Bab 3: Sebuah Tawaran
"Katanya, kita hidup cuma sekali. Jatuh cinta sekali. Mati pun sekali. Lantas kenapa kita dihidupkan lagi setelah mati? Dan kenapa harus dalam wujud hantu?"
Djenar, kuntilanak penunggu atap gedung IPS dibuat bingung oleh pertanyaan Amerta. Selama kurang lebih tujuh belas tahun ia bergentayangan, baru kali ini dirinya ikut memikirkan alasan kenapa ia masih berada di dunia bahkan setelah kematian menjemput. Merasa tak memiliki jawaban, perempuan berkuku panjang itu diam. Pandangannya beralih ke langit yang ramai oleh bintang.
"Krik ... Krik ... Gue kayak lagi ngomong sama tembok." Amerta akhirnya menatap langit juga. Ia tahu, kuntilanak satu ini tak mungkin bisa menjawab deretan pertanyaan absurd yang ia lontarkan.
Langit begitu indah malam ini. Cahaya bulan begitu terang. Namun, yang lebih menakjubkan adalah jajaran bintang yang berkilauan. "Dulu, pas nyokap meninggal karena penyakitnya, bokap bilang nyokap udah jadi bintang. Kenapa ketika gue mati malah jadi hantu?" Lagi, Amerta meratapi nasib. Kalau melihat bintang, ia selalu mengingat ayahnya. Dulu, mereka sering duduk di teras sambil membicarakan sang ibu. Ah, Amerta merindukan keduanya sekarang.
"Saya tidak memiliki jawaban atas semua pertanyaan kamu." Djenar menatap gadis cantik di sebelahnya. Ia taksir umur Amerta sekitar 18 tahun. Djenar jadi membayangkan buah hatinya yang ia tinggalkan. Mungkin saat ini gadis mungil yang dulu masih bicara terbata sudah pandai mengoceh seperti Amerta.
"Letisha ...," gumam Djenar.
Amerta balas menatap Djenar dengan alis yang terangkat. "Nama gue Amerta, Tante."
"Saat melihat kamu, saya jadi teringat anak saya. Tahun ini dia berusia delapan belas tahun."
"Oh, Tante udah punya anak?"
"Dia pasti kesepian sekarang. Saya meninggalkannya tanpa pamit. Pasti dia masih menunggu saya."
Amerta menggaruk tengkuk. Seharusnya saat ini adalah sesi curhatnya dan mestinya Djenar merasa iba serta membantu mencari jalan keluar. Namun, mengapa sekarang keadaannya jadi terbalik?
"Kenapa Tante meninggalkannya?" Amerta memberi kesempatan Djenar untuk bercerita.
"Saat itu saya mendapat telepon dari Fajar, katanya ada yang mencuri soal matematika untuk olimpiade. Saya bergegas ke sekolah. Rupanya, itu hanyalah akal-akalan manusia bejat itu untuk menjebak saya."
"Tante adalah guru di sekolah ini?" Djenar mengangguk. "Terus gimana kelanjutannya?"
"Manusia bejat itu melecehkan saya. Dengan sekuat tenaga saya melawan, tapi tenaga perempuan bakal kalah dengan laki-laki. Dia kalap dan menghabisi saya. Dia juga menyamarkan sebab kematian saya."
Amerta menganga, tak habis pikir dengan kelakuan Fajar yang dengan teganya melecehkan dan membunuh rekan kerjanya sendiri. Bahkan Fajar sengaja menggantung Djenar di tangga menuju atap gedung IPS. Dia mengarang cerita kalau Djenar bunuh diri karena stres ditinggal suaminya.
"Jadi, tujuan Tante sekarang mau membalas dendam?" Kesimpulan yang didapat dari cerita Djenar sudah tentu mengarah ke sana.
"Sayangnya sebelum saya bisa membalas dendam, rupanya Fajar lebih dulu diberi hukuman sama Pencipta. Dia mengalami kecelakaan beberapa bulan setelah kasus saya ditutup. Dia sepertinya dihantui rasa bersalah."
"Terus kenapa Tante belum ke akhirat? Bukannya tujuannya udah terkabul? Dia sudah mati."
"Saya ingin melihat Letisha dulu."
Amerta menggenggam tangan Djenar. "Oke, nanti kita cari Letisha."
Djenar mengangguk. Dia kemudian memandang lagi langit. "Kamu mau jadi bintang?"
"Tentu. Itu lebih baik daripada jadi hantu nggak punya arah tujuan."
"Kamu memiliki tujuan. Bukankah ingin mengungkap alasan kematianmu?"
"Ah, iya."
"Saya sarankan lebih baik kamu tidak tahu. Semakin kamu mengorek kebenarannya, hatimu akan terasa semakin sakit."
Usai mengucapkan itu Djenar menghilang kayak Jin Aladin. Amerta langsung mencerna nasihatnya, tapi ia malah menaruh kecurigaan. Apakah Djenar mengetahui sesuatu perihal kematiannya?
***
Tepat pukul 06.00 WIB, Amerta sudah tiba di depan SMA Pancasila. Dia bersandar di gerbang yang di atasnya terdapat bocah berkepala botak sedang bergelantungan seperti monyet. Mendung menghias langit. Padahal Amerta tahu bulan ini bukanlah musim hujan. Angin berembus menerbangkan dedaunan kering di sekitar kaki Amerta. Pikirannya melanglang buana, saat ini kondisinya sama seperti dedaunan itu. Ia hanya bisa mengikuti takdir yang entah akan membawanya ke mana.
Beberapa siswa mulai memasuki area sekolah. Amerta menajamkan penglihatan. Ia mencari sosok Tala. Hari ini, Amerta harus berhasil membujuk gadis itu agar membantunya.
Sepuluh menit kemudian, Tala turun dari angkutan umum bersama cowok yang Amerta kenal. Ardi, cowok populer di SMA Pancasila. Teman seangkatan Amerta banyak yang menggilai adik kelas ganteng itu. Derana, sahabat Amerta bahkan berniat meminta Ardi jadi pacar. Sayangnya Amerta menahan Derana untuk mendekati Ardi dengan alasan dia berondong yang laris. Bisa-bisa Derana sakit hati. Amerta, sih, tidak begitu tertarik pada Ardi. Ketua tim basket seangkatannya jauh lebih ganteng. Apalagi kalau sedang bermain di lapangan dan wajahnya dipenuhi peluh, terlihat seksi.
Amerta membuntuti Tala tanpa menyapanya lebih dulu. Tala merasakan kehadiran Amerta, tetapi ia mengabaikannya. Gadis itu malah menyuruh Ardi bergegas masuk.
"Santai, Tala. Kamu kayak lagi dikejar hantu." Ardi mencoba menghentikan Tala yang berlari sambil menarik tangannya. Namun, langkah gadis itu malah semakin cepat. Kalau begini caranya, bisa-bisa mereka jatuh bersama.
"Aku emang lagi dikejar hantu, Ar."
Kemampuan Tala sudah diketahui Ardi. Mereka sering bermain bersama sejak kecil. Makanya semua tentang Tala, Ardi hapal di luar kepala.
"Wujudnya apa?"
"Gadis cantik, tapi dekil."
Awalnya Amerta tersenyum disebut gadis cantik, tapi senyum itu luntur ketika Tala menambahkan kata dekil di akhir.
"Ngeledek lo, ya?" tanya Amerta kesal. Tubuhnya sudah sejajar dengan Tala. Sia-sia saja Tala berlari, toh Amerta mampu mengejarnya dengan cara terbang.
Tala sudah sampai di tempat duduk. Di sebelahnya Ardi masih menormalkan detak jantung. Napasnya memburu. Maklumlah, Ardi jarang olahraga. Makanya diajak berlari sebentar saja, keringatnya langsung bercucuran.
"Udah hilang dia?" tanya Ardi setelah meneguk air minum dalam botol milik Tala. Dia yang dimaksud adalah sosok Amerta.
Tala enggan membahas Amerta yang kini sedang selonjoran di lantai. Jadi, ia mengalihkan topik. "Minum aku kenapa dihabisin?" Tala meraih botol minumnya dan hanya tersisa beberapa tetes air.
"Haus. Kamu mengajak lari dari gerbang sampai gedung IPA, naik tangga lagi. Capek!" Ardi bersandar pada kursi. Selanjutnya mengeluarkan buku catatan matematika. "Udah ngerjain PR belum?"
"Belum. Aku nggak bisa ngerjain. Susah."
Amerta mengintip buku Tala. "Soal gitu doang susah," celetuk Amerta. Sebagai murid nomor wahid dalam urusan ranking, bagi Amerta soal persamaan linear sangat cetek. "X sama dengan 2, y sama dengan 5."
Tala mencocokkan jawaban Amerta dengan jawaban Ardi. Ternyata sama. Tala jadi heran, kenapa Amerta tak bisa mengingat kematiannya, tapi masih hapal rumus persamaan linear?
"Gue bisa ngerjain PR lo atau membantu lo biar pinter. Sebagai gantinya lo harus bersedia bantu gue."
Tawaran Amerta sempat dipertimbangkan oleh Tala selama beberapa menit. Namun, keputusan Tala untuk tidak berurusan lagi dengan hantu membuat harapan Amerta kembali pupus.
"Selain matematika, gue juga pinter bahasa Inggris, IPA apalagi. Hampir di semua mata pelajaran gue mendapat nilai A." Amerta ini terlalu jemawa. Namun, dia pantas bersikap seperti itu, karena faktanya memang dia pintar. Namanya terkenal di seantero sekolah sebagai murid yang hampir tiga tahun tak pernah bergeser posisi rankingnya. "Gimana Tala? Lo mau, kan?"
***
Note : Aku menerima kritik dan saran dari pembaca. Silakan, tak usah sungkan untuk memenuhi kolom komentar😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top