Bab 11: Dunia Gaib
Halo, sengaja aku posting malam, biar agak serem gitu. Haha.
Oh, iya, aku mendapat informasinya sebagian dari Wikipedia, terutama soal meraga sukma. Mohon dikoreksi bila ada yang salah.
Selamat membaca😉
***
Bulan timbul separuh, bagian yang lainnya tertutup awan gelap. Biasanya, Amerta akan merasa takut bila berjalan menyusuri jalanan lengang yang di sisinya hanya ada pohon mahoni. Ia khawatir bila cahaya bulan tiba-tiba hilang dan sekelilingnya akan gelap. Namun, kali ini ia merasa tenang, karena ia tak berjalan sendiri. Di depan sana, Amerta melihat hantu Noni Belanda yang sangat menarik. Noni itu berkulit putih, hidungnya mancung, dan memiliki rambut ikal berwarna pirang yang terlihat cantik ketika dibiarkan tergerai. Ia mengenakan gaun berwarna putih, ada renda di bagian dadanya. Gaun itu terlihat mewah, menunjukkan bahwa si pemakainya menyandang status bangsawan. Karena terpikat pada pesonanya, Amerta jadi mengikuti Noni itu.
Setelah lama berjalan dari ujung barat hingga sampai di pinggiran kota, Amerta melihat sebuah rumah tua yang bangunannya akan ambruk. Noni itu masuk tanpa permisi, lalu duduk di salah satu kursi goyang reyot. Dia menyanyikan sebuah lagu berbahasa Belanda yang sangat merdu ketika menyapa telinga Amerta. Tanpa sadar gadis itu terpejam, hanyut dalam irama yang begitu menenangkan hatinya.
Noni itu menyanyikan lagu secara berulang-ulang. Amerta langsung bisa menghapal liriknya dan ia pun ikut bernyanyi. Begitu pikirannya terpusat pada lagu, sebuah kehidupan seseorang terlintas di kepalanya seperti tayangan film zaman dulu. Ia melihat rumah bergaya Eropa yang cukup besar. Di sana tinggal sebuah keluarga yang terlihat harmonis. Kilasan itu berlanjut pada acara pesta pernikahan seorang laki-laki berwajah lokal dengan anak tertua keluarga tersebut, wajahnya mirip sekali dengan Noni yang sedang bernyanyi saat ini. Mereka pergi dari Belanda, menuju ke Indonesia dan tinggal di sebuah rumah sederhana.
Awalnya kilasan-kilasan itu begitu membahagiakan, sampai Amerta pun turut menyunggingkan senyum. Lalu, segala kebahagiaan itu musnah ketika pasangan pengantin itu mulai bertengkar. Hari-hari wanita itu dipenuhi oleh air mata karena hampir setiap hari laki-laki itu menyiksanya, sehingga banyak luka di tubuhnya karena bekas cambukan dan lemparan benda berukuran besar. Yang paling membuat Amerta ngeri adalah ketika si laki-laki menusukkan pisau sebanyak sepuluh kali pada punggung si Noni dan membuatnya terkapar tak bernyawa. Melihat hal itu, Amerta langsung membuka kedua kelopak matanya dan seketika terkejut ketika hantu yang semula duduk di kursi sudah berdiri tepat di depannya. Tak ada wajah jelita dan rambut ikal yang indah, Amerta justru melihat sosok menyeramkan. Wajahnya hancur dan penuh darah. Bagian punggungnya berlubang dan sedikit tertutupi oleh rambutnya yang acak-acakan. Yang paling membuat Amerta takut adalah matanya yang merah dan sedang melotot ke arahnya. Tanpa berpikir lagi, Amerta segera menghindar. Ia menghilang dari sana, lalu melayang untuk menemui Tala.
"Sial bener nasib gue lihat yang begitu. Nyesel tadi ngikutin," gerutunya. Ia sampai di sebuah taman dekat kontrakan Tala. Untuk sampai di kontrakan, Amerta hanya perlu melewati pohon mangga yang ada genderuwonya. Ah, genderuwo itu masih saja mencurigai Amerta. Saat terakhir kali ia berjalan dengan Tala, makhluk besar itu masih memelototinya karena menganggap ia sedang mengganggu Tala.
"Kayaknya malem ini gue harus nginep di markas Tante Djenar."
Baru saja Amerta akan memutar arah, ia kaget saat tiba-tiba ada sosok berdiri di belakangnya.
"Aaaaaa ...." Amerta berteriak dan menutup mata. Ia merasa Noni Belanda tadi masih mengikutinya. "Pergi, Setan!" Dia tak bisa mengeluarkan energinya untuk melayang lagi.
"Buka mata lo!" kata sosok itu.
Noni Belanda nggak mungkin bisa berbahasa seperti anak gaul, pikirnya. Amerta menatap hantu di hadapannya, ternyata sosok perempuan cantik yang sepertinya seumuran. Dia mengenakan baju tidur pendek bergambar Doremon.
"Hai," kata perempuan itu seraya melambai ke arahnya.
"Lo bukan hantu nyeremin, 'kan?" tanya Amerta penuh selidik. Ia tidak mau kejadian yang baru dialaminya terulang. Noni Belanda tadi lebih seram dari pocong di warnet Kang Otoy.
"Bukan. Gue bukan hantu," jawabnya.
"Terus kamu apaan?" tanya Amerta lagi diselingi dengan tawa. Sudah jelas dia hanya ruh tak bertubuh, sok bilang bukan hantu. Menurutnya, hantu ini sedang melawak.
"Pokoknya bukan hantu."
"Lah, ngaku aja. Gue nggak akan ngeledek, kok."
"Terserah." Dia duduk di salah satu ayunan besi dengan tempat duduk berhadapan. Amerta duduk di depannya membuat ayunan itu bergerak maju-mundur.
"Lo jangan kepo sama hantu-hantu yang berkeliaran. Mereka ada yang memiliki sisi negatif dan suka menakuti."
"Lo ngelihat gue ketakutan tadi? Terus nggak nolongin?" Amerta bertanya dengan suara yang dinaikkan. Bisa-bisanya ketakutan Amerta cuma dijadikan tontonan oleh arwah ini. Ia turun dari ayunan dan bergegas ke kontrakan Tala. Ia tak peduli dengan genderuwo yang pasti sedang garuk-garuk badan di atas pohon, rasa kesalnya jauh lebih besar dan ia ingin segera mengadukan semuanya pada Tala.
"Tunggu, hei! Gue nggak bermaksud membiarkan lo." Sosok itu mengikuti ke mana kakinya melangkah. Bahkan ketika Amerta melayang pun, dia turut menambah kecepatan agar tak tertinggal jauh.
"Hei, maafin gue. Gue cuma takut. Gue nggak pernah ikut campur masalah orang lain."
Amerta tetap tak menggubris perkataan perempuan itu. Begitu sampai di kontrakan Tala, ia langsung menembus pintu. Tangannya yang dingin menempel di pipi kiri Tala, membuat gadis itu terbangun dari mimpinya.
"Kenapa?" tanya Tala dengan suara serak.
"Ada orang yang ngikutin gue, masih di luar dia."
Meski rasa kantuk menguasainya, Tala tetap berjalan ke arah jendela. Ia singkap gorden dan matanya langsung bertemu dengan sosok perempuan berbaju tidur.
"Dia bukan hantu," jelas Tala.
Dia pikir Tala baru bangun tidur, makanya nggak bisa bedain mana hantu dan manusia. "Itu dia arwah, La, nggak ada cangkangnya."
"Iya, memang itu arwah, tapi dia bukan hantu. Dia belum mati."
"Kok, lo bikin gue puyeng, sih? Maksudnya gimana coba?"
"Kakak pernah dengar istilah astral projection?"
"Nggak."
"Bahasa lainnya meraga sukma."
Keilmuan meraga sukma banyak digunakan oleh pelaku untuk melakukan semacam perjalanan spiritual. Ada banyak istilah yang digunakan untuk fenomena tersebut. Seperti; ragasukma, ngrogo sukmo, dan rogo sukmo. Secara global meraga sukma dikenal dengan sebutan astral projection (proyeksi astral).
"Jadi, maksudnya gimana?"
"Jadi, arwah orang itu mampu melepaskan diri dari jasadnya dan bebas berkeliaran ke mana saja, termasuk dunia gaib."
Tala mendengarkan sosok perempuan di luar semakin keras memanggil-manggil Amerta. Maka, Tala akhirnya membukakan pintu dan membiarkannya masuk.
"Maafin gue," kata perempuan itu. "Gue cuma takut. Jadi, gue ngelihatin aja dari jauh."
"Kenapa, Kak?" tanya Tala penasaran.
"Jadi, tadi gue ngikutin Noni Belanda yang cantik. Lama-lama itu hantu menampakkan wajahnya yang menyeramkan, gue teriak-teriak ketakutan sambil lari. Ada dia ngelihat, tapi nggak nolongin," jelas Amerta sambil menunjukkan raut wajah kesal.
"Oh, maafin aja, Kak. Lagipula dia juga pasti ketakutan. Bahaya juga kalau dibawa sama Noni, dia masih hidup."
"Lo tahu gue bukan hantu?"
Tala mengangguk sebagai jawaban. "Nama Kakak siapa?"
"Frisca, gue tinggal nggak jauh dari taman bermain."
"Kenapa Kakak melakukan astral projection?"
"Pengin main di luar rumah. Mama sama Papa ngelarang gue keluar rumah karena katanya gue aneh. Gue punya banyak temen hantu dan sering gue ajak main. Mereka nyangkanya gue gila."
Amerta merasa iba ketika mendengar cerita Frisca. Namun, ia masih kesal juga. "Ya udah, gue maafin. Lo boleh pergi dan main lagi sama temen-temen lo."
"Kak Amerta, jangan main usir," bisik Tala.
"Gue nggak mau main sama dia. Kayak bocah aja main-main."
"Iya, tapi nggak gitu ngusirnya. Dia lagi sedih dan kayak butuh temen."
"Terserah." Amerta memilih menghilang dan kembali ke niat awalnya untuk menginap di markas Djenar.
"Dia masih marah?" tanya Frisca.
"Nggak. Dia emang kayak gitu, kok."
Beberapa minggu bersama Amerta, Tala menjadi tahu karakter hantu itu. Dia sangat kekanak-kanakan dan egois. Emosian juga kayak perempuan yang lagi datang bulan.
"Sebenernya tadi gue ngikutin dia karena wajahnya nggak asing. Kayak pernah bertemu di suatu tempat."
"Kapan?"
"Beberapa bulan lalu. Dia lagi jalan kaki sepulang sekolah, terus tiba-tiba dibawa paksa sama cowok yang sepertinya temannya karena seragam mereka sama."
"Kamu beneran ngelihat dia? Siapa cowoknya?"
"Gue nggak bisa lihat jelas karena dia pake helm."
"Name tag di seragamnya? Lo lihat?"
"Sebentar." Frisca mencoba mengingat kejadian beberapa bulan lalu. "Namanya Johan. Ya, Johan Agung."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top