[7]. Sang Pewaris Mencari Kerja
Hai, apa kabar?
Nggak keburu lagi, Gais. Udah libur 2 hari kemarin. Jatah update makin numpuk. 🥲
Maafkan kalau part ini misal ada yang janggal, ya. Entar aku beresin pas kelar event. 🥲
Doain aku kuat sampai event berakhir. 🥲
Happy reading, jangan lupa vote. Terima kasih. 🥰🤗
====🌸🌸🌸====
Permisi, yang lagi ngambek mau lewat! 🚙🚙🚙
😆😆
====🌸🌸🌸====
Awan mendung mulai bergulung menutupi langit kota. Angin berhawa lembap bertiup samar ketika Akbar turun dari Fortuner hitamnya, berjalan sekitar sepuluh meter dari tempat mobilnya terparkir di dekat trotoar jalan raya. Ia berhenti di depan sebuah gang, menunggu sejenak seraya melepas jaket. Pandangan beriris kelam itu mengedar, mencari keberadaan Raya. Ia hampir menelepon kembali ketika sosok itu keluar dari sebuah gang sempit sembari berlari-lari kecil.
Laki-laki itu menyerahkan jaket miliknya pada Raya sebelum berjalan mendahului.
Gadis itu mengekori Akbar dengan langkah gontai. Dua alisnya masih saling bertaut, sementara pipinya menggembung. Ada kerut di bibir Raya yang mengerucut lucu, meski Akbar tahu persis gadis di belakangnya sedang merajuk.
Pagi tadi Akbar sempat kelimpungan mencari-cari Raya. Gadis itu pergi tanpa pamit. Ia pikir mungkin yang semalam membuatnya marah. Laki-laki itu bisa memaklumi dan minta maaf. Meski sebenarnya Akbar merasa tidak ada yang salah. Sebab yang terjadi semalam, saat laki-laki itu mencoba mendekat dengan melekatkan bibir keduanya, sudah jelas bukan kesalahan. Benar, kan?
Lalu, keduanya masih bisa saling berbalas pesan seperti biasa. Sampai akhirnya drama izin pergi nonton itu tercetus melalui pesan WhatsApp. Tentu saja Akbar mengizinkannya, tapi dengan syarat. Akbar mau ia sendiri yang mengantar Raya.
Gadis itu menolak mentah-mentah. Ia mengoceh tak berkesudahan, merasa terkekang, merasa terbebani dengan status istri tanpa kemandirian finansial--ke mana-mana harus minta persetujuan suami. Padahal Akbar sedang memudahkannya. Akbar mau mengantarnya sendiri, memastikan gadis itu baik-baik saja meski sesungguhnya, laki-laki itu tahu setidak sehat apa hubungan persahabatan mereka.
"Jangan mentang-mentang sekarang Mas Akbar udah jadi suami dan kasih nafkah ke aku, terus merasa berhak ngatur-ngatur hidup Raya, dong. Kalau gitu mending aku kerja aja, deh! Biar nggak terbebani tiap mau pergi hang out karena pakai uang suami."
Kalimat pedas itu meluncur. Namun, masih tak cukup mematahkan ketenangan laki-laki itu. Sudah biasa. Belum seberapa dengan deretan-deretan kalimat perjanjian tak masuk akal Raya yang sampai sekarang entah di mana rimbanya itu kertas. Akbar lupa, pun Raya tak pernah mengungkitnya lagi.
"Mas Akbar kenapa nggak suka aku bergaul sama Cindy dan Nadia, sih?" Lagi, gadis itu masih berusaha protes, mengusik ketegasan Akbar dengan keputusan semula.
"Kamu lupa siapa yang bikin Ayah minta kamu cepet-cepet nikah?"
Gadis itu mengerjap. "Ya ... ya, memang gara-gara mereka. Konyol banget nyaranin bawa-bawa kon--shit! Males aku bahasnya!" Raya mengumpat. "Tapi sumpah aku nggak pake barang itu. Mas Akbar tahu sendiri waktu aku nggak sengaja jatuhin itu dari saku tasku di depan Mas Akbar sama Ayah, kan? Masih utuh itu bungkusnya. Sumpah!"
Ini kenapa jadi bahas penegasan belum pernah pakai kontrasepsi pria, ya? Kenapa random begini omongannya?
Raya masih berusaha menjelaskan begitu masuk ke mobil. Akbar masih mau dengar sambil memasangkan sabuk pengaman.
"Ya, kan? Inget, kan? Masih tersegel rapat itu!"
Akbar mengedikkan bahu tak acuh. "Mana aku tahu."
"Ya ... ya, harus tahu pokoknya! Ini aku kasih tahu lagi. Mau menegaskan bahwa meski dua temanku nggak beres, aku masih bisa jaga diri."
Diam beberapa menit. Mobil itu berjalan perlahan menembus hujan yang mulai turun rintik-rintik. Tepat ketika Akbar memijak rem di perempatan jalan, gadis itu menoleh padanya lagi.
"Jadi, dibolehin ikut nonton tanpa diantar Mas Akbar nggak nih?" tawarnya sekali lagi.
Akbar mengembuskan napas panjang dan menjawab, "Nggak."
"Maaasss! Nggak asyik, ah!"
***
"Raya boleh kerja di sini, Yah? Ada lowongan nggak?" Gadis itu mencetuskan pertanyaan itu tiba-tiba begitu sampai di ruang rapat yang telah kosong.
Hanya ada Hadinata, putrinya, dan Akbar di sana. Meja panjang di hadapan laki-laki berkacamata plus itu tampak berantakan dengan gambar desain sofa bergaya skandinavia yang terlihat elegan dengan kain warna abu-abu, beberapa maket interior, dan drawing tube. Setengah jam yang lalu--sebelum Akbar pergi menjemput si gadis manja yang terus berisik mencari celah pergi nonton--Hadinata dan seluruh tim baru selesai mengadakan rapat.
Akbar pergi menjemput Raya setelah rapat ditutup.
"Kerja?" Hadinata memalingkan perhatian dari sederet gambar sketsa buatan Akbar ke arah putri semata wayangnya. Ia kemudian berganti menatap Akbar yang tengah membereskan beberapa sketsa untuk digulung lalu dimasukkan ke dalam drawing tube. "Ada angin apa anak manja ini minta kerja?" tanya sembari mengedikkan dagu ke arah Raya.
Akbar hanya tersenyum tipis kemudian mengedik, pura-pura tidak tahu.
"Yaaa, aku juga mau berkarier, Yah. Jadi wanita mandiri biar nggak ngerepotin suami. Ya, kan, Mas?!" Raya memasang senyum lebar dibuat-buat. Namun, ada tatap permohonan kerja sama.
Gadis itu seperti mau bilang, "Iya-in aja, sih, Mas! Tolong kerja samanya!"
Namun, Akbar hanya menanggapi, "Enggak, kok, enggak repot. Kalau cuma mau jajan es sama pop corn aku ada. Aku anterin sampai tempatnya malah. Enggak keberatan. Buat kamu, apa, sih, yang enggak?"
Raya menggeram sebal. Kepala gadis yang sejak turun dari mobil itu dipaksa mengenakan jaket Akbar itu menengadah. Ia juga sempat memutar bola matanya sebelum beranjak meninggalkan sang ayah dan suami.
Sepeninggalan Raya, Akbar dan Hadinata terkikik geli. Tanpa sepengetahuannya, dua laki-laki itu saling beradu tinju tangan kanan. Kerja sama yang bagus antara menantu dan mertua tercipta sejak tangan mereka berjabatan di meja akad beberapa hari lalu.
"Kamu pasti kerepotan ngurusin anak manja Ayah, ya? Pergaulannya suka bikin orang tua khawatir," celetuk Hadinata sembari meraih cangkir teh yang isinya tinggal separuh.
Akbar tersenyum tipis. "Kadang, tapi nggak papa. Ayah sehat hari ini?"
Laki-laki berhias rambut kelabu di kepala itu mengembuskan napas panjang, bersandar ke kursi seraya mengusap-usap dada sejenak. "Lebih baik karena nggak harus tiap hari pasang urat ngurusin Raya."
Lagi, mereka terkikik geli. Namun, beberapa detik kemudian keheningan tercipta. Hadinata mengedarkan pandangan, menatap seisi ruangan yang dipenuhi maket interior di sepanjang meja yang merapat ke dinding. Laki-laki itu bangkit dari kursi, mendekat ke arah dinding kaca, menatap sendu pada kubikel-kubikel karyawan di bawah sana.
"Liat Raya yang begitu, Ayah jadi nggak yakin Hadinata Studio aman di tangannya." Laki-laki berjas biru tua itu tersenyum pasrah. "Boro-boro mikirin masa depan perusahaan ini, mikirin masa depannya sendiri saja nggak pernah."
Akbar tak angkat bicara sampai ia selesai dengan kegiatannya menggulung kertas-kertas sketsa ke dalam wadah tabung miliknya. "Tapi saya percaya Raya bisa. Cuma butuh waktu." Ia tersenyum kemudian.
Hadinata menghela napas putus asa seraya mengibas-ngibaskan tangan di udara dan kembali duduk. "Ya, ya, ya. Itu sebab Ayah percaya cuma kamu yang bisa pegangin dia biar nggak malah bikin Hadinata Studio ambruk kalau Ayah sudah berpulang nanti."
"Mas Akbar! Lama, ih!" Kepala gadis itu menyembul di antara daun pintu. "Katanya cuma sebentar terus antar aku pulang."
Obrolan penting itu terjeda. Akbar paham, Hadinata tak pernah suka putrinya mendengar fakta bahwa sebenarnya, gadis itu sedang berdiri di atas puing-puing kerajaan bisnis yang sedang berusaha ayahnya satukan kembali. Hadinata Studio hampir mati, setidaknya sejak pesaing bisnis mulai berusaha menginjak dan menyingkirkannya.
***
(13-02-2024)
====🌸🌸🌸====
Oke, mulai ada titik-titik konflik yang bakal ditarik jadi benang merah. Mulai dari sebenarnya Hadinata Studio udah mau bangkrut.
See you on next part. Nggak tahu ini bakal berhasil ikut alur event atau nggak, yang penting tulis aja dulu. 😬
Tetep semangatin, ya. Eh, udah vote?
Terima kasih. Happy holiday, ya! 🤗🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top