membuatnya jatuh cinta. Kali ini ia harus berhasil mendapatkan pacar ketua tim basket. Atau ia akan menyesal saat pergi ke akhirat karena tak pernah berpacaran.
Saat mengalihkan pandangan, mata Amerta menangkap sosok Riana yang sedang memperhatikannya, lebih tepatnya menatap Tala. Sorot kebencian jelas terlihat dan seketika Amerta senang melihatnya. Genderang perang baru saja ia tabuh. Saatnya mengasah pedang untuk menebas leher musuh.
"Kak, aku harus ke warnet Kang Otoy," kata Tala.
"Yaudah, ayo!"
Mereka berjalan beriringan, mengabaikan tatapan Riana yang masih mengarah pada Tala. Saat sampai di tempat parkir, Amerta melihat sosok perempuan yang begitu familier. Dia memakai kaos berlengan pendek yang dipadukan dan jeans di atas lutut. Rambutnya dibiarkan tergerai membuat ia terlihat lebih dewasa. Berbeda sekali dengan yang Amerta lihat terakhir kali.
"Kiani ...." Amerta bergumam, tapi tentu saja Tala mampu mendengarnya.
"Mau aku beri tahu satu hal?"
"Apa?"
"Dia menjadi tersangka di kasus Kakak karena sidik jarinya ditemukan di tas Kakak."
"Hah?"
***
Note : Aku menerima kritik dan saran dari pembaca. Silakan, tak usah sungkan untuk memenuhi kolom komentar😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top