[11]. Laki-Laki Kesepian

Hai, apa kabar?

Ini Wattpad udah baikan belum? Kok, part 10 kemarin masih sepi, ya? 🥺

Makasih atas dukungannya. Jangan lupa vote lagi, ya. 🥰🤗

Happy reading! 🥳

====🌸🌸🌸====


Permisi, ada yang mau ngejar kasih sayang istri pake cara ugal-ugalan! Mau udah putus sama pacarnya kek, udah kek, nggak peduli katanya. 😂

====🌸🌸🌸====


"Sudah meninggal, Non. Kalau nggak salah inget dulu Mas Akbar masih duduk di kelas empat SD waktu mamanya meninggal." Bi Yuyun bercerita sembari mengaduk teh pelan-pelan.

Raya tertegun. Gadis yang tengah menggigit macaron berwarna biru muda itu mulanya hanya ingin mengenal lebih jauh tentang latar belakang suaminya lewat Bi Yuyun. Mengingat Bi Yuyun tadi sempat bercerita kalau sudah bekerja menjadi ART di sini secara turun temurun.

Akbar tengah pergi ke luar kota bersama tim dari Hadinata Studio--meninjau proyek renovasi sebuah vila. Raya tak mau sendiri, jadi Bi Yuyun rela bermalam menemani istri majikannya. Laki-laki itu masih sempat mencurahkan perhatian dengan memesankan kudapan manis via online dan diantar ke rumah sore tadi.

Dua sahabatnya sedang susah dihubungi. Raya pikir, turun ke dapur dan mengajak Bi Yuyun ngobrol cukup membuang sepi. Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari rencana belajar masak lagi sampai berujung kekepoan Raya tentang keluarga Akbar.

Gadis berpiama karakter Minnie Mouse itu masih ingat, sewaktu akad tak banyak tamu yang hadir. Yang sangat mencolok, Akbar hanya ditemani kakek, nenek, dan sepupu laki-lakinya beserta istri. Oh, ada satu gadis cilik, mungkin anaknya si sepupu itu. Waktu itu Raya masih terlampau gusar dan enggan menerima pernikahan itu.

"Yang nggak habis pikir, ya, Non, ampuuun, istri kedua Bapak tuh galaknya melebihi ibu tiri Bawang Putih. Nggak pernah tuh kasih perhatian sama Mas Akbar. Malah suka ngadu-ngadu yang nggak bener, padahal anak kandungnya yang kurang ajar. Huh, kesel Bibi, Non!" Bi Yiyun mendengkus sebal.

"O-oh, papanya Mas Akbar nikah lagi?" Raya meletakkan macaron yang sudah ia gigit separuh ke atas tatakan teh.

"Entah itu ceritanya gimana wong pas habis pemakaman, si Bapak bawa istri baru sama anak kecil." Kali ini Bi Yuyun bercerita sambil mengeringkan piring basah dengan lap kering.

"Papanya Mas Akbar galak gimana maksudnya tadi?"

"Waktu SMA Mas Akbar berubah, Non. Ada aja panggilan dari guru BK. Bapak jadi sering marah, tapi marahnya ngeri. Masa anak sendiri sampai dikurung di kamar mandi setengah hari. Pernah juga dilemparin asbak, kena bahu sampe biru. Bibi yang obatin malam itu." Bi Yuyun berdesis ngeri.

Raya sama berdesis ngeri. Pasti sakit sekali. Bukan hanya luka lemparan benda keras di bahunya, tapi perasaan Akbar juga terluka.

"Jujur Bibi seneng setelah Mas Akbar kerja sama Pak Hadinata, Mas Akbar jadi banyak senyum. Bibi juga seneng ada Non Raya di sini. Rumah jadi nggak sepi, Mas Akbar jadi nggak kesepian lagi." Perempuan tua itu tersenyum lalu mengembuskan napas berat. "Tehnya kurang manis nggak, Non? Mau ditambahin gula?" Bi Yuyun mengalihkan pembicaraan.

Namun, Raya masih saja terdiam. Ada sisi hatinya yang tercubit, ikut merasakan perih. Ia beruntung punya Ayah yang sabar dan tak mau main tangan. Meski Ibu sudah tiada sejak Raya kanak-kanak, gadis itu tak pernah kurang perhatian. Dimanja bagaikan putri raja dalam sangkar emas. Tapi Akbar, ditinggalkan sang ibu justru meruntuhkan dunianya, seperti masuk ke dalam neraka.

"Non ...."

Raya berjengit saat Bi Yuyun menyentuh punggung tangannya. Mata gadis beriris cokelat itu tiba-tiba saja terasa panas, penuh dengan riak-riak bening yang tertahan. Ia buru-buru memalingkan wajah, cepat-cepat menghapus sudut matanya yang basah.

"Oh, enggak, Bi! Makasih. Aku bawa ke kamar aja, ya. Mau ngerjain tugas kuliah." Terpaksa Raya berdusta, daripada nangis di depan Bi Yuyun.

"Boleh, boleh! Panggil Bibi kalau butuh sesuatu." Ia tersenyum tipis, mengambilkan nampan untuk memudahkan Raya membawa secangkir teh dan sekotak camilan manis pemberian Akbar.

Gadis itu berjalan pelan menuju lantai dua. Kakinya sudah menapak di anak tangga ketiga saat Bi Yuyun mendongak dan memanggil, "Non Raya!"

"Ya, Bi?" Raya berbalik.

"Tolong baik-baik sama Mas Akbar, ya. Mas Akbar seneng ada Non Raya di sini."

Senyum dari bibir tanpa polesin lipstik itu mengembang. Kepala gadis itu mengangguk-angguk pasti. Lalu, ia berjalan lagi menuju kamar, meletakkan nampan di atas meja dekat jendela. Di meja dengan sorot lampu duduk warna keemasan itu ada pigura kecil. Foto mereka berdua kemarin malam setelah dinner. Raya iseng mengajak suaminya ke studio photo box. Mencetak satu foto penuh gaya yang lucu dan meletakkannya ke dalam sebuah pigura kecil di meja kamar mereka.

Sungguh, Raya buta dengan latar belakang laki-laki yang ia nikahi. Tiba-tiba saja ia jadi merasa bersalah. Jangan-jangan sikapnya pernah membuat Akbar tersinggung atau bahkan menyakitinya. Padahal, laki-laki itu sudah terlalu banyak menelan luka.

Raya membuka tirai jendela kamar, menatap langit yang sedikit terang dengan kelip bintang dan sinar bulan. Sama seperti saat ia bersedih dan merindukan sosok ibu, Raya akan menatap ke langit lalu bicara dalam diam. Namun, kali ini ia mau bilang, "Bu, kalau Ibu di surga ketemu mamanya Mas Akbar, tolong sampaikan bahwa putranya baik-baik saja. Ia sehat, tampan, dan kuat meski banyak luka yang mungkin dipendam. Maaf kalau Raya ... suka keterlaluan dan nggak sengaja bikin Mas Akbar emosi."

Dan malam itu, entah mengapa hati Raya jadi mendung. Ia lipat dua tangan di atas meja, menyembunyikan di atas dua tumpukan lengan, lalu perlahan ... ada sedu sedan yang terdengar dalam kamar senyap itu. Sungguh, setiap kali membahas kehidupan anak tanpa ibu itu selalu menyentuh hati kecilnya. Seperti menemukan orang-orang senasib dan Raya mau memeluknya, lalu bilang, "Jangan menangis lagi. Ibu udah nggak sakit lagi. Kita yang kuat, ya!"

***

Laki-laki berkemeja kusut itu sempat mampir ke toko bunga setelah mengantar mertuanya sampai rumah. Ada satu kotak cokelat yang ia letakkan di jok samping kemudi. Rencana pulang mendadak putar balik ketika melalui pesan singkat, Raya berkabar sedang pergi ikut Bi Yuyun belanja.

Fortuner hitam Akbar melaju sedikit cepat ketika jalanan mulai sedikit lengang. Ia berbelok memasuki area parkir sebuah pusat perbelanjaan. Satu lengannya tersampir jaket hitam, sementara tangan kirinya sibuk membawa sebuket bunga mawar.

Entah gadis itu sudah memutuskan pacarnya sesuai instruksi atau belum, Akbar tak peduli. Ia hanya sedang berusaha memenangkan hati Raya. Sebab janjinya di depan Hadinata bukanlah suatu hal yang etis untuk dipermainkan. Meski gadis itu kerap menjengkelkan dengan segala sifat keras kepalanya, Akbar bisa memaklumi.

Laki-laki itu tahu, terkadang seseorang bersikap keras kepala hanya karena sedang berusaha melindungi hatinya, agar tak mudah terluka dalam situasi apa pun.

Akbar hampir mengetikkan sederet pesan untuk Raya saat seseorang memanggilnya, "Mas Akbar!"

Gadis itu berdir dalam jarak sepuluh meter. Bi Yuyun kerepotan menerima belanjaan yang semula dibawa Raya. Namun, seperti paham dengan apa yang akan dilakukan gadis di sisinya, Bi Yuyun tertawa kecil, berjalan dahulu menuju mobil. Sementara Raya, dengan tingkah kekanakannya berdiri di tempat, tersenyum sembari membuat simbol hati yang ia janjikan dengan dua ibu jari dan dua telunjuk di depan dada.

Akbar terkikik geli kemudian saat Raya menggeleng, mengganti finger heart sign semula dengan dua lengan, dan mempertemukan ujung jari di atas kepala. Pertanda sayangnya bertambah semakin besar. Aksinya sempat mencuri perhatian publik ketika gadis itu berputar sekali dengan dua tangan masih membuat bentuk hati di atas kepala.

Tak sabar dengan perasaan gemas, laki-laki itu melangkah cepat ke arahnya. Kaki jenjang Akbar baru melangkah sebanyak tiga kali ketika Raya memutuskan berlari padanya, menelusup ke dalam dekap. Entah akan ada maksud apa lagi, Akbar tak peduli. Ia sudah cukup senang ketika menyadari Raya mulai sedikit demi sedikit mau menerima keberadaannya.

***

(23-02-2024)

====🌸🌸🌸====

Raya mulai bertingkah ini, sih. Malu-maluinnya suka ngegemesin juga. 😂

Oh ya, aku memutuskan mundur dari event. Bukan karena ada masalah apa-apa. Tapi setelah aku pikir-pikir, cerita ini nggak masuk sama genre yang penerbit minta. Mereka mau religi. Aku tahu nulis religi tuh nggak bisa asal. Harus ada amanat (dakwah) yang disampaikan secara lembut dan itu nggak mudah.

Ada yang kasih saran buat bikin si tokoh agamis misal Gus/Ning. Tapi apa iya cerita religi gambaran isinya hanya sebatas itu?

Aku nggak bisa. Sepertinya itu udah di luar idealismeku sebagai penulis. Aku nggak mau dikira sedang bikin cerita romansa religi berbalut erotisme. Karena jujur aku menahan diri nggak nulis adegan romantis implisit tuh nggak gampang. Yang udah tahu dan baca cerita-ceritaku tahulah, ya, aku tuh nulis yang kayak gimana.

Aku suka nulis yang romantis, lucu, dan ada sedikit bumbu bahasan kedekatan fisik dengan bahasa sehalus mungkin. Meski mereka udah sah, tetep aja bagiku kurang etis kalau naskah religi aku bikin ada adegan erotika implisit.

Jadi, maaf, aku memilih mundru dari event. Mohon jangan dijulidin, ya, Gais. Sekali lagi aku minta maaf. 😊🙏

Tapi tetap, cerita ini bakalan lanjut sampai ending. Tolong semangatin pake vote dan komentar.

Terima kasih. 🤗🥰

See you on next part! 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top