Orang-Orang Geng

"Kayak ada yang aneh."

Aku mengabaikan ucapan Davina yang duduk di kursi samping Anggi yang sedang kosong. Suasana hatiku sedang tidak baik. Sedari bel istirahat dibunyikan, aku belum beranjak sama sekali. Kedua teman perempuanku pun belum ke kantin, entah kenapa.

Penyebab suasana hatiku memburuk adalah karena tadi malam aku dan Jio berdebat masalah surat tanpa nama yang aku terima. Entah dengan kesadaran penuh atau tidak, dia mengatakan bahwa keluarganya sangat mampu untuk mencari keberadaan seseorang asalkan ada petunjuk yang jelas. Jio bilang petunjuknya adalah anak perempuan yang membawa surat itu kepadaku. Aku sebal karena kupikir masalah ini tidak sebesar itu. Jadi, tidak perlu menggunakan bantuan orang ahli.

Hal yang paling tidak bisa diterima akalku adalah aku tidak menemukan jawaban kenapa dia ikut campur sampai sedalam itu. Kupikir, mencari seseorang seperti itu tidaklah mudah, apalagi jika hanya berbekal penjelasan dari anak perempuan kemarin. Aku bukannya berbesar kepala, tetapi orang itu saling kenal dengan eyang Utari yang tidak mungkin mencelakakan aku si cucu pertamanya. Akan sangat memalukan jika sudah memanggil orang ahli, tapi ternyata pengirimnya masih mempunyai hubungan kekerabatan denganku.

Semakin lama, pertanyaan tentang menjadi teman itu seperti apa semakin membesar di kepalaku. Apakah bagi Jio, menjadi teman adalah bisa ikut campur dalam urusan pribadi?

Jadi, setelah semalaman berpikir, kuputuskan untuk menulis sesuatu di Secret Letters. Ini adalah rahasia bahwa aku akan mencobanya dengan menuliskan nama teman yang duduk tepat di belakangku, yaitu Jio, sebagai tujuanku. Tidak ada alasan yang khusus, aku hanya ingin membuat ucapan Anggi menjadi nyata sekaligus mengungkapkan rasa sebalku.

Tidak ada harapan yang diletakkan di sana karena Jio tipe orang yang tidak akan peduli dengan hal seperti itu. Jika dia bisa menolak pernyataan cinta orang lain secara langsung, maka dia juga bisa mengabaikan hal kecil seperti ini. Aku tidak akan terkejut jika dia yang mengabaikannya.

"Gimana, La?"

Aku menelengkan kepala ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Anggi. Davina berdecak sambil memandangku tajam. Dia bisa menebak dengan mudah jika aku tidak mendengarkan pembicaraan mereka dari awal.

Kekehan kecil keluar dari mulutku. "Maaf, gue nggak bisa fokus. Gue mau ke kantin dulu, ke toilet juga. Mau titip sesuatu?"

Keduanya menjawab tidak dan membiarkanku ke luar tanpa ditanya apapun. Aku betulan ke kantin, tapi pergi ke toilet hanyalah sebuah alasan supaya bisa di luar kelas lebih lama. Aku bergegas ke arah lab komputer. Di sana adalah lokasi yang sering dilewati orang banyak ketika akan ke kantin, jadi sekalian saja. Aku menempelkan catatan yang sudah diisi dengan tulisan tanganku di pojok kanan atas dengan cepat. Sebuah spot yang masih kosong karena terlihat akan sulit dijangkau oleh pembaca.

Kalau ingin tahu, yang kutulis hanyalah: Kezio X IPA 3, gue mau jadi temen lo tapi kayaknya lo ngeselin level 10 alias ngeselin banget.

Setelah selesai, barulah aku melangkah menuju kelas karena jam istirahat pertama hampir habis. Langkahku buru-buru, tapi terhenti begitu saja ketika seseorang menepuk bahuku dengan keras.

"Dor!" katanya.

Aku paling tidak bisa dikejutkan. Dalam keadaan terburuk, aku bisa saja langsung jatuh ke lantai karena kakiku lemas. Untung saja kali ini tidak.

"Lo kebangetan, udah tau gue nggak suka dikagetin." Tatapanku mengarah pada Reza yang sudah di depanku. Mimik wajah yang menunjukkan bahwa ia tidak merasa bersalah membuatku kesal setengah mati. "Udah, sana minggir."

Aku sedikit mendorongnya ke samping supaya bisa lewat. Reza tidak mencegahku sama sekali. Dia justru menyamakan langkah sembari berkata, "Jelek banget lo. Senyum, dong."

Aku tambah keki. Dia yang membuatku kesal, dia pula yang menyuruhku untuk tersenyum.

Dia terkekeh, sepertinya sadar akan perbuatannya. "La, besok mau nonton anak-anak tanding basket?"

Biasanya, kalau sudah begini Reza akan terus berbicara hingga kami tiba di kelas. Yang dia bicarakan beragam, mulai dari yang paling sepele sampai aneh sekali.

"Gue pernah nggak sengaja makan semut."

Kepalaku bergerak menghadapnya dengan cepat. "Eh, semut?" Baru kali ini aku mendengar seseorang makan semut. Reza ini seperti ikon keanehan yang pernah ada dalam hidupku.

***

Sudah berulang kali aku mendengar Reza menghela napas sejak kelompok untuk tugas Seni Budaya ditempel di papan tulis. Dia tidak protes sama sekali karena Pak Haris yang membentuk kelompok itu sendiri. Pak Haris adalah guru Seni Budaya yang sudah sepuh. Beliau dihormati semua orang dan terkenal dengan ketegasannya dalam menghadapi murid-murid bandel. Selama ini, tidak ada yang bisa membantah beliau.

Aku cukup senang karena Anggi dan Davina berada di kelompok yang sama denganku. Lalu, seperti semester sebelumnya, lagi-lagi aku menjadi teman kelompok seorang Kezio Mahendra. Sebuah kebetulan yang tidak lagi mengejutkan. Sekarang itu menjadi menyebalkan karena harus sekelompok dengan orang yang sedang berselisih denganku.

Nama Reza Galih juga ada dalam bagian kelompok. Dilihat dari keuntungan yang bisa didapatkan jika berada dalam kelompok yang sama dengan Reza, aku cukup beruntung karena Reza bisa berpikir cepat dan kreatif. Tapi, kalau dilihat dari sisi pribadi, aku ingin protes. Guru Seni Budaya kami tentu tahu bagaimana Reza bertingkah padaku dan Davina.

Berdasarkan pengalaman dua minggu menjadi teman sebangku membuatku mantap jika dia tidak bisa seratus persen serius jika berurusan denganku atau Davina. Dia akan mulai serius ketika aku benar-benar naik pitam.

"Gue seneng sekelompok sama Lila. Tapi kenapa ada si Davina juga?"

"Emang kenapa, sih?" ucapku padanya. Telingaku sudah lelah mendengar keluhan Reza. Sudah lebih dari tiga kali Reza mengeluhkan hal yang sama. Kali ini, aku benar-benar ingin menjitak kepalanya.

"Lihat, duduknya aja jauhan, gimana caranya kita semua berdiskusi dengan baik dan benar?"

Aku memutar bola mata malas. "Lo mau berdiskusi setiap detik?"

Reza terlihat sedang berpikir. Beberapa kali ia bergerak gelisah. Bukannya aku memperhatikan setiap gerak-geriknya, tapi kursinya berderit tajam sehingga membuat telingaku tidak nyaman.

Tak lama kemudian, ia tersentak heboh karena kursinya ditendang dari belakang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Jio. Aku tersenyum mengejek, rasain tuh.

"Eji lo nggak ngerti perasaan gue," katanya sok dramatis. Teman sebangku Jio bahkan menggelengkan kepala melihat tingkah anehnya. "Gue ada salah apa di masa lalu sampe harus sekelompok sama Davina si petasan hari raya?"

"Heh, gue denger lo ngomong apa!" Davina dari depan sana melempar tatapan tajamnya. "Gue sumpel mulut lo pake penghapus papan tulis, mau?"

Hampir setiap hari aku dihadapkan dengan Reza dan Davina yang adu mulut. Aku yakin teman-teman yang lain juga muak dengan perdebatan mereka.

"Udah, jangan dibales lagi. Bentar lagi Bu Ratna masuk. Plis, jangan bikin gaduh," pintaku pada Reza. Bagiku, tiada hari tanpa mengontrol mulut Reza yang memang sumpel-able.

"Eh, tapi nggak apa-apa juga, sih. Ada Davina di grup bisa jadi hiburan pas lagi capek."

Dari depan sana, Davina menoleh dengan sepasang mata yang sudah siap menerkam mangsanya. "Maksud lo? Heh, mulut lo emang minta disumpel, ya?"

Reza tertawa nyaring dan terdengar seperti ada bumbu kelicikan di dalamnya. Entah apa yang ada di pikirannya, aku tidak berpikir itu adalah hal baik.

"Udah, lo berhenti deh, gangguin Davina."

"Aduh, Lila jangan jealous, dong. Gue cuma ada buat lo kok."

Menyebalkan. Satu kata yang sangat cukup untuk mendeskripsikan Reza. Aku meringis kemudian memilih untuk mengabaikannya.

Aku menghadap Anggi dengan benar. "Jadi, kita mau bahas tugas ini kapan? Kalo jam-jam istirahat kayaknya nggak bakal bisa, jadi pas pulang sekolah aja, gimana?"

"La, pas pulang sekolah, gue sama Jio ada jadwal bimbel. Beda tempat sih, tapi gue tau. Ya, kecuali hari Kamis karena rapat rutin OSIS. Tapi, nggak mungkin tugas ini dibahas hari ...."

Eh?

Aku tidak fokus mendengar ucapan Anggi. Di dalam kepalaku, ada perkataannya yang seolah dicetak tebal dan menggunakan huruf besar semua. Anggi dan Jio punya jadwal bimbel. Anggi tahu kenyataan itu meskipun berbeda tempat bimbel dengan Jio.

Kelopak mataku mengerjap beberapa kali. Aku bahkan tidak tahu kalau Anggi mengambil bimbel sepulang sekolah.

"Lo bimbel?" Reza bertanya seolah-olah sedang menyuarakan isi hatiku.

"Iya, dari dua minggu yang lalu."

"Kenapa? Lo udah pinter, Gi. Gila, lo mau menguasai seluruh dunia apa gimana, dah?" Suara Reza kembali terdengar. Kali ini sedikit dibumbui dengan nada bercanda.

"Disuruh papa gue."

"Terus, kok lo tau Eji bimbel juga?" Pada pertanyaan yang paling krusial, aku memasang telinga baik-baik. Di dalam hati, aku berterima kasih karena Reza bertanya seakan-akan sedang membantu mengutarakan apa yang ingin kutahu.

"Kok lo jadi kepo gini, sih?"

"Tinggal jawab apa susahnya, sih!"

"Eji pernah nolongin gue pas papa nggak bisa jemput."

Aku termenung. Ada perasaan tidak enak dalam diriku. Semakin dalam kupikirkan, ternyata rasanya seperti sedang tertusuk duri.

"Kalila Naisha Wijaya!"

"Eh, iya?" Aku terkejut ketika Anggi menyebutkan nama lengkapku. Tadinya kupikir seorang guru yang menegurku.

"Dengerin nggak sih, dari tadi?"

"Eh, nggak. Maaf." Aku jadi tak enak hati karena hari ini terlalu banyak mengabaikan teman-temanku.

"Jangan banyak pikiran, La. Bisa-bisa lo botak muda."

Aku tertawa kecil, "Botak muda apaan, deh?" Kemudian menghela napas. "Jadi, gimana tadi?"

"Si Eja mau bikin grup belajar."

"Tiba-tiba?" tanyaku keheranan.

"Nggak tau, tuh."

"Nah, coba yang jadi kelompok seni budaya gue lihat hape!" perintah Reza membuat kami berempat, termasuk Davina yang posisinya berjauhan, membuka ponsel masing-masing. Aku penasaran dengan apa yang telah diperbuatnya.

Kemudian, keningku mengernyit ketika sudah ada group chat baru yang terdiri dari anggota kelompok seni budaya kami. Hal anehnya, nama grupnya adalah Orang-Orang Geng.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top