SIP : Bab 6.

Dua bulan yang lalu, Fale memang meminta sang ibu mencarikan jasa interior untuk mengubah tata letak isi apartemennya agar terlihat berbeda dan segar. Namun, hingga sekarang rencana itu tak kunjung terlaksana.

Ada saja hal yang membuatnya tertunda. Entah karena Fale yang tak punya waktu untuk berdiskusi atau sang ibu yang mulai bosan merekomendasikan jasa interior padanya. Hingga beberapa hari yang lalu, wanita yang kerap menelepon hanya untuk bertanya tentang menu makan malam Fale membuat pernyataan yang sedikit mengejutkan.

"Edgar kan, S2-nya ambil bidang desain interior, Fal. Kebetulan kamu lagi cari buat apart, kan? Nah, minta Edgar aja buat bantu kamu. Anaknya pasti mau, apalagi dia bilang belum ada niat gabung ke perusahaan. Jadi masih free buat sekarang."

Kira-kira seperti itulah ucapan sang ibu dalam sambungan telepon. Fale tak diberi kesempatan merespons karena ibunya merasa Edgar sudah sangat cocok dengan seleranya tentang desain yang sulit dimengerti. Sebenarnya Fale bukan tak ingin memakai jasa Edgar meskipun ditawari secara cuma-cuma, hanya saja ia merasa perlu menjaga jarak dengan pria itu karena tiap kali bertatap muka ada hal aneh yang membuat Fale tak bisa berlama-lama.

Dan sekarang Fale malah mengundangnya.

Membiarkan pria itu masuk.

Menciptakan momen hanya berdua dalam ruangan.

Hingga belum apa-apanya saja, Fale sudah merasa gelisah sendirian.

"Jadi, lu mau kayak gimana konsepnya?"

Pria itu bertanya setelah beberapa saat menelisik isi apartemen Fale. Dengan gerak santai, Edgar berjalan menuju satu-satunya kamar yang ada di sana.

"Mau ngapain?"

Edgar menoleh. "Cuma ruang tengah aja yang diubah? Lu bilang mau sekalian beres-beres kamar." Ia mengurungkan niatnya, lalu berjalan ke arah pantri tanpa sekat sebelum berdiri tak jauh dari pemilik tempat.

"Ya ... kamar juga, sih." Fale menyahut santai. Menyamarkan rasa malu karena Edgar tampak mengernyit sebelum membersit geli.

"Tadi gue mau periksa kamar lu. Liat seluas apa dan ada barang apa aja di dalem biar gue tahu dan bisa ngukur." Edgar mulai bersandar di dekat Fale. "Gue nggak ngajak lu masuk kamar terus—"

"Kemarin gue beli rak buku," sela Fale cepat sebelum Edgar menyelesaikan ucapan yang pasti mengarah pada hal frontal. "Cuma gue ngerasa nggak sreg itu ada di kamar."

Edgar mengangguk paham. "Lu mau dipindah ke mana?" tanyanya sambil berjalan menuju kamar itu lagi. Kali ini jelas tak ditahan malah diikuti Fale dari belakang.

Saat membuka daun pintu berwarna cokelat tua, aroma manis seperti susu almond atau mungkin bunga—yang tak Edgar kenali jenisnya—mulai menggelitik indra penciuman. Ia tersenyum melihat tempat tidur, tata letak barang, bahkan beberapa sandal berbulu yang tertata rapi di dalam sana.

"Rapi banget, bukan karena gue mau dateng, kan?"

Jika yang bicara itu Zola, Fale tak segan mendaratkan kepalan tangan di punggungnya. Namun, karena sedang membatasi kontak fisik apa pun dengan Edgar, Fale hanya memberi decak kasar sambil menggerutu kesal.

"Keadaan kamar gue selalu rapi, ya. Malah gue nggak expect lu bakal masuk ke sini."

"Kalau nggak masuk, cara lihat keadaan kamar lu gimana? Gue nggak mungkin terawang pakai mata batin. Lagi pula Tuhan cuma kasih gue muka ganteng doang, buat kelebihan bisa melihat pakai mata batin gue nggak punya. Mungkin takut gue salahgunakan nanti," celoteh Edgar santai, lalu berjalan sambil mengamati isi kamar yang begitu bersih dan wangi.

Sepertinya memang begitulah Edgar, mesum dan narsistik. Dua sifat yang membuat Fale rasanya ingin memukul kepala pria itu dengan botol minum plastik.

"Jadi, lu udah punya konsep belum?" Edgar menoleh ke belakang, mendapati Fale yang bersandar di dekat pintu kamar. "Lu lebih suka warna monokrom gini, ya?" komentarnya kembali menelisik keadaan kamar.

Fale ikut menatap isi kamarnya yang tak memiliki banyak warna. Bahkan perabotan di sana pun cenderung berwarna putih atau abu-abu.

"Tepatnya gue lebih suka yang simpel, sih."

"Suka simpel atau takut mainin warna? Ada juga orang yang suka warna cerah tapi takut buat berkreasi."

Fale sedikit mengernyit sebelum mengangguk memahami ucapan Edgar.

"Lu suka biru?" Edgar melirik selimut tebal yang terlipat rapi di atas kasur. Hanya benda itu yang memiliki warna berbeda dalam kamar.

"Nggak juga sih, itu beli random."

"Oh. Jadi mau kayak gimana?" Edgar memusatkan atensinya pada wanita yang jika ia tak salah terka begitu menghindari kontak mata dengannya. "Apa mau gue aja cocokin?"

Fale menyipitkan mata ke wajah pria yang sekarang memilih duduk di ujung kasurnya. "Lu nggak akan pasang foto Marilyn Monroe pakai bikini di kamar gue, kan?"

Edgar tertawa. Ia beranjak menuju rak buku setinggi dada yang ada di dekat jendela kamar. "Nggaklah. Udah bukan era gue kalau beliau, mungkin Maria Ozawa cocok," guraunya sambil menarik satu buku di sana. "Suka baca novel. Wow, rate-nya mature semua, ya?" Lalu terkesiap saat benda yang baru saja ia pegang diambil kasar oleh pemiliknya.

"Gue nggak mesum kayak lu!" ketus Fale lalu meletakkan kembali buku itu ke barisan novel favoritnya.

Edgar tersenyum. Suara ketus Fale sama sekali tak mengganggu telinganya, ia justru merasa senang saat wanita itu mulai mendekatinya meski dengan aura judes yang mengerikan. Ada yang membuat Edgar selalu tertarik, entah karena fakta yang ada di Paris atau sepasang manik sebening madu yang rasanya tak akan bosan jika ia pandang berjam-jam.

"Mata lu bagus, Fal. Gen dari bokap, ya?"

Decakan kasar Fale menjawab ucapan Edgar. "Nggak usah modus di depan gue. Nggak mempan!"

Sudut bibir Edgar terangkat skeptis sebelum suara gumaman samar terdengar di telinga Fale.

"Jadi udah punya gambaran belum kamar ini mau diapain?" Pria itu kembali bertanya hal yang sama sejak tadi. "Gue saranin rak buku ini jangan ada di dekat jendela, soalnya di sini bisa dijadiin spot baca atau tempat lu kerja kalau lagi di apart."

"Menurut lu aja deh, cocoknya gimana. Cuma gue nggak terlalu suka banyak warna." Fale berujar sambil melihat Edgar yang menumpu kedua tangan di pinggang, lalu menatap jauh keluar jendela.

"Blue white, gimana? Kayaknya cocok."

Fale tampak berpikir sebentar sebelum mengangguk kemudian. "Kayaknya nggak terlalu buruk," komentarnya sambil berjalan menjauh. "Gue juga pesen lemari kaca buat simpen tas. Menurut lu gimana?"

"Ukurannya?"

"Nggak terlalu besar, sih. Mungkin lebarnya cuma satu meter setengah. Tokonya udah konfirmasi kalau barangnya ready hari ini."

"Suruh anter aja hari ini. Kayaknya masih oke. Nanti kalau rak buku dipindah, gue mau taro single bed di dekat jendela yang bisa difungsiin jadi sofa. Bisa dipakai lanjutin kerjaan di kantor atau baca buku."

Fale manggut-manggut. Ia sudah bersandar kembali di kusen pintu, melipat tangan di dada sambil memfokuskan mata pada pria yang bicara sambil menelisik isi kamarnya. Jujur saja ia sempat mengira, mungkin Edgar hanya main-main saja dengan tawaran membantunya me-make over kamar. Tetapi melihat Edgar begitu fokus dan lugas menjelaskan apa yang cocok untuk ruangan itu, Fale pikir dugaannya salah.

"Gimana, oke?"

Tanpa sadar Fale tersenyum. "Kayaknya oke!"

Untuk beberapa detik Edgar diam sambil mengernyit. "Mending pasang muka judes ya, daripada senyum gini?" Lalu terkekeh pelan melihat raut bingung di wajah Fale. "Gue belanjain dulu apa aja yang dibutuhin. Boleh pinjem mobil lu, kan?"

Fale mengangguk. "Pakai aja."

***

Sekitar dua jam Edgar pergi untuk membeli beberapa barang yang dibutuhkan. Pria itu kembali dengan tampilan yang sedikit berbeda dari pertama kali masuk. Memakai kaus tanpa lengan dipadu celana jin robek di bagian lutut, Edgar mulai bergerak telaten memindahkan benda ringan yang bisa ia angkat sendirian agar lebih leluasa mengubah cat dinding dalam kamar.

Cat dasar berwarna putih memudahkan Edgar mendapatkan biru pastel yang terlihat lembut dan cerah saat dipoles ke tembok. Pria itu terlalu fokus dan tak banyak bicara saat bekerja, berbeda dengan keadaan biasanya. Bahkan Fale yang memilih duduk di ruang tengah sambil membaca novel, tak sadar sudah melewati waktu berjam-jam hingga sorot matahari yang terik sudah muncul dari jendela balkonnya.

Ia menoleh pada pintu kamar yang terbuka lebar, beranjak setelah memberi pembatas buku pada halaman yang sedang dibaca untuk menghampiri Edgar. Mata Fale sedikit terbelalak melihat kondisi kamar yang masih terlihat berantakan sudah menunjukkan banyak perubahan. Empat sisi tembok di sana sudah berganti cat dengan biru pastel, lalu rak buku yang tadi ada di dekat jendela berpindah posisi menjadi sejajar dengan meja rias.

"Wow."

Edgar menoleh. Topi yang digunakan dalam posisi terbalik ia buka sebentar, lalu merapikan rambut yang muncul di pelipis sebelum memakainya kembali.

"Fal, lu ada temen cowok yang bisa dihubungin buat bantu?"

"Lu butuh bantuan?" Fale mendekat, ia duduk di ujung kasur sedangkan Edgar berlesehan di dekat jendela.

"Tadi belum, sekarang iya." Tangan Edgar meraih kuas cat yang selesai digunakan untuk dirapikan.

"Bantuan apa? Kenapa nggak manggil gue?"

Edgar mendongak sebentar. "Bukan kerjaan buat cewek. Gue butuh orang buat pindahin tempat tidur sama lemari kaca itu," terangnya sambil menunjukan benda yang baru saja datang dengan dagu. "Nggak ada, ya? Atau panggil orang rumah aja buat bantu gue."

"Kayaknya gue ada temen. Nanti gue hubungin." Fale melihat Edgar menyeka keringat di leher seolah AC dalam ruangan itu tak berfungsi baik, lalu bergerak bangun untuk menenggak air dalam kemasan botol yang tadi ia sediakan di atas nakas. "Makan siang dulu. Lu mau makan apa? Biar sekalian gue pesenin."

"Kalau lu apa?" Dengan santai Edgar membuka kausnya dan mengelap keringat yang menempel di tubuhnya. "Samain aja deh," sambungnya sambil berjalan keluar meninggalkan Fale yang sempat memalingkan wajah melihat keadaannya.

"Gue mau pesen sushi tei sama chatime."

Edgar menoleh pada wanita yang mengikutinya keluar kamar. Ia duduk di sofa untuk mengambil jeda istirahat. "Boleh. Tapi gue mau dua posri, ya."

"Lu mirip kuproy kalau begitu."

Maksud Fale bertelanjang dada dengan keringat di mana-mana serta bercak cat yang ada di tangan dan celana. Ia berjalan ke arah pantri sambil memesan menu makan siang lewat aplikasi online di ponselnya.

"Emang ada ya, kuproy seganteng gue?"

"Emang ada yang bilang lu ganteng?"

"Banyak." Edgar menatap wanita yang bersandar pada meja pantri. "Salah satunya temen lu. Zola," ucapnya sambil tersenyum puas melihat Fale mendengkus pelan.

"Ya emang jarang-jarang sih, kuproy yang makan siangnya pakai sushi tei sama chatime. Biasanya kan nasi Padang ekstra lauk." Fale beranjak menuju kamar, lalu keluar dengan cardigan oversize yang membungkus badannya.

"Makanya gue minta dua porsi." Edgar mengernyit saat Fale berjalan menuju pintu. "Lu mau ke mana?"

"Minimarket, mau beli minuman. Lu mau nitip sesuatu?"

Sambil mempertontonkan otot dada yang tebal serta lengan kokohnya, Edgar tampak mengernyit sebelum menyeringai jahil. "Apa, ya? Kondom bolehlah."

"Orang gila!" sahut Fale dan keluar meninggalkan Edgar yang tergelak tawa sendirian.

***

Sebenarnya Fale hanya ingin membeli minuman karena melihat Edgar sepertinya lebih banyak minum daripada memakan camilan yang ada dalam kamar. Namun, setelah sampai di minimarket ia malah tergiur membeli beberapa makanan dan es krim favorit yang dimakan dalam perjalanan pulang.

Minimarket yang biasa Fale datangi terletak di sisi apartemen, jadi hanya butuh waktu sebentar untuk kembali dengan sekantong belanjaan. Saat sampai, sepertinya makan siang mereka sudah mendarat dengan aman. Tiga box makanan serta empat minuman sudah ada di atas meja. Sedangkan Edgar yang kembali berpakaian lengkap sedang mencuci tangan di wastafel pantri.

"Udah dateng ya, makanannya?"

"Hmmm. Baru aja." Edgar sudah selesai mengeringkan tangan saat melirik Fale yang sedang membuka lemari es sibuk memakan es krim gagang. "Ada lagi nggak?"

Fale menoleh sebentar, lalu kembali memasukan beberapa botol minuman ke kulkas. "Apa? Lu nggak serius nyuruh gue beli kondom, kan?"

Sambil terkekeh, Edgar berjalan mendekati Fale. "Nggak serius, sih. Tapi kalau dibeliin ya gue ambil." Lalu melihat Fale yang dengan santai menggigit es krim dengan mulut kecilnya.

"Beli aja sendiri, gue ... astaga, Edgar!" pekik Fale saat tangan yang sedang memegang gagang es krim ditarik oleh Edgar.

Pria itu tersenyum, lalu menunduk mengigit es krim yang masih dipegang Fale. Berhasil membuat Fale terkejut tanpa berniat mengalihkan tatapan sedikit pun, Edgar biarkan untuk beberapa detik tatapan mereka bertemu dengan jarak yang cukup dekat.

"Gue nanya tentang es krim, bukan kondom. Masa ada orang lain di rumah cuma beli satu doang, sih." Edgar berujar sambil menarik diri dan merasa gemas dengan wajah Fale yang mengerjap dua kali. "Ayo makan siang bareng!" Lalu melepas pergelangan tangan Fale sebelum  beranjak menuju sofa.

Sementara itu, Fale merasa tubuhnya jadi patung untuk beberapa detik saat wajah Edgar begitu dekat dengan wajahnya. Merasakan kembali napas hangat pria itu menerpa kulitnya serta tatapan yang tak berubah sama sekali. Persis seperti pertemuan pertama mereka di Paris. Hal itu membuat Fale menggeleng ngeri sambil menarik napas panjang. Sudah ia duga, ada hal yang terasa seperti ancaman tiap kali ia dan Edgar berdekatan. Entah dalam artian yang benar-benar mengancam atau hal membingungkan.

"Fal?"

"Ya?" Fale terkesiap dan baru sadar es krim di tangannya mencair hingga menetes ke jari. "Apa?" tanyanya mencoba terdengar ketus sambil menatap Edgar yang sudah duduk di bawah sofa.

"Tolong ambilin air mineral kalau ke sini." Mengabaikan Fale yang terlihat mendapat efek terkejut dari tindakan impulsifnya tadi, Edgar mulai membuka box makan siangnya sambil tersenyum geli.

"Oh."

Fale berjalan sambil menjilat cairan es krim yang meleleh, lalu mengernyit saat sadar ada bagian yang menjadi jejak bibir Edgar di sana. Berdeham pelan dan berusaha tak memedulikan, Fale mengambil gelas dan menuang air putih yang tadi diminta Edgar.

"Omong-omong tadi gue udah hubungin temen, cuma dia lagi ada acara lain."

"Ya udah, nanti gue telepon orang rumah buat dateng ke sini bantuin gue."

Fale mengangguk sambil meletakkan air putih di atas meja, lalu duduk di sofa setelah mengambil box makanannya. Sedangkan Edgar sudah lebih dulu menikmati makanan khas Jepang tersebut.

"Anyway, Fal. Lu setuju nggak kalau meja pantri gue ubah jadi mini bar. Fungsinya tetap sama, cuma lebih elegan juga chill aja dilihatnya."

Fale menoleh ke arah pantri sebentar. "Menurut lu bagus begitu?"

Dengan mulut yang penuh makanan, Edgar mengangguk santai. "Cuma kalau lu keberatan ya nggak usah."

"Terserah lu aja, deh."

Setelah memberi respons, Fale mulai menekuk kedua kakinya di atas sofa. Memperhatikan cara makan Edgar yang begitu lahap. Ia sedikit tak menyangka pria yang kerap bicara mesum ternyata begitu luwes dan fokus saat memegang suatu pekerjaan. Zola benar, selain pintar membangun obrolan, Edgar juga pandai menempatkan diri di berbagai situasi. Pria itu tahu waktunya bicara serius, bercanda, bahkan menggoda dan menurut Fale itu sedikit berbahaya.

Pria itu memiliki aura kuat seorang cassanova.

Dan kamu sudah masuk ke dalam perangkapnya, Fal. Hahahaha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top