Aku? Menyukai Seseorang?
"Wah, gila. Lo pada harus tau ini."
Davina dengan sebungkus batagor di tangannya langsung duduk di depanku. Dia juga membawa bahan obrolan yang pastinya sedang hangat di sekolah. Jadi, jangan heran jika aku juga sangat up-to-date tentang hal-hal yang terjadi di sekolah. Davinalah yang mencekoki aku dan Anggi dengan gosip-gosip sekolah yang ada.
"Gue lihat sendiri kejadian yang selama ini cuma kita denger dari mulut orang," kata Davina menggebu-gebu. Setelah menyodorkan bungkus batagor padaku, dia berdiri dan menyapu seluruh sudut kelas dengan sepasang mata sipitnya seperti sedang memastikan sesuatu. Dirasa aman, dia kembali duduk menghadapku dan Anggi.
"Eji nolak kakak kelas mentah-mentah!"
Uhuk! Aku terlalu terkejut mendengarnya. Batagor yang nyaris kutelan sepertinya tersangkut di tenggorokan dan ingin keluar kembali dari sana. Anggi dan Davina ikutan panik, menepuk-nepuk punggungku pelan, dan memberiku botol minumku yang sudah dibuka tutupnya.
"Yah, itu bukan berita baru." Anggi, orang yang paling bijak di antara kami angkat suara. Dia membenarkan rambut sebahunya sebelum kembali berucap. "Lo ngapain sih bahas kayak gini, lihat tuh Lila jadi kaget."
"Ih, Anggita Salsabila. Masalahnya ini gue lihat langsung. Tadi di kantin gue lihat gimana ekspresi Eji pas nolak si kakak kelas. Kayak gini, nih." Davina kontan bersiap mengubah ekspresinya. Dia mulai menirukan ekspresi Jio, garis bibirnya datar dan sorot matanya terlihat seperti orang malas tapi tetap tegas. Dengan begitu mudahnya, bayangan wajah Jio yang seperti itu terlintas dalam kepalaku.
"Terus dia bilang, 'Gue sama lo nggak saling kenal, jangan ganggu gue dah,' pake nada yang bener-bener datar," lanjut Davina.
Kupikir lagi, Jio memang lebih sering menunjukkan ekspresi datarnya dibanding tersenyum lebar seperti habis mendapatkan hadiah besar. Sepertinya waktu itu dia tertawa di depanku hanya sebuah kebetulan karena aku habis melakukan hal konyol.
"Gue juga denger gosip lain." Ternyata cerita Davina belum selesai di situ.
Aku dan Anggi kompak menggerakkan kepala menghadap Davina, sebagai isyarat bahwa kami sedikit tertarik untuk mendengarnya. Meskipun kami berdua kelihatan tidak tertarik dengan gosip-gosip di sekolah, tidak dapat dipungkiri kalau mendengarnya adalah hal yang tidak mungkin kutemukan jika aku tidak bertemu dengan Davina.
"Gue denger, kemarin Eji duduk berdua sama lo di depan minimarket. Itu beneran, La?"
Aku terlalu terkejut sehingga tangan kiriku tanpa sadar menggebrak meja. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi karena Jio cukup populer di kalangan gadis-gadis sekolah ini. Hanya saja, aku tidak menyangka bahwa cerita semacam itu menyebar dengan sangat cepat.
Akan kuberitahu sedikit, kepopuleran Jio dimulai sejak dia melawan seorang kakak kelas laki-laki yang ketahuan sedang merundung adik kelas perempuannya. Kalau tidak salah ingat, itu terjadi seminggu sebelum ujian semester lalu.
"Eji yang jarang berinteraksi sama cewek-cewek SMANSA pas di luar sekolah kecuali ada tugas, justru duduk berdua sama lo di depan minimarket?" Davina kembali melayangkan pertanyaan sedangkan Anggi memasang wajah ingin tahu. "Jawab jujur, La. Lo ada hubungan spesial ya sama Eji?" sambungnya sambil menatapku jenaka.
"Kemarin tuh, cuma nggak sengaja. Jio kasihan kali lihat gue sendirian." Kutatap kedua temanku bergantian. Gerigi-gerigi otakku bekerja lebih keras dari biasanya, sibuk mencari jawaban yang paling pas supaya mereka tidak mengajukan pertanyaan lain.
Davina diam sebentar. "Eh, tapi Eji kan—"
"Liiilaaa."
Aku menoleh ke arah pintu, begitu juga dengan kedua temanku. Baru kali ini aku bersyukur atas kedatangan Reza. Karenanya, aku bisa menghindari rasa penasaran Davina dan mungkin juga Anggi.
"Pak Kumis lagi jalan ke sini, kantin yuk, La." Ajakan itu datangnya dari Reza yang sudah mengambil duduk di depan mejaku. Sepasang telapak tangannya dia gunakan untuk menopang dagu.
Gila, dia sudah gila. Aku tidak tahu, kali ini kedatangannya adalah sebuah keberuntungan atau kesialanku. Mungkin saja dua-duanya.
Genggamanku pada botol minum mengerat, ingin rasanya melayangkannya ke kepala Reza. Tapi aku masih sayang nyawa, botol ini sangat berharga bagiku. Aku tidak mau bunda memarahiku karena sebuah botol minum.
"Udah tau Pak Gunawan mau ke sini malah ngajak ke kantin. Gila ya, lo?"
"Bel masuk masih 5 menit lagi. Salah Pak Kumis lah. Suruh siapa buru-buru masuk kelas padahal belum waktunya."
"Itu namanya menghargai waktu. Estimasi waktu yang digunain Pak Gunawan dari ruang guru ke sini tuh lima menit karena sambil razia kecil murid yang beliau lewati. Jadi, tolong kalo lo mau dihukum jangan ajak-ajak gue."
"Iya, iya. Lagian bercanda doang."
***
"Karena ujian akhir semester ganjil sudah selesai dan kalian sudah beradaptasi kembali selama dua minggu, jadi Ibu akan mengubah formasi duduk kalian."
Setiap orang yang ada di sini mengeluh setelah mendengar pernyataan mutlak Bu Uni. Di kelas kami, ada hal wajib yang harus dilakukan setelah masa ujian, baik ujian akhir atau tengah semester, yaitu perubahan tempat duduk. Pergantian yang terakhir aku beruntung sekali bisa satu meja dengan Davina. Untuk yang kali ini, firasatku tidak enak.
"Kalila, sini bantu Ibu, sama Nabila juga."
Pikiran burukku tergantikan kelegaan karena namaku disebut oleh beliau. Setidaknya, kali ini beliau memberi pengakuan kecil bahwa aku juga merupakan anggota pengurus kelas.
Bersama Nabila si sekretaris, aku membuat potongan kertas yang nantinya akan diisi dengan nama teman-teman sekelas, termasuk namaku. Inilah cara Bu Uni menentukan siapa dan siapa yang akan menjadi teman semeja. Tidak ada yang boleh protes atas hasilnya atau nanti Bu Uni akan menceramahi kami semua.
Setelah sepenuhnya selesai, potongan kertas yang tentunya sudah dilipat itu dimasukkan ke tempat pensil di meja guru yang sudah dikosongkan. Dengan jantung yang berdetak kencang sambil berdoa semoga mendapat teman yang cocok, semuanya menyaksikan satu kertas jatuh ke tanganku.
Nama siapa pun yang ada di kertas pertama, artinya dia yang akan duduk di kursi tepat di depan meja guru. Dalam keadaan seperti ini, aku jadi ingin tertawa. Agak lucu melihat wajah teman-teman menjadi tegang hanya karena pergantian tempat duduk. Degup jantungku sendiri bahkan telah kembali normal dan tergantikan dengan sakit perut menahan tawa.
"Davina." Aku membacakan sebuah nama dan menunjukkannya kepada yang lain, sebagai bukti bahwa aku tidak membual.
"Yah, Lila lo tega sama gue."
Sementara Davina mengeluh dan bersiap berpindah tempat, teman-teman yang lain tertawa keras sebagai ledekan untuknya. Bisa aku lihat wajahnya yang awalnya segar bugar menjadi lesu hanya karena tidak beruntung dalam penentuan tempat duduk. Aku jadi ingin ikut meledeknya karena siapa pun yang duduk tepat di barisan pertama, khususnya di depan meja guru tidak akan pernah bisa tenang.
Pembacaan nama terus berlanjut. Nama kedua teman dekatku sudah terlewati. Dua baris meja juga sudah penuh. Aku menghela napas kecil, aku tidak suka duduk di belakang. Sudah badannya pendek, mata sedikit bermasalah tanpa kacamata, lalu duduk di belakang. Lengkap sudah penderitaanku.
"Reza," sebutku tak bersemangat. Memikirkan namaku yang tak kunjung jatuh membuat tenagaku berkurang lebih cepat.
"Kalila yang cantik, gue tunggu di sini, oke?"
Aku memutar bola mata jengah. Dia bahkan tidak tahu malu di depan Bu Uni. Aku bahkan tidak sadar kertas selanjutnya yang sudah kulihat isinya kuremas sampai berbentuk bulatan kecil.
Sungguh, aku ingin menghentikan waktu lalu menukar kertas di tanganku ini dengan kertas yang lain. Tapi di dunia ini mana ada yang seperti itu. Maka dari itu, dengan berat hati, aku menyebutkan namaku, "Kalila."
"Wah, kan gue bener! Firasat jodoh emang paling bener!"
Congkak sudah seorang Reza Galih Wibisana. Ketenangan yang kuharapkan di sisa semester akhir di kelas ini terkikis habis hanya karena duduk bersebelahan dengannya. Meskipun ada Anggi di depanku, itu tetap tidak akan menjamin harapanku.
"Lanjutkan, Kalila."
Nama yang ada di tanganku kali ini sedikit membuatku tenang. "Kezio," kataku pelan. Setidaknya, ada satu orang yang waras duduk di belakangku.
Sambil melanjutkan membuka potongan kertas yang tersisa, aku memperhatikan gerak-gerik Jio. Mulai dari mengemasi barang-barangnya di tempat duduk sebelumnya sampai sudah menempati tempat barunya, kuperhatikan setiap ada kesempatan.
"Kalila lo lagi naksir orang, ya?"
"Hah?" Aku tersentak mendengar ucapan Reza. Entah kenapa pipiku memanas dan aku tidak sanggup membantah pertanyaan itu. Aku justru buru-buru membacakan nama di kertas terakhir. Padahal sebelum Reza berbicara, nama orang terakhir sudah kusebutkan dengan jelas.
"Cie, Kalila salah tingkah, cie." Reza meledekku habis-habisan membuat teman-teman yang lain melakukan hal yang sama. "Gue tau, kok, Lil. Tenang aja, gue selalu ada buat lo," lanjutnya semakin membuatku ingin marah.
Reza Galih Wibisana, awas kau.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top