Bab 12: Undangan Pesta

Pukul tujuh kurang lima belas menit, seperti biasa Ardi menjemput Tala di kontrakannya. Biasanya gadis itu duduk di kursi depan pintu untuk menunggunya. Namun, kali ini Ardi tak melihat Tala di sana. Bahkan kontrakannya masih terkunci. Tak biasanya Tala kesiangan. Atau jangan-jangan gadis itu jatuh sakit?

Pernah satu kali Ardi sulit sekali menghubungi Tala. Karena saat itu kontrakannya terkunci, Ardi pikir Tala sudah mendahuluinya ke sekolah. Namun, seorang tetangga yang berpapasan dengannya bilang Tala belum keluar kontrakan. Dan saat Ardi mendobrak pintunya, cowok itu melihat Tala sedang menggigil di bawah selimut.

"Tala?" Ardi kembali memanggil Tala dan menggedor pintu keras sekali, berharap gadis itu segera membukakan pintu. Pikirannya sudah kalut.

Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering. Ia melihat nama Tala tertera di layar. Tanpa mengucapkan sapaan, Ardi langsung melontarkan banyak pertanyaan.

"Kamu di mana? Masih di kamar? Kamu lagi sakit? Buka pintunya, La."

Terdengar helaan napas di seberang sana. "Ar?"

"Iya, apa?"

"Aku udah di sekolah." Ardi mengembuskan napas lega. "Maaf nggak ngabarin, aku buru-buru soalnya."

"Emang buru-buru kenapa? Bukannya nggak ada PR, ya?"

"Ada urusan."

"Urusan apa?"

Ardi kalau sudah khawatir itu kayak Ibu yang overprotective sama anaknya. Dia selalu bawel dan melarang Tala melakukan hal-hal berbahaya.

"Pokoknya ada urusan, aku tungguin di kantin, ya. Atau mau langsung ke kelas aja nantinya?"

"Aku udah sarapan. Ketemu di kelas aja. Kamu jangan lupa sarapan."

"Iya, Ar."

Usai mengucapkan itu, Tala langsung menutup teleponnya. Ardi bergegas menaiki motornya dan pergi menuju sekolah.

Terkadang ia sendiri merasa aneh pada perasaannya. Bila mendengar Tala dalam bahaya atau Tala tidak dalam jangkauannya Ardi merasa resah. Dia ingin selalu dekat dengan Tala dan melihatnya bahagia. Karena ketika senyum Tala mengembang, hatinya berbunga. Mungkinkah dia jatuh cinta pada Tala? Berkali-kali Ardi menepis pikiran seperti itu. Ia sudah bersama Tala sejak kecil. Mungkin perasaan khawatirnya yang kadang berlebihan adalah tanda sayangnya pada seorang sahabat. Namun, kembali logikanya bertaruh, apakah ada persahabatan yang murni antara perempuan dan laki-laki yang tak melibatkan perasaan cinta?

Ardi pernah merasa cemburu ketika ada salah seorang temannya ketika SMP secara terang-terangan mengaku menyukai Tala. Ia langsung menyuruh Tala agar menjauhi cowok itu. Ia bahkan membohongi Tala dengan bilang cowok itu jahat. Tala langsung menjaga jarak dengan cowok itu dan Ardi pun kehilangan satu teman laki-lakinya. Anehnya, ia tak menyesal. Selama Tala masih bersamanya, ia tak keberatan tak memiliki teman.

Begitu sampai di sekolah, Ardi langsung menuju kelas. Meja yang ditempatinya dengan Tala masih kosong. Ia pun segera menelepon Tala untuk menanyakan keberadaannya. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi dan pelajaran pertama itu matematika. Gurunya killer dan tak bertoleransi pada siswa yang telat masuk. Beliau tak segan memberikan hukuman yang berat.

"Halo, Ar, udah nyampe?" tanya Tala.

"Kamu di mana?"

"Ini lagi jalan mau ke kelas."

Beberapa saat kemudian, Tala masuk dan menghampiri mejanya. Mereka mematikan sambungan telepon bersamaan.

"Mukanya kenapa ditekuk gitu?" tanya Tala.

"Lagi kesel."

"Maaf, Ar."

Tala menjatuhkan tasnya di kursi. Kening gadis itu berkerut saat melihat ada undangan ulang tahun berwarna kuning di mejanya.

"Ini apa?" tanyanya.

Ardi pun melihat ada undangan di mejanya. Dilihat dari warnanya dan ada hiasan kartun Minion, Ardi hapal undangan itu berasal dari siapa.

"Riana ulang tahun," jawab Ardi.

"Oh ... Terus kenapa dia naruh ini juga di mejaku? Bukannya aku nggak pernah diundang, ya?"

Ardi sudah hapal pasti ada yang Riana rencanakan. "Nggak usah datang, La."

"Iya, nggak punya baju pesta juga."

Geng Riana masuk kelas dan langsung mencuri perhatian. Beberapa siswa berterima kasih karena telah diundang ke acara mewah Riana, beberapa yang lain merencanakan akan memakai kostum yang seragam biar anak kelas lain iri dengan kekompakan kelas ini.

"Dateng, ya, Guys. Awas aja kalau nggak dateng. Bakal ada kejutan besar buat yang sengaja nggak ngehargain usaha gue."

Kejutan besar artinya sama dengan bully-an. Memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk Tala berdiri.

"Ar, gimana?"

"Berangkat bareng aku!"

Ardi suka datang ke acara Riana karena menghormati kedua orang tuanya yang merupakan rekan bisnis papanya. Juga karena papa Riana menyumbang banyak sekali untuk sekolah ini.

Guru matematika datang dan seketika suasana kelas hening. Tala mencoba berkonsentrasi belajar. Namun, ucapan Amerta di atap gedung IPS tadi malah membuat pikirannya kacau.

***


Djenar merasa Amerta banyak berubah. Hantu yang biasanya aktif melayang ke sana-sini, nggak bisa berhenti mengoceh, dan jahil itu kini selalu murung. Wajahnya selalu ditekuk dan kegiatannya hanya sebatas selonjoran di atas meja. Sejak insiden bertemu dengan Noni Belanda yang menjelma sundel bolong, Amerta merasa ingin menghilang saja ke akhirat. Ia benci melihat hantu yang jelek. Padahal dirinya sendiri kalau menampakkan wujud aslinya pasti bikin yang melihatnya lari terbirit-birit.

"Masih ngambek sama Tala?" tanya Djenar. Ia mencoba mendekati Amerta yang sedang duduk di besi pembatas atap.

"Nggak."

"Terus, kenapa tadi cuek banget pas Tala ke sini?"

"Dia udah punya temen baru. Namanya Frisca, sama-sama manusia dan punya mata batin."

"Oh, ya?"

"Dia udah nggak mau berteman sama gue. Kemarin malam juga dia lebih bela Frisca dari pada gue."

"Tala bukan orang yang kayak gitu."

Amerta menatap Djenar. "Tante tahu benar sifat Tala?"

"Tentu saja. Tante lebih lama tinggal di sini dan sering banget melihat Tala interaksi dengan hantu. Dia nggak pernah ninggalin hantu yang menurutnya baik."

"Secara nggak langsung Tante bilang gue baik, ya?"

Djenar mengedikkan bahu.

"Tan, tadi Tala ada bilang kalau Frisca pernah melihat gue ditarik paksa sama Johan. Cowok itu nyuruh gue naik motornya. Tapi, gue sama sekali nggak inget kejadian itu."

"Lalu?"

"Gue harus menyelidiki Johan, tapi gue nggak tahu harus mulai dari mana. Polisi aja bahkan nggak nyinggung apa-apa soal Johan. Masa iya gue jadiin dia tersangka."

"Tante udah bilang ke kamu, stop mencari tahu. Nanti kamu sendiri yang sakit."

"Kebenaran emang menyakitkan. Tapi, bersembunyi di balik ketidaktahuan itu kesannya bego banget."

"Yaudah terserah kamu. Tante nggak mau ikut campur."

Amerta memalingkan wajah dari Djenar. Pandangannya tertuju pada Candra yang sedang berjalan di koridor. Di belakangnya ada Riana yang sedang membujuk Candra agar menerima undangan darinya. Secepat kilat Amerta melayang dan mendarat tepat di samping Candra.

"Candra, terima, ya."

"Gue ada acara."

"Acara apa? Lo nggak lagi ngehindari Ardi, 'kan?"

"Pokoknya gue nggak bisa dateng. Sorry."

Ini cewek maksa banget. Udah tahu cowoknya males dateng, ucap Amerta pelan.

Dari arah berlawanan, Amerta melihat Tala sedang berjalan bersama Ardi. Masing-masing dari mereka membawa setumpuk buku. Sebuah ide cemerlang melintas. Amerta mengumpulkan energinya untuk mendorong Candra.

BRUK!!!

Begitu Amerta mendorong Candra, tubuh cowok itu langsung menyenggol tangan Tala dan membuat buku-buku yang dipegang Tala berhamburan di lantai. Amerta ingin Candra melakukan adegan ala-ala sinetron, yaitu membantu Tala merapikan buku dan tangannya bersentuhan. Namun, di luar dugaan, yang terjadi justru Ardi mengamuk dan menonjok hidung Candra hingga mengeluarkan darah.

"Ar!" Tala berteriak histeris. Cewek itu langsung mengeluarkan sapu tangan yang sering dibawanya, lalu memberikan itu pada Candra. Melihat Tala merasa bersalah malah membuat Ardi semakin marah.

"Ardi, lo sinting?" tanya Riana. Cewek itu mendekati Candra dan memegang tangannya. Namun, Candra langsung menepisnya.

"Temen lo yang sinting. Main senggol orang aja!" Ardi membereskan buku yang berserakan dan membawanya. "Kalo sampe lo bikin Tala terluka, gue nggak segan-segan bikin lo masuk rumah sakit." Ardi memberikan isyarat agar Tala mengikutinya pergi. Candra membiarkan mereka berlalu begitu saja.

"Lo yang dorong gue?" tanya Candra pada Riana.

"Apanya?"

Melihat wajah bingung Riana, Candra yakin ada yang nggak beres. Ia merasa ada orang yang mendorongnya tadi, makanya ia oleng dan menubruk Tala.

"Tala pernah kerasukan hantu?"

"Ya."

"Jadi, sekolah ini emang berhantu?"

"Kenapa lo nanya gitu?"

"Nggak." Candra akan meninggalkan Riana, tapi perlakuan Ardi yang keterlaluan tadi membuat emosinya memuncak. "Kasih tahu gue kelemahan Ardi, gue bakal dateng ke pesta lo," ucap Candra.

Riana tersenyum, lalu menjawab, "Cewek tadi."

"Sudah gue duga."

Amerta diam. Ia melihat sudut bibir Candra tersungging. Rupanya ada yang akan memanfaatkan Tala untuk menghancurkan Ardi. Sial, rupanya tindakannya tadi malah membuat Tala dalam bahaya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top