[9]. Berpikir Logis di Atas Tawaran Manis
Halo, selamat malam! 🥰
Masih setia dukung cerita ini, ya?
Jangan lupa vote dan happy reading! 🥳
Terima kasih. 🥰🤗
====🌸🌸🌸====
Ada yang udah rela pakai cincin kawin demi dapat cinta Mas Akbar--eh, izin pergi nonton maksudnya! 🤣
====🌸🌸🌸====
Bi Yuyun sudah sibuk di dapur pada pukul tujuh pagi. Wanita tua itu adalah asisten setia sang mama. Meski Akbar sempat meninggalkan rumah ini selama beberapa tahun, Bi Yuyun dan suaminya rutin berkunjung ke rumah ini. Setidaknya setiap seminggu sekali saat rumah kosong dan Akbar hanya sesekali pulang. Hampir tujuh tahun lamanya laki-laki itu lebih nyaman berlindung di rumah Kakek Abdullah--ayah dari sang mama.
Baru setelah ia bergabung dalam tim Hadinata Studio dan menjadi karyawan tetap, Akbar mulai kembali menempati rumah ini. Rumah masa kecil penuh kenangan manis. Manis sampai pada akhirnya berubah ketika kecelakaan itu terjadi dan merenggut Mama. Papa menikah lagi, memiliki keluarga baru, lalu melupakan keberadaan Akbar.
"Baru pulang lari pagi, Mas?" tanya Bi Yuyun membuyarkan lamunan.
Akbar menghela napas sesaknya dan mengangguk. Laki-laki itu melepas running shoes putih bergaris hitam di sisi kanan dan kiri. Ia bangkit dari sofa yang sempat diduduki demi melepas lelah usai berlari mengelilingi jogging track di tempat biasa ia berolahraga.
"Raya belum bangun, Bi?" tanyanya sembari meraih gelas bersih lalu mengisinya dengan air putih.
"Belum turun dari tadi, Mas." Wanita paruh baya berciput hijau tua itu menyahut sambil memindahkan sup ayam dari panci ke dalam mangkuk.
Mendengar penuturan Bi Yuyun, Akbar menengadah. Ia tarik napas panjang demi mengumpulkan kesabaran seluas lautan. Langkah jenjangnya beranjak meninggalkan nikmatnya aroma dapur dengan aneka sarapan yang seharusnya segera ia santap. Kaki panjang laki-laki yang mengenakan setelan kaus putih dan joger sport abu-abu misty itu menaiki anak tangga. Saking jengkelnya, air dalam gelas yang belum sempat ia minum sedikit tumpah membasahi punggung tangan kanan.
Tepat seperti dugaannya. Gadis manja berbalut kaus milik Akbar itu masih bergelung malas di balik selimut, sementara alarm ponsel di nakas berdenting-denting berisik. Akbar meletakkan gelas air minum ke atas meja dekat jendela, menghampir layar benda pipih yang terus berisik, dan menggulir ikon mematikan alarm bangun pagi.
"Raya," panggilnya sembari menoel pipi gadis itu.
"Hmm, lima menit lagi," gumam Raya tak jelas. Ia menggeliat, memeluk bantal semakin erat.
"Lima menit gimana? Dari tadi setengah lima aku bangunin buat pergi mandi. Aku balik dari musala masih melungker kayak uler di kasur. Aku pulang joging tetep belum bangun dan itu sajadah masih utuh kelipet rapi."
Gadis itu setengah bangkit, mengucek mata karena silau. "Iya ... aku salat, kok ... pas ... lebaran."
Bola mata laki-laki yang tengah berdiri di dekat ranjang itu berputar malas. "Pergi mandi. Aku hitung sampai tiga. Hitungan ketiga nggak pergi mandi, nggak ada uang jajan hari ini. Satu ...!"
Mendengar kalimat tak ada uang jajan sontak memberikan ancaman yang membuat gadis itu terbelalak. Ia meninggalkan selimut dan seprai yang acak-acakan sambil berlari turun dari atas tempat tidur.
Berhasil dan Akbar tersenyum samar. Ia menarik kursi di dekat meja untuk duduk. Gelas berisi air putih itu hampir menyentuh bibir Akbar ketika pintu kamar mandi kembali terbuka. Raya keluar lagi dengan cengiran lebar menyebalkan.
"Kenapa balik lagi?" Akbar menatap galak.
Raya bergeser ke dekat lemari. "Ambil baju gantilah. Ada Mas Akbar di sini. Enak aja mau ganti baju sembarangan," gumamnya lirih sambil memalingkan wajah.
Meski gadis itu cepat-cepat berbalik, Akbar masih sempat menemukan semu merah di kedua pipinya. Lagi, laki-laki itu tersenyum samar. "Apaan, udah pernah pegang sama liat dikit semalam juga," katanya lirih sebelum benar-benar menghabiskan sisa air putihnya.
***
Enggaaaaak! Nggak ngapa-ngapain! Meski Akbar tergolong laki-laki ganteng sejagat raya versi Raya, gadis itu masih bisa menahan diri. Sumpah, enggak! Cuma raba-raba ajaaa!
Oh, sudahlah! Lagi pula buat apa memikirkan perasaan pacarnya yang tak tahu diuntung itu? Biarkan saja kalau nanti ia dituding berkhianat karena menikah dengan pria lain. Bagas yang memulai. Raya masih ingat di tahun pertama jadian, cowok itu ketahuan pergi bergandengan dengan Ana--mahasiswi baru di kampus. Di tahun kedua ketahuan pergi ke kelab malam bersama Susi--mahasiswi jurusan hukum. Dan masih banyak perempuan-perempuan lain.
Masalahnya, setiap kali Raya menuntut keadilan atas kelakuan sinting cowok tukang selingkuh itu, Bagas selalu pandai bersilat lidah. "Dari awal aku udah bilang gimana buruknya aku. Aku cuma sedang mengabulkan permintaanmu, menjalin hubungan yang bersih. Sementara kamu tahu sendiri, aku nggak bisa nikahin kamu dalam waktu dekat. Aku mau kamu lulus dan berkarier sesuai mimpimu." Begitu terus katanya.
Ketika Raya mau putus, Bagas gencar minta maaf, minta kesempatan. Katanya, "Aku bisa hancur tanpa kamu, Ray."
Setahun terakhir memang sudah tak ada lagi kabar miring Bagas jalan dengan siapa di belakang Raya. Tampak tenang meski bukan berarti tanpa masalah. Buktinya, komunikasi semakin jarang. Alasannya? Bagas tersinggung karena lagi-lagi Raya menolak diajak bercinta dengannya.
Ketika Raya mengajaknya bertemu untuk bicara, Cindy dan Nadia malah memberi wejangan, mengantarnya ke minimarket beli kontrasepsi. Kata Cindy, "Buat jaga-jaga karena Bagas udah sering nekat."
Konyolnya, sore hari saat minta izin Ayah mau pergi menemui Bagas, kondom itu jatuh ketika Raya merogoh saku tas untuk meminjamkan pena pada sang ayah. Sialnya lagi, benda itu jatuh tepat di dekat kaki Akbar yang tengah menunggu Hadinata menandatangani sesuatu pada lembaran kertas di atas meja.
Raya malu, cemas, takut, dan hampir gila. Ayah memang bukan tipe laki-laki yang hobi membentak-bentak putrinya di depan orang lain. Jadi, waktu itu Hadinata hanya mengembuskan napas panjang, memijit pelipis sejenak, sementara Akbar meraih sebungkus kontrasepsi di lantai dekat kakinya yang berbalut sneakers putih.
"Mas Akbar, tolong gantikan saya di acara meeting nanti. Raya, ikut Ayah pulang. Ayah mau bicara."
Begitulah cerita bagaimana awal mula pernikahan itu diatur. Jadi, Raya tak akan lagi ambil pusing. Persetan kalau nanti Bagas menuduhnya sebagai perempuan sok suci dan berkhianat menikahi pria lain di belakangnya. Bagas yang memulai. Cowok itu yang mengajarkannya mencari celah keuntungan. Salah sendiri Bagas tak memberikan perhatian dan perlindungan. Tak salah, kan, kalau ia terima tawaran perhatian dan perlindungan dari laki-laki lain? Bukankah sama halnya dengan Bagas yang mencari kesenangan di atas ranjang dengan perempuan lain karena Raya tak mau memberikan itu?
"Raya, mau sarapan di kamar apa turun ke bawah?!" Suara panggilan itu terdengar dari luar kamar. Suara Akbar.
Raya buru-buru mematikan pengering rambut. Ia gegas menuju pintu, melongokkan kepala sedikit. Laki-laki itu terlihat sedang duduk di balkon, menyantap selembar roti gandum ditemani secangkir kopi.
Gadis yang telah berganti dengan blus hijau berbahan sifon yang lembut itu mendekat. "Mas Akbar udah sarapan emang?"
Akbar hanya mengedikan kepala ke arah piring berisi dua lembar roti gandum. "Kalau mau sarapan lain, di bawah ada sup ayam."
Raya menggeleng. Ia masih belum menyerah sebenarnya. Mau minta izin lagi pelan-pelan. Jadi, ia sama meraih selembar roti dan mengamati suami Bi Yuyun yang sedang membersihkan halaman depan dari balkon.
"Udah boleh belum?"
"Apanya?" Akbar bertanya setelah menyesap sekali kopi hitam dalam cangkir.
"Pergi ... nonton nanti malam." Raya mengunyah pelan makanan berbahan dasar tepung dan telur dalam mulut.
"Perjanjiannya udah kamu tepatin belum?"
Raya cepat-cepat menunjukkan jari manisnya. "Nih, aku pakai! Nggak akan aku lepas lagi!" janjinya.
Cincin emas putih itu melingkar manis. Raya sebenarnya menyukai cincin kawin itu. Jatuh cinta pada pandangan pertama karena bentuknya yang sederhana. Namun, karena pertengkaran dan bendera perang dengan Ayah belum padam, Raya melepas cincin pemberian Akbar begitu sampai di rumah ini dan meletakkannya begitu saja di meja kamar.
Semalam, cincin itu berhasil Akbar sematkan lagi, entah kapan pastinya. Yang jelas begitu mereka selesai beradu panasnya candu di antara kedua bibir, benda itu sudah melingkar lagi dengan cantik di jari manis Raya.
Oh, my .... Raya berdeham, menyembunyikan pipi yang memanas dan memerah dengan memalingkan wajah. Ia jadi canggung sendiri, bahkan kunyahan roti saja sampai sulit ditelan.
"Rencana selanjutnya?" Akbar memastikan lagi.
"Begitu ketemu Bagas, langsung minta putus. Iyain dulu, ya?" Raya membujuk.
Akbar mengangguk-angguk. "Tetap aku antar. Aku pulang awal nanti sore. Nggak ada tapi. Uang jajan ambil sendiri di dompet. Aku pergi mandi dulu."
Raya melongo. Ada jengkel yang tertahan di dada. Namun, emosi itu remuk redam begitu laki-laki itu bangkit dari duduk, mendekat padanya, lalu membungkuk demi melekatkan satu kecup singkat di puncak kepala.
Aduh, mau marah, kok, jadi susah! Raya menggerutu dalam hati.
Entah kenapa, ia malah suka dengan hidup barunya. Ia tidak keberatan pergi bersama suaminya. Pun sepertinya, ia sama sekali tak keberatan meninggalkan Bagas secepatnya.
***
(18-01-2024)
====🌸🌸🌸====
Nah, berantakan nggak nih plotnya? Aku kejar update-an dulu, ya. Entar kalau ada yang bolong plotnya, semisal cerita ini kepilih aku tambahin part ke bukunya nanti. Semisal nggak kepilih, aku tambahin hidden part di e-book-nya nanti.
Kalian lebih nyaman mana? Baca e-book atau buku cetak?
Jangan lupa vote. Jangan lupa komen dan jangan lupa follow Instagram aku buat baca AU cerita ini. Next AU aku bikin besok siang, ya. Tungguin di Instagram, ya.
Terima kasih. 🤗🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top