Bab 13: Hantu Pikunan

Kebiasaan Amerta jika sedang memikirkan sesuatu adalah menggigiti ujung kuku telunjuk kirinya. Sedikit demi sedikit, sampai kuku yang tadinya panjang menjadi pendek. Ia bahkan sering dimarahi oleh ayahnya dan dibilang jorok oleh Derana. Namun, ia sulit sekali menghentikan kebiasaan itu. Saat ini pun, ketika ia sudah bukan lagi manusia kebiasaan itu masih terbawa. Sayangnya, kuku yang ia gigiti sekarang tak menjadi pendek.

Senyum di sudut bibir Candra yang ia lihat saat di koridor menjadi beban pikirannya. Bagaimana bila ia sendiri yang membahayakan Tala? Amerta yakin seratus persen jika Candra memiliki dendam pada Ardi dan pastilah dia menjadikan Tala sebagai pionnya.

"Lagi mikirin apa, sih?" Kepala Amerta berputar seratus delapan puluh derajat dan tentu saja itu membuat seseorang di belakangnya menutup wajah karena takut.

"Tala?" Seketika Amerta mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Tala. "Gue pikir lo marah ke gue, karena tadi abis dorong Candra biar nubruk lo."

"Kurang kerjaan banget, sih, Kak." Perlahan Tala mendekati Amerta. Wajahnya tak lagi ditutupi oleh tangan.

"Rencananya gue, tuh, mau bikin Candra nubruk lo terus buku yang lo bawa jatuh dan dia bantuin rapiin. Abis itu kalian saling natap ala-ala sinetron. Sialan, si Ardi mengacaukan rencana gue."

Tala tertawa mendengarnya. "Kakak tahu sendiri Ardi musuhan sama Candra."

"Kenapa bisa musuhan, sih?"

"Ya ... gitu."

"Lo dulu deket nggak sama Candra?"

"Nggak. Aku malah jarang main sama Candra. Kalo mereka main berdua aku nggak pernah diajak."

"Oh ...."

"Kak Amerta-" ucapan Tala terpotong oleh suara riang dari arah belakang. Ada Frisca di sana masih mengenakan piyama yang sama seperti saat pertama kali Amerta bertemu dengannya.

"Mau ngapain lo ke sini?" tanya Amerta sinis.

"Gue mau ketemu Tala."

"Nggak punya temen lo?"

"Iya, emang nggak punya."

"Kasihan amat hidup lo."

"Hidup lo apalagi lebih miris."

Tala mendesah, kedua temannya ini keras kepalanya hampir sama. Rasanya Tala lebih baik menghadapi sosok menyeramkan daripada mendengar kedua arwah ini berdebat.

"Kalian damai, dong. Aku pusing kalau kalian berantem." Tala menutup kedua kupingnya. Bibirnya mengerucut dan bikin Frisca gemas. Cewek berlesung pipi itu tersenyum lebar dan mengacungkan jari telunjuk. Entah apa artinya jari telunjuk itu. Biasanya orang-orang akan mengacungkan jari telunjuk untuk menunjukkan arah. 

"Lo harusnya ngacungin jari telunjuk sama tengah buat tanda peace, bego," ledek Amerta. Meski terkesan galak, tapi Amerta mengucapkan kalimat itu dengan senyum yang ditahan.

"Gue kuper, btw." Frisca langsung mengancungkan lagi jari telunjuk dan tengahnya. Tala tertawa melihat kepolosan Frisca.

"Oh, iya, makasih kamu sudah bersedia datang ke sini," ucap Tala. Mendengar itu, ekspresi Amerta berubah lagi. Entah ada urusan apa sampai Tala harus mengundang arwah yang sedang melakukan astral projection itu ke sini.

"Ngapain lo ngundang dia ke sini, La?"

"Lanjutin pembahasan tadi pagi."

Amerta menatap Frisca. "Bener lo tahu kejadian saat Johan maksa gue naik motornya?"

Frisca mengangguk. "Gue lihat dengan jelas nametag-nya, kok. Alesan gue ngikutin lo juga karena gue familier dengan wajah lo."

"Oke, lo bisa jelasin lebih detail kronologisnya?"

Frisca mengangguk. Selanjutnya ia menceritakan bagaimana ia melihat Amerta yang diseret paksa untuk ikut ke motornya Johan. "Kalian pergi ke arah selatan. Arah selatan itu menuju sekolah ini."

"Artinya, gue saat itu hendak pulang dari sekolah, terus diboyong lagi ke sekolah?"

"Yap. Lo baru aja turun dari mobil."

"Mobil? Mobil warna apa?"

"Silver."

"Sial. Gue tahu mobil siapa."

Amerta langsung berdiri. "Gue tahu emang ada yang nggak beres sama Johan dan Kiani. Gue yakin mereka berdua yang rencanain pembunuhan gue."

Tala ikut berdiri. Cewe itu menahan tangan Amerta untuk mencegah hantu itu melakukan hal-hal di luar akal. "Jangan emosi dulu, Kak. Tunggu Frisca selesai cerita."

"Gue harus menemui mereka, La."

"Iya, sabar. Kita cari jalan keluarnya pakai kepala dingin, jangan emosi."

Kali ini Amerta menurut. Ia duduk kembali dan mendengarkan Frisca menceritakan keadaan saat itu.

"Sebenernya motor itu ngikutin kalian dari belakang. Awalnya si Johan ini marah-marah sama yang nyetir, abis itu marah juga ke kakak."

Amerta menarik rambutnya frustrasi. "Gue nggak ngerti kenapa si Johan marahin Kiani."

"Gue juga nggak ngerti kalian ngomongin apa."

"Udah selesai ceritanya?"

"Udah."

"Oke, makasih." Frisca mendengus sebal saat mendengar Amerta mengucapkan terima kasih secara nggak ikhlas.

"Masama," balas Frisca ketus.

"Jadi rencana kita apa dulu?" tanya Tala.

"Kita? Gue nggak ikutan, ah." Frisca melipat tangan di dada.

"Kalo lo nggak ikut berarti lo nggak boleh temenan sama Tala." Sebenarnya Amerta juga risih dengan kehadiran Frisca, tetapi dia adalah kunci yang akan membuka gerbang kebenaran yang tertutup rapat.

"Oke, gue ikut!" seru Frisca.

"Oke, deal. Rencana gue sudah pasti membuntuti Kiani dan Johan. Kebetulan mereka akrab sekarang, sudah pasti mereka sering ketemu. Tapi, gue nggak tahu di mana posisi mereka saat ini."

"Aku punya undangan ulang tahun dari Riana."

Amerta menjentikkan jari. "Bagus."

"Riana siapa?" tanya Frisca.

"Adiknya Kiani."

"Oke, jadi kita akan mencari Kiani di sana, sebelum membuntutinya."

Amerta tersenyum lebar, pun dengan Frisca dan Tala. Setidaknya ada titik terang yang akan membuka satu per satu sebab kematian Amerta.

***

"Jadi, apa password-nya?" tanya Tala untuk kesekian kalinya. Amerta menggigiti kukunya, sekeras apapun ia berusaha mengingat, tetap saja tak ada angka yang terlintas dalam kepalanya. Ia blank, ibarat komputer yang baru saja di restart kemudian tiba-tiba seluruh data di dalamnya raib.

"Gue nggak inget, Tala."

Baru kali ini Tala bertemu dengan hantu pikunan. Amerta tidak ingat sebab kematiannya, tetapi ingat pada ayahnya. Dia ingat pada Candra, Ardi, dan teman-teman seangkatannya, tetapi tidak ingat sama hal privasi seperti kata sandi apartemen dan sosial medianya. Tala meremas rambutnya frustrasi.

"Jadi, gimana?"

"Kita ke rumah Derana."

"Ngapain?"

"Nanya password pintu inilah, lo pikir ngapain? Ngemis?"

Amerta berjalan lebih dulu. Sedangkan Tala mengelus dada. Sabar, ini ujian hidup. Baru saja Tala hendak mengikuti Amerta, hantu itu malah memutar balik. Dengan tergesa dia menembus pintu apartemen. Entah apa yang sedang ia lakukan di dalam apartemennya sendiri.

Lima belas menit berlalu dan kaki Tala merasa pegal karena berdiri. Ia memutuskan untuk selonjoran di lantai. Beberapa pasang mata menatap Tala dengan tatapan aneh. Hanya ada satu orang berbaju merah yang kebetulan melewati Tala dan menyapa.

"Apartemen itu udah lama kosong, Dek," ucapnya.

"Iya, Bu. Ini saya saudaranya pemiliki apartemen ini. Saya lupa password-nya, padahal paman saya sudah memberi tahukannya."

"Oh, ditelepon aja lagi."

"Iya, Bu."

Usai mengatakan itu, dia melenggang begitu saja. Tala mendesah, sepertinya kebohongannya ini bisa membuat orang itu percaya. Tala tipikal orang yang tak bisa berbohong sebenarnya. Ia diajarkan oleh ibu panti bahwa berbohong adalah tindakan yang tidak baik. Dan di panti diberlakukan sistem hukuman untuk anak-anak yang berbohong. Misalnya menyapu, mengepel, membersihkan taman bermain, dan lain-lain.

Setelah hampir tiga puluh menit Tala menunggu, Amerta kembali. Dia langsung menyuruh Tala untuk memasukkan password apartemennya.

"Kakak udah inget?" tanya Tala.

"Nggak. Gue abis ngubek-ngubek notes gue dulu."

"Kakak pas hidup juga pikunan, ya?"

"Iya, emang."

Tala tertawa, ia melupakan kekesalannya beberapa menit lalu.

"Kita mau ngapain ke sini?"

"Kata lo tadi nggak punya baju buat acara ulang tahunnya Riana."

"Ya, terus?"

"Kebetulan tema pestanya prince and princess, gue punya gaun Cinderella. Bisa lo pake."

"Ini aku kayak Cinderella beneran, Kak, tiba-tiba ada peri yang ngasih gaun. Berlaku sampe tengah malem juga nggak?" canda Tala.

"Ini mau lo pake setahun juga nggak akan lenyap."

"Paling rusak, ya?"

"Nah, itu tahu."

Tala takjub dengan isi kamar Amerta yang didominasi oleh warna pink. Segala peralatan belajar, dari mulai papan tulis, meja belajar, komputer lengkap tersedia di kamarnya. Pantas saja Amerta selalu menduduki peringkat pertama. Karena dia suka banget belajar.

"Lo harus tampil cantik di pesta Riana."

"Harus banget?"

"Yap, karena lo harus bisa mengambil perhatian Candra."

"Hah?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top