Teman Itu Saling Membantu
Hari Senin selalu menjadi penyebab penghuni kelas X IPA 3 mengeluh. Upacara bendera, kemudian pelajaran kimia dilanjut matematika. Setelah istirahat pertama akan bertemu dengan fisika dan bahasa Inggris. Hal itu cukup membuatku ingin berteriak, "Siapa sih, yang bikin jadwal? Apa nggak kasihan pada otakku yang kecil ini?"
Aku memang suka pelajaran kimia dan matematika, tapi kalau keduanya disandingkan aku pun tidak akan sanggup. Mau bagaimana pun, kapasitas otakku tidak seperti mereka-mereka yang pandai segalanya.
Sebagai informasi saja, di sekolah sebelumnya, aku merupakan lulusan terbaik. Namaku disebutkan sebagai peringkat 2. Namun, aku menjadi peringkat 12 di kelas untuk ujian kemarin. Bersaing dengan orang-orang baru dan berasal dari sekolah-sekolah yang jauh lebih bagus dari sekolahku sebelumnya membuatku sedikit tidak percaya diri. Selalu terbesit di benakku, ternyata aku bukanlah apa-apa di sini.
Sesungguhnya aku tidak terlalu memusingkan peringkat, yang kuinginkan untuk nilai-nilai ujianku adalah satu: tidak di bawah KKM. Tapi, aku akan sangat bersyukur jika namaku termasuk dalam 10 besar. Sebab dengan begitu, keluarga dari ayahku tidak lagi menganggap nama Kalila Naisha Wijaya hanya ada untuk mempermalukan keluarga.
"Ayo ke lapangan, La. Anggi kayaknya udah di sana. Jangan lupa topi lo." Davina dari meja paling depan berujar agak nyaring. Di sini sudah tidak ada Anggi karena dia sudah di lapangan terlebih dulu. Sebagai anggota OSIS, dia mendapat tugas untuk mengkoordinir petugas upacara hari ini.
Aku menjawab ajakan Davina seadanya, kemudian dengan gerakan buru-buru mencari topiku di dalam tas. Aku mengernyit ketika menyadari sesuatu: topiku tidak ada.
"Dav topi gue nggak ada, gimana ini?" Suaraku bergetar seperti akan menangis. Aku panik sekali, mencoba mengingat kembali di mana aku meletakkan topi karena seingatku benda penting itu sudah kubawa ke luar rumah.
"Kok bisa? Tumben banget lo lupa bawa." Davina menghampiriku dan ikut mengobrak-abrik isi tasku. Tapi percuma saja mau dicari oleh sepuluh orang pun, kalau tidak ada ya tidak ada.
Sekitar 10 menit lagi upacara akan dimulai. Koperasi di sekolah tidak mungkin dibuka sepagi ini. Jadi, aku tidak akan bisa membeli topi baru. Jalan satu-satunya adalah meminjam dari orang lain, siapa tau ada yang punya lebih dari satu topi.
"Eh ada yang punya dua topi nggak?"
Sebelum aku, Davina berteriak sehingga seluruh teman-teman yang masih di kelas menaruh perhatian pada kami. Semuanya menjawab tidak punya dan aku semakin panik. Tanganku gemetar dan detak jantungku berdetak semakin kencang, kebiasaanku ketika sedang panik.
Kumohon, siapa pun tolong aku.
"Ih, gimana dong, Dav? Gue takut." Aku sangat tidak mau jika harus berdiri di barisan khusus. Selain malu, aku enggan berjemur di bawah terik matahari dengan posisi memberi hormat tepat di depan tiang bendera.
"Nih, gue ada." Tiba-tiba saja, sebuah topi dipasangkan ke kepalaku tanpa izin. Jio, si laki-laki yang tidak aku sangka akan menolongku di saat-saat seperti ini, memasangkan topi padaku. Oh iya, aku hampir saja lupa. Kami berdua sudah menjadi teman, mungkin itu sebabnya.
"Lo ada topi juga nggak?" tanyaku karena aku tidak melihat dia membawa topi lain selain yang dipinjamkannya padaku.
Dia hanya mengangguk kecil dan melengos begitu saja. Jio keluar dari kelas tanpa membawa topi. Maka dari itu, aku menarik Davina agar segera mengikuti langkah Jio.
"Ji, Jio," panggilku sedikit berteriak. Tapi dia tidak menoleh sedikitpun, sepertinya Jio hanya pura-pura tidak dengar. Jarak kami tidak sejauh itu sehingga dia tidak mendengar suaraku. "Jio, tunggu! Lo pake topi apa? Mending-"
Ucapan dan langkahku berhenti ketika melihat sebuah topi dilambai-lambaikan oleh Reza di depan sana. Bukan mengarah padaku, tapi pada Jio. Jio juga kelihatan merespon Reza, yang artinya topi yang Reza genggam
"Ya ampun, Lila. Upacara belum mulai tapi gue udah ngos-ngosan karena lo tarik tiba-tiba. Ngapain sih, ngejar si Eji? Udah mending lo dapet pinjeman dari dia."
Aku menyengir menghadapnya. "Takutnya dia nggak ada topi, ternyata si Reza bawain topi lain. Rasanya sia-sia gue."
"Tiang macem dia lo kejar. Udah tau tinggi kita sama Eji ibarat pohon sama bunga." Davina mengomel lagi. "Mana dia pura-pura budeg. Sengaja banget mau bikin gue pingsan karena lari-lari."
Aku menghela napas. Senin pagiku yang begitu dramatis.
***
Di tengah-tengah upacara, aku tertangkap basah sedang mengobrol dengan Davina oleh Pak Kumis, maksudku Pak Gunawan. Kakiku sempat gemetar dan tidak bisa bernapas dengan tenang karena baru kali ini dihukum oleh guru. Aku takut kami akan dibawa ke hadapan seluruh murid dan tidak dibiarkan pergi ke kelas bahkan setelah upacara selesai.
Namun, ternyata beliau hanya memisahkan kami berdua. Davina ditempatkan di barisan kelas lain sedangkan aku ditukar dengan posisi Nabila si sekretaris yang ada di bagian tengah. Padahal, kalau tidak dipindahkan, aku juga tidak akan mengobrol dengan siapa pun lagi. Karena sampai detik ini aku memegang prinsip jika sekali terjatuh, maka aku tidak akan mendekati lubang yang sama.
Posisiku kali ini lumayan bagus karena diapit oleh dua orang tertinggi di kelasku, Jio dan yang satunya bernama Renjani. Di depan Jio ada Reza, aku hanya bisa berharap semoga saja dia tidak usil. Ditambah lagi, aku tidak tau apakah aku boleh berdiri di sini atau tidak karena tinggiku kelihatan jomplang sekali dengan mereka berdua. Kalau nantinya aku dimarahi oleh guru lain karena berdiri di sini, aku pasti akan menyebut nama Pak Gunawan.
"Itu topi lo."
Aku menoleh sedikit ke samping kanan demi mendapati laki-laki yang baru saja bersuara. Kepalaku meneleng bingung atas pernyataan Jio.
"Kan lo yang pinjemin, kok bisa punya gue?" kataku dengan suara sekecil mungkin. Rencanaku untuk tidak mengobrol dengan orang lain lagi sepertinya gagal total karena aku tidak bisa mengabaikan Jio jika dia yang berbicara terlebih dulu.
"Kata bunda lo, topi itu ketinggalan di tas belanjanya."
Aku terkejut mendengarnya. "Emangnya lo ketemu bunda di mana?"
"Di depan minimarket yang waktu itu."
"Makasih."
"Ya, lain kali jangan dilupain lagi, Lil."
Setelah itu kami tidak mengobrol lagi. Memori otakku tiba-tiba memutar kejadian ketika aku membenahi dasiku yang hampir terlepas dari kerah seragam. Supaya topi-yang entah kenapa tidak kumasukkan ke dalam tas-tidak jatuh, aku membungkusnya dengan tas belanja bunda yang kugenggam. Aku ceroboh sekali hingga melupakan keberadaan topiku sendiri.
"Jio," bisikku tak lama kemudian. Setelah ada tanda-tanda bahwa Jio mau mendengar ucapanku, aku melanjutkan, "Gue pusing dan ini bukan bohong."
"UKS?"
"Nggak mau."
"Terus?"
"Nggak apa-apa, gue cerita doang. Jaga-jaga aja, takut pas pingsan dikira pura-pura."
"Jangan kepanasan, makin pusing."
"Nggak terlalu panas, kok. Kan ada lo." Aku terkekeh pelan. Setelah itu, aku tersadar bahwa ucapanku terdengar seperti gombalan. "Eh, gue nggak maksud gombal, kok. Tolong jangan cancel gue jadi temen lo."
"Ekhem."
Aku tersentak karena terkejut bukan main ketika mendengar dehaman yang mirip seperti milik Pak Gunawan. Tapi rupanya itu adalah kelakuan si tengil Reza. Aku otomatis memukul lengannya. Jantungku tadi hampir merosot ke perut karena takut dipindahkan ke barisan kelas lain. Aku akan malu sekali jika itu terjadi lagi.
"Jangan berisik, La. Nanti lo kangen kalo dijauhin dari gue."
Aku tidak bicara lagi setelah itu. Bukan untuk membenarkan pernyataan jahil Reza melainkan aku terlalu malas menanggapinya. Kepalaku juga terasa semakin berat, tapi aku tidak mau jika harus ke UKS.
Ada sebuah cerita seram yang diceritakan dari mulut ke mulut tentang penghuni lain UKS. Aku sudah mendengarnya dari Davina dan berakhir tidak bisa tidur semalaman. Kuakui, aku sangat takut dengan yang namanya hantu. Entah cerita itu benar atau bohong, aku tetap tidak berani. Makanya, sebisa mungkin aku akan menghindari tempat itu.
"Kalo udah nggak kuat, bilang aja, Lil." Tiba-tiba saja Jio berkata demikian.
Aku mengangguk sembari tersenyum padanya. "Iya, iya. Lagian ada lo di sini. Kita kan temen dan temen itu saling membantu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top