Bab 4: Bullying
Amerta mengekori Tala ke mana pun, kecuali ke kamar mandi. Dari sekian banyak hantu yang Tala jumpai, cuma Amerta yang keras kepala. Dia bertekad untuk membuat Tala menyetujui tawarannya. Maju tak gentar. Semangat Amerta sudah setara dengan Soekarno yang mati-matian memerdekakan Indonesia.
Jujur saja, Tala sempat tergiur dengan tawaran Amerta. Siapa, sih, yang akan menolak dibimbing belajar secara gratis? Nilai-nilai Tala selalu merosot turun dan ia tidak mampu untuk mengikuti les seperti teman-teman yang lain. Bukankah akan lebih baik jika ia menerima tawaran Amerta? Gadis itu pasti memiliki metode belajar yang simpel karena selama ini ia les di tempat mahal dan terjamin.
Sebagai putri konglomerat, hidup Amerta sangat mudah dijalani. Berbeda dengan Tala yang harus bekerja paruh waktu untuk membiayai hidupnya. Beruntung Tala tak membayar SPP, karena Ardi sudah membujuk sang ayah untuk membiarkan Tala belajar di sekolahnya. Tala harus memiliki nilai bagus untuk membuat ayah Ardi tak menyesal telah menampung murid miskin sepertinya. Namun, karena sibuk mencari uang, Tala tak pernah berhasil meningkatkan nilai-nilainya. Ia tak memiliki waktu mengulang pelajaran di rumah. Tala bahkan ragu ia bisa lulus tahun ini.
Karena terlalu sibuk dengan pemikirannya, Tala sampai tersandung sesuatu. Ia jatuh dengan kedua lutut lebih dulu mencium lantai. Nampan berisi nasi goreng yang tadi dipesannya berhamburan. Padahal Tala sudah mengantre lama untuk mendapatkan sepiring makan siang itu.
"Aw ...," ringis Tala. Ia mengusap kedua lututnya yang memerah. Di sebelahnya Amerta sedang mengumpat. Sepertinya hantu itu kesal melihat Tala menjadi bahan tertawaan semua siswa yang berada di kantin.
Pandangan Tala menyapu seisi kantin sebelum menatap seseorang yang duduk tak jauh dari tempatnya jatuh.
"Ups sorry, kaki gue pegel makanya keluar dari meja." Riana menutup mulutnya dengan tangan, berlagak seperti merasa bersalah karena membuat Tala jatuh.
"Ya ampun, nasi gorengnya kasihan nggak dimakan," timpal Poppy sembari menahan tawa. "Makanya mata itu jangan dipake buat melototin hantu terus!"
Tala membersihkan lantai sebelum berdiri. Ia tak menggubris ucapan Poppy. Gadis tomboy itu memang terkenal dengan kesinisannya. Jadi, percuma ia menanggapi Poppy. Apalagi di belakangnya ada Riana, salah satu anak komite sekolah yang memberikan sumbangan banyak untuk sekolah Ardi.
"Woy! Kalau ada orang ngomong itu didengar!" Riana bangkit dari duduknya dan mencekal tangan Tala yang hendak pergi. Cengkeramannya sangat kuat sampai Tala meringis kesakitan.
"Lepasin," rintih Tala.
"Lo jangan kurang ajar makanya." Riana melepaskan tangan Tala begitu saja. Tala mengusap pergelangan tangannya yang memerah dan berdenyut.
"I-iya, maaf." Tala menahan air matanya agar tak jatuh. Bukan sekali-dua kali ia diperlakan seperti itu oleh Riana. Yang membuat batinnya menjerit adalah ia tak bisa melakukan apa pun. Melawan Riana sama saja dengan melangkah menuju neraka.
Riana kembali ke kursinya dan ini kesempatan bagi Tala untuk pergi. Namun, Riana sepertinya tak memberikan kesempatan pada Tala untuk melarikan diri.
"Eh, Dukun. Sekalian bawain bekas makan kita." Riana menunjuk mejanya yang penuh dengan mangkuk. Ada bekas soto, mie ayam, dan bakso. Belum lagi piring bekas cemilannya. Juga gelas bekas jus dan air putih. Tala harus mengembalikan itu ke kedai yang menjual makanan tersebut.
Di sekolah Tala, siswa memang membeli makan siangnya dari jajaran kedai di kantin. Mereka pun diharuskan membersihkan mejanya sendiri. Itu adalah aturan sekolah. Namun, masih ada saja siswa yang mengabaikan aturan itu dengan menaruh nampan dan piring bekas makan siang di meja.
Tala mengangguk. Kemudian, ia bolak-balik mengembalikan mangkuk dan gelas ke kedai. Ia pun mengembalikan piring bekas nasi gorengnya yang tumpah. Beruntung piring itu terbuat dari plastik, jadi tidak pecah dan Tala tidak harus mengganti rugi.
"Mau dibuatkan lagi, Neng?" tanya Bi Nina saat Tala menghampiri kedainya. Wanita paruh baya itu menyaksikan perbuatan Riana pada Tala. Dan kini ia merasa iba.
"Tak perlu. Bel masuk bentar lagi bunyi."
Selanjutnya, Tala melangkahkan kakinya menuju UKS. Ia membutuhkan balsam untuk lututnya yang terasa nyeri.
"Lo kalau dapat perlakuan kayak gitu dilawan, dong. Mereka udah keterlaluan," ucap Amerta. Dari sudut matanya, Tala menangkap kekesalan di wajah hantu itu. "Lapor pihak BK, kek. Dulu gue sering ngelaporin si Kiani ke BK karena berani bully temen sekelas."
"Terus temen Kakak berhenti nge-bully orang itu?" tanya Tala. Gadis itu menghentikan langkah. Ia tak peduli bila diperhatikan oleh siswa yang berpapasan dengannya karena bicara sendiri. Tala hanya tak terima dinasihati oleh Amerta. Hantu itu sama sekali tak paham posisi Tala yang terjepit. Lapor ke BK bukanlah jalan keluar. Yang ada geng Riana malah akan semakin merundungnya.
"Seenggaknya mereka dapat hukuman."
"Dan ujug-ujungnya hukuman itu malah membuat aku semakin disiksa oleh mereka."
"Lo bisa lapor polisi."
"Kak, aku malas berdebat sebenarnya. Tapi, perlu Kakak tahu, orang miskin itu nggak berdaya. Pernah dengar ungkapan bahwa hukum itu runcing ke bawah dan tumpul ke atas?"
"Jangan menyamaratakan gitu, dong. Nggak semua orang kayak gitu."
"Iya, memang nggak semua orang berperilaku jahat. Mungkin ada satu atau dua yang baik, tetapi sangat sulit mencarinya di antara yang jahat."
Usai mengucapkan itu, Tala bergegas masuk ke ruang UKS. Amerta mengepalkan tangan. Hantu itu berbalik hendak kembali ke kantin dan menemui para perundung Tala. Bila Tala tak mau berurusan dengan Riana, biar dia yang maju.
***
Rupanya Riana belum beranjak dari kantin. Ia masih duduk di tempat yang sama. Namun, tanpa kedua antek-anteknya. Seorang cowok yang terlihat familier duduk berhadapan dengannya. Kalau Amerta tidak salah, cowok itu adalah anggota ekstrakulikuler basket yang dulu sering bersama Farhan, si ketua seksi yang pernah menjadi incaran Amerta. Amerta mengingat siapa nama cowok itu dan memori otaknya sama sekali tak menyimpan namanya.
"Candra, lo masih musuhan sama Ardi?" tanya Riana. Dia menopang dagu. Matanya menatap wajah putih Candra dan seketika ia berseri-seri seperti orang kasmaran.
Amerta berniat menguping. Hantu itu duduk di salah satu kursi, bersebelahan dengan Candra. Ia memerhatikan wajah Riana sembari menahan kesal. Kalau saja ia tak tembus pandang, mungkin wajah Riana sudah babak belur karena tinjunya.
"Sebelum gue menjatuhkan si Ketos songong itu pantang gue berdamai." Dari cara bicaranya, Amerta tahu Candra adalah orang yang ambisius.
"Can, lo tahu kelemahan Ardi?"
"Kelemahannya adalah bokapnya. Kalau dia nggak takut sama bokapnya, dia pasti nggak akan merebut posisi Ketua OSIS dari gue."
Mengingat kejadian beberapa bulan lalu membuat Candra kesal. Dia sudah mengusahakan segalanya agar bisa dipilih menjadi Ketua OSIS. Mencoba menjadi nomor satu di kelas, selalu hadir saat rapat OSIS, mengikuti banyak kegiatan esktrakulikuler dan seringkali mengikuti lomba, berkampanye juga. Namun, usaha itu terasa sia-sia karena tiba-tiba Ardi yang semula mendukungnya malah menusuk dari belakang. Tanpa usaha, dia langsung dilantik menjadi Ketua OSIS. Ya, Candra tahu Ardi adalah putra pemilik sekolah. Namun, tetap saja harusnya Ardi bersaing dengannya secara sehat.
"Dia berani ngelawan bokapnya, kok."
"Tahu dari mana lo?"
"Urusan itu lo nggak perlu tahu. Yang harus lo tahu kelemahan Ardi bukan di bokapnya."
"Terus?"
"Gue bakal kasih tahu kalau lo mau jadi pacar gue."
Candra tertawa. Kemudian ia menatap Riana dengan iba. "Lo belum nyerah juga dapetin gue?"
Riana tak menghiraukan pertanyaan terakhir Candra. Ia malah balik bertanya, "Deal?"
"Lebih baik gue cari tahu sendiri kelemahan Ardi."
Candra berdiri, lalu meninggalkan Riana yang memasang wajah kesal. Sedangkan Amerta yang menyaksikan drama itu terkikik. Candra memang luar biasa. Amerta merasa cowok itu sangat mirip dengan Farhan, nggak sembarangan milih cewek.
Saking senangnya melihat Riana ditolak, Amerta jadi lupa tujuannya kembali ke kantin.
"Setelah ditolak cowok ganteng, lo harus dikasih pelajaran lain yang lebih parah. Biar tahu rasa!"
Selanjutnya, Amerta melayang dan duduk di atas punggung Riana. Sesekali ia menyentil kuping cewek itu. Menurut Djenar, manusia akan merasa berat bila ditempeli hantu. Amerta ingin membuktikan ucapan kuntilanak itu, sekalian memberi pelajaran pada Riana.
"Sial, kenapa tiba-tiba punggung gue berat banget." Riana mencoba menegakkan badan, tetapi ia kesulitan. Gadis itu juga mengusap telinga kanannya yang tiba-tiba merasa panas.
"Nyaman juga ternyata duduk di sini," ucap Amerta. Ia tertawa puas.
Beberapa saat kemudian, Tala muncul dan berteriak, "Jangan ganggu dia!"
Melihat kilatan amarah di mata Tala, Amerta langsung menjauh dari Riana. Sedangkan, Riana melotot ke arah Tala. Tanpa aba-aba Riana melayangkan tamparan pada Tala.
"Lo ngirim setan buat nempelin gue?"
***
Note : Aku menerima kritik dan saran dari pembaca. Silakan, tak usah sungkan untuk memenuhi kolom komentar😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top