Jadi Teman?
Hai, aku comeback dengan karya baru dan tidak lupa diikutsertakan dalam 300days_challenge dengan harapan bisa konsisten sampai karya ini benar-benar selesai.
Happy reading!
***
"Lila, tolongin gue!"
"Astaga ini Eja ngapain bawa kucing ke kelas. Ya Tuhan, Eja lo diem kek!"
"Eja, lo tau gue takut kucing kenapa malah diarahin ke gue?"
Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya. Beginilah suasana kelas kami ketika sedang tidak ada guru. Berisiknya bahkan bisa sampai ke kelas sebelah. Seperti biasa, Reza atau yang lebih sering disapa sebagai Eja adalah biang keroknya. Sedangkan perempuan yang sedari tadi tidak berhenti mengoceh adalah Davina, si kucing-phobic yang selalu berlindung padaku ketika ada kucing mendekat.
"Lila, plis usir dia." Kulihat Davina sudah acak-acakan keadaannya. Selain lenganku, rambutnya sudah menjadi korban atas ketakutannya. Kuncir kudanya sudah merenggang dan kelihatan tidak nyaman sekali. Saking frustasinya menghadapi kucing, dia tidak sadar mendusel seenaknya ke lengan kiriku.
"Kucing lucu gini kok ditakutin, sih?"
Belum sempat meminta Reza berhenti, cowok tengil itu mengeluarkan suara dan tawa lumba-lumbanya yang khas. Reza sudah berhenti menganggu Davina tapi dia sama sekali tidak merasa bersalah. Tidak ada permintaan maaf bahkan untuk sekadar formalitas semata. Dia justru cengengesan sambil melangkah pergi menuju tempat duduknya setelah menyambar gitar di lemari belakang. Itu adalah gitar hasil patungan satu kelas demi tampil luar biasa di class meeting semester lalu karena sebelumnya tidak ada yang mempunyai gitar.
Detik itu juga aku bergumam, "Pasti Jio sih, yang gitaran."
Benar saja tebakanku, Reza menyuruh teman sebangkunya itu memetik gitar sedangkan dia yang akan bernyanyi. Dua laki-laki itu seperti si kembar Upin dan Ipin, saling melengkapi. Kezio lebih sering dipanggil dengan sebutan Eji oleh teman-teman yang lain. Nah kan, dari nama panggilannya saja sudah seperti anak kembar, Eja dan Eji. Tapi aku memanggilnya Jio, sesuai dengan permintaannya dulu ketika kami semua bertemu sebagai teman baru. Aku juga tidak tahu alasan teman-teman memanggilnya Eji.
Dulu aku mengira Jio tidak akan mudah bergaul dengan orang ceria seperti Reza. Ternyata dia tidak seperti apa yang kupikirkan. Impresi anak polos dan pendiam yang kuberikan padanya menghilang setelah dia mulai membuka mulut. Dia selalu blak-blakan kepada siapapun dan bagaimanapun keadaannya. Selain itu, dia juga merupakan orang yang tidak mudah kujangkau. Dalam artian, dia sulit untuk didekati sebagai teman.
Aku tidak tau bagaimana dengan yang lainnya, tapi aku agak sulit berteman dengannya. Jio seperti membangun dinding super tinggi dan tebal antara aku dan dia. Kupikir dia mempunyai impresi yang buruk padaku, makanya tidak mau dekat-dekat selain karena tugas kelompok.
"Cantik, ingin rasa hati berbisik."
Aku menyudahi pikiranku tentang Jio. Kini, kulihat senyum Reza yang secerah matahari dan Jio dengan wajah tanpa ekspresinya. Teman-teman yang lain menyoraki mereka berdua. Saling membuat dugaan, Jio dan Reza ingin mengungkapkan kata cantik itu untuk siapa.
"Siapa yang cantik, Ja?" kata Davina setelah merapikan rambut dan duduk dengan benar. Suasana hatinya mulai membaik, terlihat bagaimana dia ikut menyanyi seperti sedang menonton konser. Dia juga seperti sudah melupakan kelakuan Reza padanya. Aku tidak bisa mengerti Davina yang seperti itu.
Aku pun begitu, tak lagi memikirkan hal-hal berat dalam kepalaku. Aku ikutan menyanyi seperti yang lain dan konser dadakan pun dimulai. Ada yang menggenggam botol mineral kosong sebagai mikrofon, ada yang menggoyangkan badan sesuai irama, bahkan ada yang menyorot Jio dan Reza dengan kamera ponselnya. Mungkin akan diunggah di sosmednya nanti.
"Gue mau request dong," ungkapku setelah lagu pertama selesai. Tatapan Jio dan Reza otomatis mengarah padaku.
"Bayar ya, Kalila Cantik."
Mulutku mengatup rapat setelahnya. Sepasang mataku menatapnya jengah. Reza mulai mengusiliku lagi. Aku menyesal sudah angkat suara. Sorak sorai teman-teman sekelas langsung memenuhi ruangan hanya karena rayuan receh Reza. Sebenarnya aku sudah biasa dengan kelakuan Reza yang seperti itu. Tapi mendengar sorakan mereka karena Reza yang usil padaku membuatku ingin meledakkan amarah.
"Ayo lagu apa, Kalila Cantik?"
"Nggak jadi." Aku mendengus sebal. Reza selalu begitu ketika berinteraksi denganku, mengusiliku seolah dia sedang mendeklarasikan bahwa ia suka padaku. Yang paling menyebalkan adalah dia membiarkan orang-orang dengan asumsi anehnya.
Hal ini dimulai ketika kami unjuk bakat di hari penutupan MPLS, artinya sudah lebih dari satu semester aku mendengar gurauan orang-orang tentang aku dan Reza. Waktu itu, aku dan dia menyanyi bersama di hadapan ratusan murid baru. Lalu ada yang menyeletuk bahwa aku dan Reza seperti pasangan yang sangat serasi, lalu berakhir kebanyakan orang di aula setuju dengan pernyataan itu.
Serasi apanya, hampir setiap hari dia membuatku naik darah dan ingin menjitak kepalanya. Karenanya juga, namaku sampai dikenal banyak kakak kelas, tidak jarang aku mendapat sapaan dari orang yang tidak kukenal. Sungguh, aku tidak nyaman atas itu. Rasanya ingin mempunyai kekuatan supaya tubuhku tidak terlihat oleh siapa pun.
"Konser selesai." Ucapan Jio ini seperti mantra agar semua kembali pada aktivitas masing-masing.
Jio dan Reza tidak lagi menjadi fokus utama. Tetapi sorot mataku masih kuarahkan pada Jio. Aku berpikir bahwa dia seperti anak bangsawan yang sangat sulit untuk disentuh olehku yang rakyat biasa. Setiap pulang sekolah, aku bahkan selalu melihatnya masuk ke mobil bersama orang berjas rapi yang kuduga adalah asistennya. Kalau tidak salah, istilah bahasa inggrisnya adalah personal assistant.
Iya, teman-teman. Seorang Kezio Mahendra adalah anak orang kaya. Aku pernah mendengar cerita tentang ayahnya, tapi karena belum terbukti kebenarannya karena Jio menutup segala akses terhadap kehidupan pribadinya.
Sekarang aku melihat bagaimana Jio meletakkan gitarnya pada tempat semula. Setelah itu, dia mengecek ponselnya. Entah apa yang baru saja ia terima sehingga keningnya mengkerut. Laki-laki itu tiba-tiba saja berdiri lalu berjalan mendekat ke mejaku dengan sepasang mata menatap lurus padaku. Alhasil, kami saling bertatapan. Kemudian aku terpaku.
Jujur, aku benci situasi ini. Aku tertangkap basah sedang memperhatikannya. Aku malu sekali, mau ditaruh mana mukaku ini? Tidak Lila, tidak. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi. Lagipula, setelah kuperhatikan selama ini, Jio bukan tipikal orang yang akan mengungkit kejadian memalukan seperti itu.
***
"Lo tau akhirnya bakal gini, makanya ngajak gue, kan?"
Aku melirik pada Jio di sampingku. Padahal tiga puluh menit yang lalu kepalaku pening memikirkan hal memalukan yang kulakukan tanpa sadar tadi, tapi sekarang aku sudah keluar dari ruang guru bersama Jio dan telah ditetapkan sebagai asisten wali kelasku untuk acara outbound bulan depan.
"Lo orang pertama yang ada di kepala gue pas Bu Uni ngirim pesan."
"Kenapa?"
"Lo ketua kelas."
Ah, hampir saja aku besar kepala. Aku juga nyaris lupa dengan posisiku di kelas. Bu Uni sih, bukannya aku yang dikirimi pesan untuk tugas semacam ini, justru Jio yang mendapatkannya. Selalu saja seperti ini, aku seperti tidak dibutuhkan oleh wali kelasku sendiri.
"Padahal Lila ketua kelas, tapi dia kayak nggak dianggep sama Bu Uni. Kasihan."
"Mending kasih ke Eji aja, nggak sih?"
"Dulu kenapa coba setuju-setuju aja pas Lila jadi ketua kelas kalo kayak gini jadinya?"
"Banyak yang suka sama dia, makanya kepilih pas pemilihan ketua kelas. Menang cantik doang dia, mah."
Omongan beberapa teman sekelas waktu itu mulai terngiang lagi. Aku juga tidak mau menjadi ketua kelas kalau tau akan seperti ini akhirnya. Kalau bisa memutar waktu, aku tidak akan membiarkan namaku ada di papan tulis sebagai kandidat ketua kelas.
Memang terdengar aneh, seorang ketua kelas diabaikan oleh wali kelasnya sendiri. Namun, itulah yang terjadi padaku pasca pemilihan ketua kelas.
"Gue nggak mau ambil title ketua kelas dari lo."
Kepalaku otomatis mendongak saat mendengar ucapannya. Mataku menyipit seolah memintanya menjelaskan apa yang dikatakannya tadi. Tapi Jio sama sekali tidak terlihat akan memberi respons. Sepasang matanya fokus pada lembaran yang Bu Uni berikan tadi.
"Jadwal outbound yang sebelum ujian semester genap emang udah jadi rahasia umum, tapi jangan bilang apa-apa dulu ke yang lain. Tanggalnya belum pasti. Apalagi lo punya temen kaleng bocor kayak Davina."
Aku menatapnya sebentar. "Iya, gue tau," jawabku seadanya.
"Lo sama gue sebagai asisten Bu Uni buat jadi koordinator temen-temen yang lain pas acara."
"Iya, gue juga tau itu. Kan tadi Bu Uni udah bilang."
Tadi wali kelas kami menjelaskan tentang outbound tahunan yang pesertanya memang kelas 10. Setiap kelas memiliki dua murid sebagai perwakilan untuk membantu wali kelas masing-masing dalam mengkoordinir anggotanya. Yang kudengar dari Bu Uni, tugasnya tidak terlalu berat. Kami berdua hanya perlu memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam hal apapun.
Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi. Aku dan Jio saling diam karena kami memang tidak seakrab itu untuk mengobrol hal-hal random seperti yang sering aku bicarakan dengan Anggi dan Davina. Kami juga seringkali menjadi teman kelompok karena nomor absen yang berurutan atau kebetulan yang terlalu sering tapi tetap tidak membuat kami dekat. Tugas hanyalah tugas, tidak akan melenceng kemana-mana kalau satu kelompok dengan Jio. Terkadang aku akan kewalahan menghadapi Jio yang mengerjakan tugas kelompok. Ambisinya meledak-ledak begitu saja.
"Nonton kakak kelas basketan boleh nggak, sih?" kataku ketika melewati lapangan basket yang diramaikan oleh tim basket kelas 11. Katanya akan ada turnamen sebulan lagi dan mereka yang akan mewakili sekolah.
Aku suka basket. Sejujurnya, aku ingin melatih kemampuan basketku. Aku bahkan sempat memiliki keinginan untuk mendaftar klub basket tapi urung karena sadar diri kalau tinggi badanku tidak memadai. Aku tidak mau mengulang masa SMP ketika banyak orang mentertawakan aku yang ingin menjadi tim basket sekolah.
"Aduh!"
Aku terlalu fokus pada pemain basket di sana sampai tidak memperhatikan jalan dan berakhir jatuh terduduk di lantai. Aku memejamkan mata sebentar. Tersandung kaki sendiri adalah level memalukan paling tinggi. Jangan ditanya, pokoknya aku malu sekali.
"Mau di situ terus?" Jio berucap santai dan melihatku begitu saja. Badannya yang menjulang tinggi membuatku merasa: Oh, kayaknya begini kalo semut lagi lihat manusia dari bawah. Sekarang aku pasti terlihat konyol di mata Jio.
"Kalila, mau gue tinggal?" Dia berucap lagi, membuat kesadaranku kembali. Aku benar-benar seperti semut kecil yang langsung bergerak cepat ketika digertak.
Aku mendecak kesal. "Tawarin bantuan kek, apa kek, gitu amat sama temen."
"Emang lo temen gue?"
"Dih, setelah satu semester sering sekelompok dan lo masih belum nganggep gue temen? Lo pikir, temenan tuh perlu jabat tangan?"
Jalan pikiran Jio kadang sulit dimengerti. Kupikir Anggi adalah orang yang paling tidak mudah ditebak isi kepalanya, tapi masih ada Jio di atasnya. Benar-benar masih ada langit di atas langit.
"Ya udah, ayo jadi temen." Aku mengulurkan tangan kananku supaya kami berjabat tangan. Setelah berbulan-bulan kurang berani mengobrol dengan Jio, hari ini aku agak kelewatan percaya diri. Aku seenaknya mengobrol hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan tugas. Ah, lagipula Jio akan menjadi partner-ku di acara outbound. Jadi tidak ada salahnya mengakrabkan diri dengan pasangan asistenku sendiri.
Tetapi kalau aku ditolak olehnya sepertinya hari-hariku besok ketika berpapasan dengannya tidak akan sama lagi. Aku akan malu sekali.
"Haha." Dia tertawa sambil mengangkat tangan lalu diarahkan untuk menggetok pelan puncak kepalaku. Ingat, dia bukan menjabat balik tanganku. Aku jadi keki sekaligus kesal. Dia mau membuatku tidak punya muka dengan tidak menerima tanganku yang kecil ini?
Sepanjang jalan menuju kelas, aku sibuk mendumel. Rasanya ingin memaki Jio, tapi tidak kurealisasikan karena keberanianku padanya hanya sekitar 30 persen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top