Bab 6: Kesepakatan
Azan magrib berkumandang bersamaan dengan kembalinya sang surya ke peraduan. Siswa yang melaksanakan ekstrakulikuler sudah meninggalkan sekolah sejak pukul lima. Ada beberapa yang bandel dan menunda waktu pulang, tetapi sudah diomeli Ridwan. Sejak adanya insiden bunuh diri semester lalu, satpam berperut buncit itu rajin mengusir siswa yang berlama-lama di sekolah. Aturan sekarang adalah siswa wajib meninggalkan sekolah paling lambat pukul 17.15 WIB. Ada sanksi bila melanggar, yaitu diskors selama dua hari. Hal ini dilakukan supaya tak ada kasus aneh-aneh lagi di SMA Pancasila.
Tala bersembunyi di balik tumpukan meja yang berada di atap gedung IPS saat cahaya yang berasal dari senter Ridwan menyorot ke arahnya. Entah sudah berapa kali Ridwan berpatroli di bawah sana. Ridwan berjalan dari lapangan ke auditorium, dari gedung IPA ke perpustakaan, lalu balik lagi ke lapangan sambil menyoroti area sekitar menggunakan senter berukuran lumayan besar. Tala jadi khawatir. Kalau sampai ia tertangkap basah, tamatlah riwayatnya .
Sejak pukul empat, Tala sudah berada di atap gedung IPS untuk mencari sosok Amerta. Hantu itu tak menampakkan diri lagi usai bertengkar dengan Riana beberapa hari lalu. Seharusnya Tala bersyukur karena tak ada yang mengikutinya. Namun, gadis itu malah merasa kehilangan. Andaikata Amerta memang pergi, setidaknya Tala harus mengucapkan terima kasih dulu atas tindakan Amerta yang membelanya.
"Dia udah nggak ada." Suara itu datang bersamaan dengan hawa dingin yang merambat di sekujur tubuh Tala. Dengan hati-hati ia menoleh. Netranya menangkap sosok kuntilanak yang melayang di udara. "Satpam itu tadi masuk toilet," tambahnya seolah mengerti kebingungan Tala.
Tala keluar dari tempat persembunyiannya. Ia menepuk bagian rok belakangnya yang dipenuhi oleh debu.
"Kamu Tala, kan?" Hantu itu mendekat ke arah Tala, membuat gadis itu waspada. "Lagi nyari Amerta, ya?" Tala berasumsi kuntilanak ini mantan cenayang.
"Ke mana dia?"
"Paling lagi jalan-jalan. Dari kemarin dia bilang mau refreshing, mood-nya selalu jelek semenjak adu jotos sama manusia."
Tala baru tahu kalau ternyata hantu juga butuh refreshing. Gadis itu sekarang duduk di atas kursi yang lumayan reyot. Beruntung bobot tubuhnya ringan, jadi ia tak perlu khawatir kursi itu ambruk.
"Nama saya Djenar, kalau kamu ingin tahu."
Tala tersenyum canggung. "Kira-kira Kak Amerta akan pulang kapan?" Sebenarnya Tala tak begitu nyaman berbicara dengan hantu. Apalagi Djenar ini termasuk hantu yang sedikit menyeramkan. Kepalanya itu seperti mau putus. Tala tahu Djenar mati digantung, karena bekas lilitan tambang di lehernya telihat sangat jelas meski di kegelapan malam.
"Tunggu aja nanti nongol."
Sepersekian detik setelah Djenar bicara, sosok Amerta muncul. Tala semakin yakin kalau Djenar memanglah cenayang.
Wajah Amerta ditekuk dan bibirnya mengerucut. Pasti mood-nya benar-benar jelek.
"Hai," sapa Amerta tak niat. Ia bergabung duduk di tengah-tengah Djenar dan Amerta. "Nyari gue, ya?" tanya Amerta pada Tala yang kini sedang membeku di tempatnya.
"I-iya."
Padahal sejak pukul empat tadi, Tala sudah merangkai kalimat terima kasih dan permohonan maaf. Namun, saat Amerta sudah ada di hadapannya Tala malah bingung harus memulai dari mana.
"Lo pasti mau menyalahkan gue. Karena tindakan gue, lo jadi dihukum bersih-bersih tiap pulang sekolah, kan?" tebak Amerta.
Tala tercengang. Gadis itu pikir Amerta menghilang. Nyatanya, hantu itu mengawasinya dari jauh.
"Enggak. Justru aku mau bilang terima kasih. Dan maaf juga karena bikin mood Kakak jelek."
Amerta terperangah. Tindakannya tempo itu akhirnya bisa membuat Tala meluluh. Lampu hijau terlihat semakin terang.
"Serius lo? Kalau gitu ucapan terima kasih lo bakal gue terima kalau lo mau bantu gue." Amerta memanfaatkan keadaan. Kesempatan tak datang dua kali bukan?
"Ehm ... tawaran yang waktu itu ...." Tala kesulitan menjelaskan apa mau hatinya. Namun, Amerta segera mengerti dan memasang wajah semringah.
"Kalem, gue tetep akan bantu lo dalam belajar. Ada lagi yang lo mau dari gue?"
Tala berpikir sejenak sebelum berkata, "Lindungi aku dari Riana."
"Ah, soal itu gampang!"
Tala tersenyum. "Kakak mau aku melakukan apa?"
"Gue punya permintaan. Dan sepertinya Tante Djenar nggak usah tahu." Amerta melirik Djenar yang sedari tadi anteng menatap langit.
"Kamu mau saya menyingkir? Hei, ini markas saya." Djenar mendengus kesal.
"Ya udah, ayo ke rumah aku aja, Kak." Tala langsung berdiri hendak mengajak Amerta pergi. Namun, ia baru sadar kalau gerbang sekolahnya pasti sudah dikunci. "Aku harus nginep di sini, deh, kayaknya."
"Gue punya jalan pintas." Amerta menarik tangan Tala agar mengikutinya. Gadis itu sama sekali tak keberatan. Mungkin karena ia sudah percaya pada Amerta. Ia yakin hantu itu baik. "Tante, kami tinggal dulu, ya," pamit Amerta pada Djenar. Selanjutnya mereka menuruni tangga dan menuju pintu rahasia yang hanya diketahui Amerta.
***
Kontrakan Tala hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan dapur yang merangkap dengan ruang tamu. Meski kecil, rumah ini sangat terjaga kebersihannya. Tala tipikal perempuan yang suka kerapihan.
Saat masuk ke kamar Tala, Amerta melihat beberapa pigura menghiasi dindingnya. Sebagian besar foto masa kecil Tala bersama teman-temannya di panti asuhan.
"Sejak kapan lo memutuskan hidup sendiri?" tanya Amerta sembari memerhatikan salah satu foto kelulusan Tala saat SMP.
"Pas mau masuk SMA. Aku pikir, aku sudah bisa menghidupi diri sendiri. Aku tak enak pada Bu Wati jika terus-terusan merepotkannya."
Tala mencuci wajah dan kaki, mengganti baju, dan duduk di kasur yang muat untuk satu orang. Ia tak mandi karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia sering demam bila tersiram air dingin di malam hari. Bila mandi air hangat, ia harus merebus air dulu dan menurutnya itu boros. Gas elpijinya tidak akan tahan sebulan kalau dipakai merebus air untuk mandi.
"Lo kerja?" Amerta ikut duduk di ujung kasur. Ia penasaran pada kehidupan Tala yang menurutnya berat. Seorang remaja berusia delapan belas tahun bisa menghidupi dirinya sendiri dan mampu bersekolah di sekolah elite, bukankah itu luar biasa?
"Iya, kalau pulang sekolah suka bantuin Kang Otoy jagain warnetnya. Kalau weekend aku kerja di kafe dari pagi."
"Cara lo masuk ke SMA Pancasila? Bukannya itu butuh biaya lumayan, ya?"
"Ardi yang bantu."
"Lo pacarnya?" Amerta jadi sedikit curiga Tala memiliki hubungan spesial dengan Ardi. Ia sering melihat cowok itu bersama Tala. Bahkan beberapa hari lalu, saat Tala dijatuhi hukuman oleh Bu Monic karena membuat keributan di kantin, setiap hari Ardi menemaninya. Amerta menyaksikan bagaimana Ardi begitu perhatian, membawakan minum, mengajak Tala bergurau, dan sesekali membantunya menyapu dedaunan di pinggir taman sekolah.
"Dia temanku sejak kecil. Dulu, rumahnya dekat dengan panti asuhan Bu Wati dan sering main di sana."
"Oh."
Hening beberapa saat. Tala menarik selimut dan berbaring di kasurnya.
"Eh, lo mau tidur?" tanya Amerta ketika Tala menguap dan hendak memejamkan mata.
"Iya, itu pun kalau Kakak sudah nggak ada pertanyaan lagi."
"Gue mau minta tolong ...."
Tala kembali duduk dan memeluk kedua lututnya. Ia bersiap mendengarkan apapun yang ingin Amerta ungkapkan.
"Apa?"
"Tala, gue mau minta lo sampein ke Papa kalau gue belum pergi. Gue nggak mau dia terus bersedih."
Tala menghela napas. "Kak, sebenarnya aku sering dimintai tolong seperti ini. Beberapa kali aku juga membantu mereka menyampaikan pesan itu, tetapi respon keluarga hantu tersebut tak pernah sesuai dengan harapan." Tala membenarkan posisi duduknya menjadi bersila. "Aku pernah menyaksikan orang tua mereka pingsan saat kuberi tahu anaknya gentayangan. Pernah juga aku dipukuli dan dianggap tak waras karena memberitahukan hal tak masuk akal. Yang lebih parah, pernah aku membuat keluarga korban menuntaskan dendam anaknya yang mati karena pembunuhan."
Mendengar pengalaman Tala yang tak menyenangkan itu, Amerta mengurungkan niat untuk memberitahu papanya.
"Itu sebabnya aku sudah tak mau berurusan dengan hantu lagi," ujar Tala mengakhiri cerita panjangnya.
"Lantas, kenapa lo dateng ke atap nyari gue kalau udah nggak mau berurusan dengan hantu?"
"Karena Kakak bersimpati padaku, mau membelaku, dan melindungiku dari Riana. Aku juga mendapat kepuasan saat melihat Kakak memukuli Riana, seolah aku melihat diriku sendiri sedang berontak. Padahal tubuhku sedang dikendalikan oleh Kakak." Tala terkekeh setelah mengatakan itu. Amerta tersenyum. Ia pikir tindakan gegabahnya akan membuat Tala membencinya, ternyata dugaannya salah. "Aku yakin Kakak orang baik."
"Oke, kalau begitu ... karena lo nggak mau menyampaikan pesan gue ke Papa, lo bantu gue dengan cara lain."
"Apa?"
"Gue punya tiga misi rahasia yang harus gue lakukan sebelum pergi ke akhirat. Lo harus bantu gue melakukan misi itu."
***
Note : Aku menerima kritik dan saran dari pembaca. Silakan, tak usah sungkan untuk memenuhi kolom komentar😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top