Lain Kali
Banyak hal yang tidak kusukai di dunia ini, salah satunya adalah menunggu jemputan. Jarak antara sekolah dan rumahku lumayan jauh, kira-kira butuh 15 menit jika menggunakan sepeda motor. Itu pun kalau Bunda langsung berangkat begitu aku selesai memberi kabar.
Namun, biasanya jam pulangku berbarengan dengan bunda yang sedang menunggu kedatangan Kak Yuli (salah satu pegawai di bakeri) untuk menggantikan beliau di bagian kasir, yang biasanya baru selesai dengan urusannya setelah lewat jam setengah empat. Jadilah tidak ada yang namanya 15 menit menunggu dalam kamus hidupku.
Jika ditanya apakah ada rumah temanku yang searah denganku, jawabannya ada. Dia adalah Davina. Sayangnya, setiap hari dia berangkat dan pulang dengan sepupunya karena petuah sang ayah. Jadi, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Sedangkan temanku yang satunya lagi, Anggita Salsabila, sudah jelas tidak bisa karena rumahnya tidak searah dengan rumahku.
Aku juga tidak bisa naik angkot, karena di dalam kendaraan itu, aku memiliki kenangan buruk. Bunda melarangku bahkan ketika aku mengatakan akan baik-baik saja. Bunda dengan sukarela mengantar dan menjemput demi memastikan aku aman.
Bagaimana dengan ojek online? Sama seperti di angkot, aku memiliki memori buruk dengan pengemudi ojek online. Aku masih ingat jelas ketika si pengemudi membawaku ke tempat yang cukup jauh dari tujuan.
Sekarang, aku sedang sibuk memperhatikan lalu lalang kendaraan bermotor. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini aku tidak duduk di pos satpam karena di sana sedang banyak orang, entah sedang apa. Aku memilih untuk duduk di depan sebuah minimarket yang tidak jauh dari lokasi sekolah. Sebelumnya, aku sudah mengabari Bunda soal ini lewat aplikasi perpesanan (walaupun belum dibaca) karena panggilan teleponku belum direspons sama sekali.
Selagi memandangi jalanan, mulutku tidak berhenti melafalkan bentuk-bentuk bakteri yang hari ini kupelajari. Aku sesekali melihat buku catatan yang sengaja tidak kusimpan dalam tas. Setidaknya, aku punya alasan untuk tidak terlihat menyedihkan di sini.
"Aduh, dingin!"
Aku meringin ketika sesuatu yang dingin datang ke kulit pipi kiriku. Kulihat ke samping dan ternyata sudah ada Jio dengan dua kaleng minuman isotonik. Bisa kupastikan jika kaleng itu yang tadi menyentuh pipiku.
Tunggu, Jio di sini?
"Ngapain duduk di sini?" katanya.
Aku kuranf fokus terhadap pertanyaannya. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa Jio sedang bicara padaku. Di luar dugaan, Jio sekali lagi menempelkan minuman kaleng itu ke kulitku. Kali ini di keningku.
Aku baru tau bahwa Jio itu cukup menyebalkan untuk ukuran seseorang yang baru mengakuiku sebagai teman.
"Ngapain?" katanya lagi.
"Eh, nunggu jemputan."
Respons Jio hanya manggut-manggut. Entah apa yang di pikirannya, dia duduk santai di depanku sambil membuka minumannya. Setelah itu, dia menyodorkan minuman kaleng yang sudah dibukanya padaku.
"Buat apa?"
"Minum, gue beli buat lo. Udah gue buka juga biar lo nggak kesusahan. Lo kan kecil, siapa tau nggak bisa buka."
Aku tambah kaget sampai rasanya tidak mampu harus berbuat apa. Bahkan ledekan "kecil" yang paling kubenci seperti angin lalu di telingaku. Yang ada dalam otakku hanya: Jio? Ini beneran gue disamperin Jio? Gue mimpi kali, ya.
Bahkan, secara tidak sadar aku sudah melupakan bentuk-bentuk bakteri yang tadi sedang kulafalkan.
"Lama banget, tangan gue pegel." Jio meletakkannya dengan tak sabaran, tepat di depanku.
Oke, sekarang Lila silakan tarik napas dan buang napas. Aku tidak boleh terus-terusan bersikap konyol di depan Jio. "Makasih," balasku sambil menarik kaleng minuman itu perlahan.
"Hm."
"Baru mau pulang?" Aku bertanya skeptis, masih agak tidak percaya dengan Jio yang tiba-tiba sok akrab begini.
Jio tidak menjawab cepat. Dia meneguk minumannya dua kali lalu menghadapku. "Hm," katanya singkat. Agak menyebalkan ketika pertanyaanku hanya dijawab dengan dehaman padahal ada jawaban yang lebih bagus untuk merespons pertanyaanku.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Habis kumpul OSIS."
Aku lupa kalau dia juga anggota OSIS seperti Anggi. Setiap hari Kamis, mereka melakukan rapat rutin. Itu yang kutahu dari Anggi.
Setelah beberapa saat, kepalaku otomatis mencari keberadaan mobil hitam yang biasa menjemput si pangeran dari kelas X IPA 3 ini. Benar saja, mobil itu terparkir rapi di parkiran minimarket. Oh, mungkin Jio baru saja membeli sesuatu dan merasa iba ketika melihatku duduk sendirian.
"Lo sendiri kenapa belum pulang?"
"Oh, itu ... hehe, kan gue udah bilang sebelumnya." Aku terkekeh canggung. "Nunggu jemputan," sambungku pelan sambil menatap sekaleng minuman dingin yang belum kusentuh.
"Udah telpon bunda lo?"
"Udah." Lagi-lagi aku menjawab pertanyaanya dengan pelan dan sedikit hati-hati. Aku mulai meraba-raba apa maksud Jio bertanya seperti itu. Meskipun pada akhirnya tidak kutemukan apapun karena aku tidak tau cara berpikir laki-laki di depanku ini.
"Eh, kok tau kalo bunda yang bakal jemput gue?" Aku menilik Jio penasaran. Aku ingat benar bahwa aku tidak menyebutkan bunda sama sekali sedari tadi.
"Nebak aja."
"Oh." Kepalaku mengangguk-angguk meskipun masih tidak percaya dengan ucapan Jio. Sebab, selama ini kebanyakan orang mengira yang mengantar dan menjemputku adalah ayah. Mereka pikir, seorang ibu tidak mungkin melakukan hal itu.
"Oke, gue ikut nunggu bunda lo juga."
Kepalaku refleks menggeleng, bermaksud menolak kalimat Jio meskipun aku tahu bahwa ucapannya bukanlah sebuah pertanyaan. "Eh, ngapain? Nggak usah."
"Lo mau di sini sendirian? Udah jam setengah lima."
Aku buru-buru mengecek ponsel dan baru sadar, ternyata aku sudah satu jam di sini. Tapi tetap saja, aku merasa canggung pada Jio. "Gue udah biasa kayak gini, kok. Tenang aja. Lo pulang aja nggak apa-apa."
Yang kutahu dari novel romansa yang pernah kubaca, kalau ada keadaan seperti ini si cowok akan mengantarkan si cewek pulang sampai ke rumahnya. Tapi Jio berbeda, dia tidak menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Dia justru ikutan menunggu bunda. Yah, dipikir lagi aku dan Jio baru jadi teman siang tadi. Tidak mungkin dia tiba-tiba mengantar perempuan yang masih asing sepertiku.
"Lain kali bareng gue aja. Nggak perlu lagi nunggu bunda lo lama kayak gini."
***
Aku masih memikirkan kalimat Jio yang tadi. Bolpoin di tanganku diketuk-ketukkan ke dagu. Tugas merangkum yang kurencanakan selesai malam ini belum kuselesaikan, setengah pun belum dapat. Aku mendesis pelan, "Berarti gue udah jadi temennya Jio, kan? Wah, nggak bisa dipercaya."
Hampir setiap pulang sekolah aku selalu melihat mobil yang menunggui Jio. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Jio hanya pulang dengan sopirnya. Aku bahkan pernah memergoki Jio menolak keras untuk mengantar Reza pulang. Setelah dipaksa, tetap tidak ada perubahan. Jio itu kuat prinsipnya. Tapi, kenapa kali ini Jio ingin aku ikut dia ketika akan pulang?
Asal kalian tau, tadi dia benar-benar menungguiku. Ketika bunda sudah datang, dia langsung berpamitan pada bunda dan menuju mobil jemputannya. Kemudian mobil hitam itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan tempat parkir.
Ah, atau jangan-jangan dia begitu pada semua orang? Kelihatan tidak peduli di luar, tapi dia sangat perhatian ketika tidak ada orang banyak?
Namun, ada hal yang sangat aku syukuri. Bunda tidak bertanya apapun soal Jio. Secara, baru kali ini bunda melihatku duduk berdua saja dengan seorang laki-laki. Kalau bunda menanyakannya, aku tidak yakin dengan jawaban yang akan keluar dari mulutku.
"Kakak, aku mau pinjam penghapus, boleh?"
Pikiranku soal kejadian tadi siang terpaksa dibuyarkan ketika adikku satu-satunya mengintip dari balik pintu. Suaranya yang kecil membuatku tertawa kecil. "Boleh, sini masuk dulu."
Namanya Kalyca, biasa dipanggil Lily. Seperti namaku, nama itu diberikan oleh ayah kami yang sudah tiada sejak sepuluh tahun yang lalu. Beliau meninggalkan kami tepat ketika bunda sedang memperjuangkan hidup Lily, ketika aku masih berusia 6 tahun.
"Kakak, kamu nggak marah barangnya aku pinjam?"
Sejak Lily mengerti bahwa ayah tidak akan pernah kembali ke rumah ini, dia menjadi sungkan kepadaku. Dia seringkali menganggap dirinyalah yang menyebabkan ayah meninggalkan rumah ini. Katanya, "Kalau aja aku nggak lahir hari itu, ayah nggak mungkin buru-buru naik mobil terus kecelakaan. Jadi aku nggak mungkin ambil ayah dari kakak sama bunda."
Aku marah dengan pemikiran Lily yang seperti itu. Saking kesalnya, aku bahkan sengaja tidak bicara dengannya seharian penuh. Waktu itu adalah masa-masa terberat bagiku. Aku harus menenangkan Lily yang mulai menyalahkan dirinya. Padahal, kejadian itu bukan salah siapa-siapa. Aku justru merasa kasihan pada Lily yang tidak pernah merasakan bagaimana rasanya bergurau bersama ayah, bagaimana rasanya makan nasi goreng keasinan khas ayah, dan bagaimana rasanya bergandengan tangan dengan ayah.
"Lily, aku nggak marah kok. Aku malah seneng Lily mau pinjam sesuatu. Tapi ini penghapusnya aku kasih kamu, nggak usah dikembaliin." Aku memberikannya satu penghapus yang baru kubeli tadi siang ketika di sekolah. Penghapusku yang lama sudah hilang entah ke mana. Sepertinya ada tangan nakal yang menyembunyikannya.
"Kok masih dibungkus?" Lily bertanya sambil menatap penghapus di tangannya. Ya Tuhan, adikku ini gemas sekali.
"Penghapus aku yang lama udah hilang, jadi beli baru. Dipake aja nggak apa-apa, besok aku bisa beli lagi," kataku, kemudian aku melanjutkan, "kamu mau belajar sama aku, nggak? Tapi belajarnya di ruang tengah, di sini nanti pengap."
"Mau!"
"Let's go ke ruang tengah!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top