Bab 8: Misi Pertama

Tala sangat menyesal karena mendengarkan Amerta mengoceh sepanjang malam. Hantu itu bercerita soal website yang mereka jelajahi. Tak ada yang istimewa sebenarnya, website itu mengumpulkan orang-orang yang menyukai hal-hal berbau horor, misteri, dan thriller. Mereka saling berbagi link film dan merekomendasikan buku-buku seru bergenre horor misteri. Amerta terlalu berekspektasi tinggi, jadilah dia kecewa. Ia pikir pembahasan dalam website itu adalah hal-hal terkait pembunuhan, sama seperti yang dibahas oleh adik pria bertubuh gempal yang diringkus polisi tadi sore. Tetapi, saat ia memancing orang-orang dalam grup untuk membahas kasusnya, tidak ada satu pun yang membalas.

Pukul dua dini hari Tala baru memejamkan mata. Tidurnya pun tak nyenyak karena suara-suara benda yang disentuh Amerta begitu mengganggu. Saat fajar menyingsing, dengan langkah gontai Tala menuju kamar mandi. Matanya terasa perih saat tersiram air. Kepalanya pun terasa berat dan tubuhnya lemas sekali. Efek begadang memang sedikit menyiksa. Tala jarang sekali begadang. Sepulang bekerja di warnet Kang Otoy biasanya dia langsung tidur.

Begitu keluar dari kamar mandi, Tala melihat Amerta duduk di meja rias. Gadis itu sedang menyisir rambutnya yang panjang bergelombang. Wajahnya berseri ketika menoleh ke arahnya.

"Ayo, sekolah!"

Amerta begitu semangat. Meski semalam dia tak tidur, tak ada lingkar hitam pada area matanya. Beda dengan mata Tala yang sekarang mirip panda.

"Iya, sebentar." Tala ikut menyisir rambut dan mengikatnya mirip ekor kuda. Ia tak memoleskan apapun pada wajahnya. Tala hanya menyemprotkan parfum agar seragamnya tak bau apek. Selanjutnya ia memasukkan beberapa buku ke dalam tas, serta membawa pakaian olahraga.

"Lo ada pelajaran olahraga?" tanya Amerta.

"Iya, kenapa?"

"Ehm, gue takut lo pingsan aja. Soalnya hari ini badan lo kayak kurang fit."

"Oh, ntar juga baikan kalo udah sarapan." Tala duduk untuk memakai sepatu. Saat posisi menunduk seperti itu, bibirnya yang menampilkan senyuman tak terlihat oleh Amerta . Perhatian kecil yang diberikan Amerta cukup membuat hati Tala merasa hangat.

"Eh, mana hp lo? Coba lihat dulu chat kemarin ada yang bales nggak," titah Amerta.

Usai memakai sepatu, Tala segera mengambil ponselnya yang semalaman diisi daya, lalu menghidupkannya. Website Mysfit itu bisa diakses juga oleh ponsel. Jadi, ia tak perlu online di warnet Kang Otoy untuk bisa berbalas pesan.

ALA: Pernah denger kasus bunuh diri di sebuah SMA favorit di Jakarta baru-baru ini?

Meganechan: Pembunuhan tahun 2018, ya? @ALA

"Ini orang kayaknya nggak ngerti kata baru-baru ini, deh," gerutu Amerta sembari memelototi layar ponsel Tala.

Kumbang_jantan: Iya @Meganechan beritanya udah kesebar ke mana-mana. Gue prihatin. Gak nyangka juga, sih, perempuan pinter itu depresi dan memilih bunuh diri.

Meganechan: Bukannya orang cerdas bakal mikir ribuan kali kalo mau melakukan sesuatu? @Kumbang_jantan

Kumbang_jantan: Dia ditekan bokapnya, makanya depresi @Meganechan

"Perusahaan mana, sih, yang nerbitin artikel kayak gitu? Bokap gue nggak pernah ngekang gue." Amerta mulai marah-marah dan Tala sedikit kaget. Ia tak mau kejadian seperti di kantin terulang lagi. Ia tak mau melihat wajah Amerta yang menyeramkan.

"Sini aku bales pesannya." Selanjutnya, Amerta mendikte kalimat untuk membalas pesan si Kumbang Jantan.

ALA: Kebetulan gue temen deket dia, sepengetahuan gue bokapnya baik banget. Gue pernah main beberapa kali ke rumahnya dan nggak ada perlakuan aneh-aneh, kok. Korban juga bahagia tinggal bersama bokapnya, meski ibunya udah gak ada @Kumbang_jantan

Meganechan: Gue, sih, yakin kalau itu bukan kasus bunuh diri @ALA

Dewa_user01: Coba selidiki aja @ALA

ALA: Bingung mesti mulai dari mana @Dewa_user01

Dewa_user01: Karena lo temen deketnya, lo pasti tahu apa aja rutinitas dia. Mulai dari sana. Cari tahu dia bertemu siapa aja hari itu dan mulai kumpulkan bukti @ALA.

Usai diberi pencerahan oleh si Dewa User, Tala memasukkan ponselnya. Kalau terus-terusan berbalas pesan dengan mereka, bisa-bisa Tala terlambat sekolah.

"Ayo, berangkat, Kak. Udah siang." Amerta mengangguk, meski ia masih ingin bertanya lebih jauh pada si Dewa User. Selanjutnya mereka keluar rumah. Tak lupa Tala mengunci pintu.

Suara bising yang berasal dari knalpot motor memelan dan mati usai terparkir di halaman sempit depan rumah Tala. Tala mengernyit, menerka siapa kiranya laki-laki berseragam yang masih duduk di atas motor itu. Matanya membulat saat helm itu dibuka dan menampilkan wajah ganteng Ardi plus senyum manisnya. 

"Keren nggak motorku?" tanya Ardi seraya turun dari Kawasaki merahnya. Kalau dilihat-lihat dia jadi mirip Stefan Willian di sinetron Anak Jalanan.

"Itu motor baru?"

"Iya. Akhirnya Papa beliin. Pake syarat, sih."

"Apa?"

"Les piano lagi."

"Bukannya kamu udah jago?" Ardi cuma mengedikkan bahu.

Tala mendekat ke motor baru Ardi dan mengusap body motor itu hati-hati. "Bagus motornya."

"Ayo, berangkat." Ardi memakaikan helm yang khusus dibawanya untuk Tala. Selanjutnya ia naik ke motor dan menyalakan mesin. Tala kesulitan menaiki motor itu. Namun, akhirnya berhasil juga duduk dengan nyaman.

"Woy, La! Gue ditinggal?" Tala menoleh ke belakang. Ia terkikik melihat muka masam Amerta. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu. Meski suaranya tak terdengar, Amerta tahu apa maksudnya. Good bye!

Sialan. Amerta memaki Tala terang-terangan, membuat gadis itu semakin tak kuat menahan tawa.

***

Rumah megah dengan halaman seluas lapangan bola yang Amerta rindukan kini terpampang di depan mata. Pagi ini, ia memutuskan untuk mengunjungi rumah sang ayah. Rindu di hatinya sudah tak dapat ditahan. Ditambah ucapan si Kumbang Jantan yang menilai ayahnya buruk, membuat gadis itu khawatir dengan kondisi lelaki itu.

Sunyi. Begitu masuk, Amerta tak menemukan satu manusia pun berkeliaran. Biasanya selalu ada Mang Jaka berjaga di pos satpam, Mang Karyo membersihkan rumput di halaman, Bi Darmi dan Mbak Lastri yang selalu heboh bergosip sambil masak atau bersih-bersih, lalu sang ayah duduk di teras sambil meminum kopi. Biasanya rumah besar ini ramai. Apalagi bila dirinya menginap, pasti ada saja kerusuhan yang terjadi.

Amerta mencoba hidup sendiri sejak duduk dibangku kelas sepuluh. Jarak rumahnya dengan SMA Pancasila lumayan jauh dan butuh waktu sekitar tiga puluh menit perjalanan. Sang ayah akhirnya membelikan sebuah apartemen yang dekat dengan sekolah supaya Amerta tak terlambat, mengingat gadis itu selalu susah dibangunkan ketika pagi. Temannya, Derana, selalu menginap di sana. Sekalian membantu membangunkan Amerta.

Amerta berkeliaran, menembus pintu-pintu yang menghubungkannya dengan ruangan-ruangan di rumah megah itu. Namun, hasilnya nihil. Tak seorang pun yang dapat ia jumpai. Ia kalang kabut, pikirannya menjurus pada kemungkinan terburuk seperti yang si Kumbang Jantan sebutkan; mungkinkah ayahnya masuk penjara?

Secepat kilat, Amerta kembali ke sekolah untuk menemui Tala. Saat ini, Tala pasti sedang ada di luar kelas, mengingat pagi tadi ia bilang ada pelajaran olahraga. Di pinggir lapangan voli, pandangan Amerta bertemu dengan manik cokelat Tala yang sepertinya sudah bisa merasakan kehadirannya. Melihat Amerta yang susah payah menahan tangis, Tala sontak berdiri dari duduknya dan segera menghampiri Amerta. Amerta langsung menarik tangan Tala dan mengajaknya ke tempat parkir yang cukup sepi.

"Ada apa?"

"Bokap gue ...."

"Kenapa?"

Melihat Amerta yang semakin panik, Tala jadi merasa khawatir.

"Rumah gue kosong, Tala. Bokap gue nggak ada. Apa dia masuk penjara?"

"Tenang dulu, Kak."

Tala segera merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ia mengetik kata kunci di halaman google. Sebuah artikel muncul. Tala segera membacakannya supaya Amerta merasa tenang.

Usai dipanggil oleh kepolisian dan memberikan kesaksian, Direktur Galih kembali ke negara asalnya, Jerman. Ayah korban mengaku tak pernah memberikan tekanan pada sang anak. Beberapa bukti berupa obrolan ayah dan anak ini hanya berupa guyonan yang salah tafsir di kalangan masyarakat, sehingga mereka berspekulasi Direktur Galih menekan korban.

Artikel ini baru dipublikasikan usai kasus Amerta ditutup. Rupanya si Kumbang Jantan belum melihatnya.

Tala melirik Amerta yang terisak. Ia menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Suaranya begitu memilukan, sampai Tala merasa iba dan perlahan memeluknya. Ia tahu betul bagaimana perasaan seorang anak yang rindu pada ayahnya.

***

Note : Aku menerima kritik dan saran dari pembaca. Silakan, tak usah sungkan untuk memenuhi kolom komentar😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top