Bab 1: Hantu Berseragam SMA

Awal semester gasal tahun pelajaran 2018-2019.

Kucing berwarna putih yang berada di gendongan cewek bersurai panjang tiba-tiba menunjukkan gelagat aneh. Pandangan matanya terlalu lama menatap ke arah belakang si penggendong. Kemudian, binatang lucu itu mengeong, tampak sangat gelisah.

"Ah, dia datang lagi," gumam Bentala, atau lebih akrab dipanggil Tala oleh teman-teman sekolahnya. Ia melepaskan si kucing setelah hidungnya mencium aroma aneh yang sangat menusuk. Hawa di sekitarnya yang semula normal kini terasa panas. Bulu kuduk Tala meremang. Meski ini bukan pertama kalinya ia didatangi hantu, tetap saja ia tak bisa bersikap tenang. Apalagi yang mendatanginya kali ini adalah hantu yang ingin menuntaskan dendam. Ia harus hati-hati, karena biasanya hantu yang memiliki dendam bisa melukai.

"Jangan menghindar lagi!" teriak hantu itu. Terpaksa Tala membalikkan badan. Mata hitamnya bertemu dengan sorot tajam milik hantu laki-laki di hadapannya. "Nah, kamu memang bisa melihatku. Kenapa kemarin susah payah pura-pura tak lihat?"

Tala mengembuskan napas kasar. Ya, sejak kecil Tala bisa melihat hantu, bahkan berkomunikasi dengan mereka. Dulu, Tala pikir teman-temannya adalah manusia, makanya ia senang bermain ayunan bersama mereka di taman. Ia sangat terpukul saat diberitahu Ibu Wati--pemilik panti asuhan tempat ia tinggal--bahwa mereka tak nyata. Teman masa kecil Tala adalah anak-anak panti yang meninggal akibat kebakaran di panti pada tahun 1990. Mereka tak bisa pulang ke akhirat entah karena apa. Tala tak begitu paham soal cara kerja semesta. Yang ia tahu, arwah yang belum bisa meninggalkan kehidupan dunia, mereka berarti masih memiliki urusan.

Seperti hantu laki-laki ini, dari kemarin ia mengganggu Tala karena ingin meminta bantuannya.

Jangan berhubungan lagi dengan mereka, Tala. Mereka berbahaya.

Tiba-tiba ucapan Ibu Wati terngiang di pikirannya. Ibu Wati amat khawatir saat mengetahui Tala memiliki kelebihan. Wanita paruh baya itu sampai memanggil Pak Ustadz untuk menutup mata batin Tala. Tetapi, itu tidak berhasil. Tala masih bisa merasakan kehadiran mereka. Ia masih bisa melihat teman-teman tak kasat matanya.

Tala merasa kemampuannya bukanlah keistimewaan. Ini terasa seperti kutukan. Sejak memutuskan untuk menjauhi mereka, Tala sering diganggu. Ia tak pernah bisa tidur nyenyak karena suara-suara mereka di tengah malam terdengar sangat nyaring. Saat pergi ke sekolah, barulah ia bisa merasa tenang. Mereka tak mengikutinya karena enggan meninggalkan taman bermain.

Tala selalu berusaha menutupi kemampuannya. Namun, ia tak bisa menutupi kekagetannya saat berpapasan dengan mereka di jalan. Ia selalu menghindar saat tiba-tiba ada hantu di depannya. Hal itulah yang menyebabkan beberapa hantu tahu Tala bisa melihat mereka. Seperti hantu yang satu ini. Kemarin, saat Tala hendak ke sekolah, ia mengambil jalan yang lebih jauh karena melihat hantu laki-laki itu tiduran di gang sempit tempat biasa Tala lewat. Ia tak mau menginjak tubuh hantu itu. Namun, keputusan Tala malah membuatnya menyesal. Karena si hantu kini mengikutinya terus.

"Berhenti mengikutiku," ucap Tala dengan suara pelan. Namun, si hantu tentu saja mendengarnya.

"Aku cuma mau meminta bantuanmu. Sekali ini saja!" Laki-laki itu menyatukan kedua tangan, memohon pada Tala. "Namaku Ujang. Aku mau kamu membantuku mencari Tantri."

"Siapa Tantri?"

"Orang yang membunuhku."

Kemudian, mengalirlah cerita Ujang. Dia mengatakan ditabrak lari oleh pemilik BMW hitam milik Tantri. Ia ingin menuntaskan dendam. Karena Tantri, Ujang tak bisa menghidupi keluarganya dan saat ini mereka luntang-lantung di jalanan.

"Lalu, setelah aku menemukan Tantri?"

"Bantu aku membunuhnya."

Tala tertegun. Membunuh manusia? Menepuk nyamuk saja yang sering mengganggungnya ia merasa kasihan, apalagi harus membunuh manusia. Ia tak seberani itu.

"Minta bantuanlah sama orang lain," tukas Tala. "Jangan ikuti aku. Atau mau aku adukan ke genderuwo di sana?" Tala menunjuk pohon mangga yang amat besar dan berbuah lebat. Di sana makhluk besar berbulu yang memiliki dua tanduk di kepalanya sedang mengawasi Tala. "Dia temanku. Aku bisa saja menyuruhnya melemparmu ke akhirat sekarang."

Tentu saja perkataan Tala adalah kebohongan. Ia sama sekali tak berteman dengan makhluk mengerikan itu. Tala hanya pernah membantunya sekali.

Saat itu, Pak Ikhac ingin menebang pohon mangganya karena banyak bocah yang sering naik untuk mencuri mangga. Lelaki itu bukan pelit karena mangganya diambil, tetapi ia enggan bertanggungjawab bila bocah-bocah itu terjatuh dari atas. Sudah rugi mangga, rugi biaya pengobatan pula. Pak Ikhac sudah menyiapkan tukang untuk memulai eksekusinya. Dengan heroik, Tala datang dan menghentikan para tukang Pak Ikhac. Ia melakukan tindakan itu karena takut genderuwonya berkeliaran. Atau lebih parahnya, makhluk itu menyengsarakan Pak Ikhac karena sudah menghancurkan tempatnya.

Akhirnya dengan berbagai alasan, Tala mengusulkan untuk memagari saja area sekitar pohon mangga agar tak ada orang lain masuk. Pak Ikhac pun setuju. Genderuwo itu merasa berhutang budi pada Tala. Ia selalu memerhatikan Tala setiap akan berangkat dan pulang sekolah. Ia memastikan tak ada yang mengikuti Tala. Mungkin ini salah satu keuntungan bisa melihat hantu dari sekian banyak kerugiannya.

Usai digertak, arwah laki-laki itu menghilang dalam sekejap. Tala mengembuskan napas lega.

***

Hal pertama yang gadis itu lihat ketika membuka mata adalah langit biru yang begitu cerah. Ia segera bangkit dari posisi tidurnya dan merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Terasa ringan bagai kapas. Gadis dengan seragam lusuh itu memerhatikan keadaan sekitar. Rupanya ia tengah berada di atap gedung IPS. Ia lekas membenarkan tatanan rambutnya. Name tag bertuliskan Amerta Renjana di dada kanan segera ia betulkan posisinya. Seharusnya ia sudah mengikuti upacara kelulusan hari ini.

Amerta mendekati pembatas atap untuk melihat suasana di bawah sana. Barisan siswa yang sedang melakukan upacara terpampang jelas. Gadis itu yakin sudah terlambat untuk ikut serta.

Gadis cantik itu segera berbalik. Namun, belum sempat melangkah ia dikejutkan dengan sosok perempuan berbaju putih. Rambutnya menjuntai hingga mata kaki. Wajah perempuan itu pucat dan terdapat luka di lehernya. Seperti habis dililit tambang. Apakah dia hantu yang gantung diri?

Gadis itu mempertanyakan kemampuan anehnya, sejak kapan ia bisa melihat makhluk tak berwujud?

"Penghuni baru? Siapa namanya?" tanya kuntilanak itu dengan tatapan mengintimidasi. Jujur saja, Amerta saat ini ketakutan. Ia baru pertama kali melihat hantu secara langsung. Amerta juga bisa mendengar suara melengkingnya yang sangat menganggu gendang telinga.

"A-amerta." Amerta terbata. Pandangannya tak lepas dari kuku si kuntilanak yang panjangnya sudah melebihi jari telunjuknya. Amerta khawatir sewaktu-waktu dicakar dan dibunuh oleh kuntilanak tersebut.

"Selamat datang. Sepertinya saya harus menjamu kamu malam ini."

Amerta tak paham dengan maksud si kuntilanak ini. Makanya ia tak menjawab. Amerta hanya ingin berlari sebelum dicekik olehnya.

"Kenapa? Kamu takut lihat saya?"

Yah, pakai ditanya! Amerta membatin.

"Hantu masa takut sama hantu!"

Rasanya bagai disambar petir saat mendengar ucapan kuntilanak ini. Ayolah, Amerta masih berusia 18 tahun. Ia belum meninggal. Mengapa harus repot-repot menjelma hantu?

"Mentang-mentang Anda hantu, bisa bilang begitu sama manusia." Ketakutan di wajah Amerta seketika musnah, digantikan dengan raut kesal.

"Nggak aneh, sih. Saya dulu juga nggak terima dibilang hantu." Kuntilanak itu memainkan kuku-kukunya yang panjang. "Tapi, kalau kamu nggak percaya, coba tanya teman-temanmu yang di bawah sana. Mereka pasti nggak akan lihat kamu."

Amerta segera berlari menuruni banyak sekali anak tangga. Ia melewati gedung IPS dan segera mendekat ke arah kerumunan siswa yang sedang mendengarkan pembina upacara memberi nasihat panjang lebar.

"Hai, lo bisa lihat gue?" Amerta melambaikan tangan di depan pemimpin upacara. Laki-laki itu tetap fokus ke depan. Seolah lambaian Amerta hanyalan angin lalu.

Kini gadis berseragam SMA itu gusar. Ia kembali berputar-putar di area lapangan supaya menarik perhatian. Ia juga berteriak sekeras-kerasnya supaya mereka dengar. Namun, hasilnya nihil. Amerta bagaikan manusia tembus pandang yang tak dapat dilihat oleh indra penglihatan.

Setelah lelah berkeliling di antara ratusan siswa sambil mengajak mereka bicara, akhirnya Amerta menyerah. Ia berjongkok dan menangis.

"Jadi, gue beneran udah mati?"

Amerta memukul kepalanya. Bisa-bisanya ia tak menyimpan kenangan tentang bagaimana ia mati. Memori otaknya hanya menyimpan kejadian membahagiakan bersama orang-orang yang dicintainya. Dan kini ia teringat sang ayah. Bagaimana perasaan lelaki itu bila mengetahui anaknya sudah tak bernyawa? Ia tak bisa membayangkan bagaimana terpukulnya sang ayah. Ditambah dengan lekaki itu tak lagi memiliki siapa-siapa selain Amerta.

Usai puas menangis, Amerta mengangkat kepala. Di arah pukul enam, ia merasa ada yang sedang memerhatikan. Tatapan Amerta bertemu dengan pemilik manik cokelat itu. Sedetik kemudian, gadis yang ditatapnya memalingkan wajah. Dengan gesit Amerta meghampirinya. Ia memegang tangan orang yang mampu melihatnya.

"Lo bisa lihat gue, kan?" tanya Amerta dengan lantang.

Hening beberapa saat. Tatapan Amerta tak lepas dari manik cokelat gadis bersurai panjang di depannya. Ia ingin segera mendapat jawaban.

"I-iya, aku bisa lihat hantu."

***

Note : Aku menerima kritik dan saran dari pembaca. Silakan, tak usah sungkan untuk memenuhi kolom komentar😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top