SIP : Bab 5.

"Serius seganteng itu?"

"Iya! Sumpah, Mir. Doi bukan menang ganteng doang tapi semuanya. Tajir udah pasti, gaul iya, dan yang paling penting Edgar pinter banget kalau lagi ngajak ngobrol. Pembahasannya ituloh yang nggak bikin cewek boring. Dia anaknya agak lawak sedikit, jadi gue rasa nggak bakal bosen diajak ngobrol seumur hidup. Pokoknya Edgar tipe gue banget, Mir. Kayaknya sampai ke pori-pori, deh!"

"Ah, yang bener lu?! Nggak halu, kan? Lu satpam BCA aja disamain sama Lee Min Ho, Padahal nggak ada mirip-miripnya," balas Mira masih tak percaya karena sebenarnya ia cukup terkejut dengan fakta kalau Fale memiliki sepupu pria. Dan yang membuatnya makin terkejut adalah cerita Zola yang begitu hiperbol di hari pertama ia kembali bekerja.

Zola berdecak kasar merespons ucapan Mira. "Lu harus liat sendiri kalau masih nggak percaya. Gue yakin lu bakal nelen ludah waktu dia ngajak kenalan sambil senyum simpul dan lu bakal meleleh pas liat ada lesung kecil yang muncul di pipinya."

"Kok, gue jadi penasaran, sih?"

"Ya udah, makanya libur besok kita ke apart Fale."

"Nggak bisa!" sahut Fale dari arah pantri kantor. Ia berjalan malas menghampiri dua wanita yang sejak tadi bergosip ria. "Hari Sabtu gue mau renovasi kamar. Awas aja pada dateng, gue jorogin kalian dari balkon!"

Mira dan Zola berakhir meringis ngeri sebelum kemudian terkikik geli.

"Lagian lu kenapa nggak bilang punya sepupu gantengnya aje gile. Udah tahu dua temennya lagi kering kerontang gara-gara kelamaan jomlo," protes Mira sambil melipat tangan di dada.

Fale hanya merotasikan bola mata saja, lalu duduk di antara Mira dan Zola dengan secangkir kopi buatannya. Telinganya terasa panas mendengar nama Edgar yang sejak tadi selalu muncul dalam obrolan. Meski tak heran dengan sikap Zola yang kerap hiperbol jika sedang membicarakan pria, tapi kali ini Fale merasa muak dan tak nyaman. Entah karena Zola yang terlalu agresif atau ia yang malas mendengar nama Edgar begitu dipuja-puja.

"Udah beku hatinya, Mir. Jadi nggak bisa bedain mana cowok ganteng mana cowok B aja," pungkas Zola sambil terkekeh melihat tatapan Fale yang mendelik tajam ke arahnya. "Sekarang gue tanya, menurut lu si Edgar segitu ganteng, nggak? Gue minta pendapat sebagai kaum wanita asing ya, bukan sebagai sepupu."

"Biasa aja," jawab Fale tak memberi banyak jeda.

"Tuh, kan!" Zola berdecak tak percaya. "Semua cowok burem di matanya, Mir."

Mira tertawa setelah menyeruput sedikit kopi milik Fale yang hanya mendesah pasrah. "Lu ada fotonya nggak buat di spill?"

"Wait!"

Sebelah tangan Zola yang terangkat mengarah pada Mira sedang tangan lainnya mulai bergerak merogoh ponsel dalam saku celana. Ia membuka lock screen benda canggih tersebut sebelum mencari sesuatu di sana.

"Nih, gue kemarin minta akun instagramnya. Cuma Edgar bilang dia nggak aktif main sosmed. Lu liat deh, dua foto doang pengikutnya bejibun, Mir."

"Orang gila. Cakep begini dibilang B aja!" komentar Mira setelah melihat akun Instagram milik pria yang sejak pagi dibicarakan Zola. "Pokoknya gue hari Minggu mau main ke apart lu, Fal."

Fale mengernyit. Bukan karena permintaan Mira yang ingin datang ke tempatnya, tapi karena penasaran dengan apa yang sedang wanita berusia 25 tahun itu lihat. Meraih ponsel Zola di tangan Mira, Fale melihat akun sosmed berisi dua postingan milik pria yang sudah seminggu ini menjadi sepupu sekaligus tetangganya. Keagresifan Zola memang tak perlu diragukan lagi, wanita itu cepat sekali mendapatkan alamat informasi pria incaran. Entah terlalu berbakat mendekati pria atau memang urat malunya sudah putus sejak lama.

"Jadi di mata kalian cowok kayak gini ganteng, ya?" tanya Fale santai lalu meletakkan ponsel Zola di atas meja. "Menurut gue biasa aja, sih." Sebab sambil tersenyum skeptis, Fale membayangkan bagaimana jika Zola bertemu Edgar saat mereka di Paris. Pria itu jauh lebih tampan dengan rambut blonde dan tato temporer yang saat itu ada di lengan kekarnya.

"Gue curiga kriteria cowok si Fale tuh modelan Aldi Taher. Dia lebih suka dinyanyiin lagu kontroversi, jadi nggak mikirin tampang."

Mira tertawa puas mendengar guyonan sahabatnya sedangkan Fale baru saja mendaratkan satu pukulan keras di lengan atas Zola yang refleks mengaduh kesakitan.

Sambil menyengir tipis, Zola mengusap lengannya yang terasa panas. "Oh, ya. Omong-omong gue hari ini pulang ke rumah. Tadi pagi bokap nelepon, katanya mobil gue udah diganti. Sama yang lebih murah, sih. Tapi nggak apa-apalah. Daripada nggak ada kendaraan buat hang out sama kalian."

"Syukurlah." Fale bernapas lega seolah baru saja terbebas dari beban berat. "Terus koper lu?"

"Biarin aja, hari Minggu kan gue mau ke sana lagi sama Mira," jawab Zola tersenyum menggoda sebelum melakukan tos dengan Mira.

Fale hanya berdecih sinis sambil bersandar di punggung kursi. Sekarang memang sudah terhitung empat hari Zola tinggal di apartemennya dan selama itu juga ia merasa kesal dengan sikap centil Zola yang setiap pagi mengobrol santai bersama Edgar lewat balkon kamarnya.

Sebenarnya tak ada yang aneh dari hal tersebut. Dari dalam kamar Fale bisa mendengar percakapan random mereka dengan jelas. Hanya saja ia sedikit tak nyaman jika Edgar sudah mengarahkan pembicaraan ke topik pendekatan. Pagi ini jika ia tak salah dengar Edgar dan Zola berencana menonton film berdua, meski belum dipastikan kapan waktunya hal itu sedikit mengganggu saat diingat.

Kenapa sih, harus sampai ke telinganya?!

***

Hari ini karena Zola sudah memutuskan pulang ke rumah, Fale kembali pulang sendirian ke apartemennya. Jika dimintai pendapat, sebenarnya tinggal berdua sedikit menguntungkan baginya. Ada teman mengobrol sebelum tidur meski jika lawan bicaranya Zola, obrolan itu kadang membuat Fale pusing dan tak habis pikir.

Terkadang Fale merindukan rumah, tapi masih ada hal yang membuatnya tak nyaman ada di dalam sana.

Sambil berjalan di lorong menuju kamarnya, mata Fale secara alami melirik unit apartemen Edgar saat melewatinya. Seperti biasa, setelah berhasil memasuki tempat tinggalnya Fale tak banyak berleha-leha. Ia langsung membersihkan diri usai melepas sepatu dan menggantung tas pada tempatnya, lalu memikirkan seputar makan malam apa yang tepat hari ini.

Merasa tak begitu lapar, Fale yang berniat membuat oatmeal sedikit mengernyit mendengar petikan senar gitar dari arah balkon. Cangkir keramik yang baru ia ambil dari laci kabinet kembali diletakkan pada tempatnya. Fale mulai membawa tungkai menuju balkon untuk melihat siapa pencipta musik asal-asalan yang membuatnya sedikit penasaran.

Ternyata Edgar.

Pria itu sedang duduk santai di balkon. Memangku gitar akustik dengan sebatang rokok yang dijepit dua jarinya. Berhenti sebentar mencari nada yang pas untuk dimainkan, pria itu mengantarkan sebatang nikotin ke mulut. Mengisapnya cukup lama sebelum mengembuskan kepulan asap putih ke udara.

Baru saja ingin kembali memulai permainan musiknya, ekor mata Edgar menangkap pergerakan seseorang di seberang balkon. Ia tersenyum kecil sambil menahan senar gitar dengan jarinya, lalu menoleh untuk melihat Fale yang sudah berdiri di pembatas balkon sambil menatapnya.

"Hai. Udah balik kerja, Fal?"

"Zola udah pulang ke rumahnya."

Terkekeh kecil, Edgar letakkan gitarnya di dekat single sofa yang diduduki. Lantas beranjak menghampiri Fale yang malam ini memakai kaus oversize dipadu celana pendek yang hingga nyaris tak terlihat. Jarak antar balkon sekitar empat meter dan tembok apartemen yang menjadi dinding pemisah kamar sedikit menjorok ke depan. Mungkin sekitar satu meter di tengah ruang pemisah balkon.

"Padahal gue nggak nanyanin Zola, loh. Gue cuma nanya, lu udah balik kerja."

"Ya abis pertanyaan lu tipe basa-basi banget. Kalau belum pulang mana mungkin gue ada di sini."

Edgar mendengkus pelan. "Susah banget ya, ngomong sama cewek yang anti diajak basa-basi. Jawabannya menohok mulu."

Fale membersit geli mendengar gerutuan Edgar. Ia kembali melihat pria itu mengisap rokok sambil menatap dirinya penuh pengamatan. Tatapan yang membuat sedikit tak nyaman.

"Apa?" tanya Fale sambil mengernyit tak suka.

"Lu nggak pake celana, ya?"

"Dasar gila!"

Edgar tergelak tawa mendengar umpatan itu. Ia pikir Fale langsung masuk ke kamar setelah digoda, tapi wanita itu tetap bertahan di sana hingga membuat Edgar ingin sekali melompat dari balkon untuk menghampirinya.

Ck, sial! Ada apa sih, dengannya?

"Omong-omong, lu beneran lagi cari jasa interior?"

Fale mengangguk. "Kenapa?"

"Gue aja," kata Edgar menawarkan diri. "Nggak usah ragu sama hasilnya, selama ada diskusi gue pastiin lu puas."

"Kayaknya gue cari jasa lain aja, deh."

"Kenapa?" Edgar mengerutkan dahi samar setelah menekan api di ujung rokoknya di atas pembatas balkon. "Nggak percaya sama hasilnya—"

"Nggak percaya sama orangnya," ungkap Fale terang-terangan. Ia berdecak malas mendengar Edgar kembali tertawa menanggapinya.

"Nggaklah, Fal. Di Paris kita sama-sama mau, di sini kalau lu nggak mau yang nggak akan gue paksa. Gue nggak punya agenda buat perkosa perempuan." Setelah berujar Edgar sisir rambut hitamnya dengan jari. "Kalau gue mau dan lu nolak ya nggak akan gue paksa, tapi kalau lu mau gue nggak akan nolak," pungkasnya sambil tertawa jahil.

Harusnya Fale benci dengan ucapan Edgar yang begitu frontal, tapi lama kelamaan ia menanggapi itu seperti hal biasa untuk didengar. Jika diingat-ingat setelah kembali bertemu, Edgar memang tak sampai bersikap kurang ajar dengan cara menyentuhnya tiba-tiba meskipun ada dalam ruang yang sama. Hanya saja ucapan pria itu benar-benar membuat Fale kadang tak nyaman.

"Jadi gimana, mau nggak gue bantu make over apart? Nggak apa-apa, gue nggak ngarepin dibayar, kok."

"Makin mencurigakan kalau begitu."

Edgar membersit pelan. "Soalnya udah dibayar di muka."

Mata Fale kembali mendelik tajam menatap wajah Edgar.

"Maksudnya, gue kan dibantuin Tante Lani cari apartemen sekaligus dikasih DP buat sewa. Jadi anggap aja gue bales kebaikan itu lewat anaknya," jelas Edgar sebelum menyeringai tipis. "Kenapa, sih? Kayaknya hidup lu tegang mulu, Fal. Pikirannya masih di Paris ya. Jadi suka mesum sendiri, kan?"

"Makin nggak minat gue pake jasa lu." Fale mendengkus kesal, anehnya ia tak kunjung mengakhiri obrolan itu dengan beranjak masuk ke dalam.

"Nanti rugi loh."

Wanita itu mencebik seraya melempar tatapan pada langit malam. Fale baru sadar keadaan di luar sedikit berangin hingga membuat anak rambutnya terasa berterbangan. Pantas saja sejak tadi Edgar tampak sibuk menyisir rambut dengan jari. Ia pikir pria itu sedang bersikap seperti biasa yang suka tebar pesona.

"Oh, iya. Nanti kirimin nomor Zola, ya."

Fale kembali memberi atensi pada pria yang sedang menatapnya. "Males, minta aja sendiri. Gue keberatan jadi perantara."

"Bukan perantara, Fal. Gue cuma minta tolong kirimin nomor Zola. Tadi pagi dia ngajak nonton, tapi gue lupa minta nomornya."

"Kapan?"

Edgar kembali menyeringai jahil. "Sabtu ini. Awalnya gue tolak karena gue pikir lu perlu bantuan buat make over kamar," ungkapnya santai dengan senyum kecil yang belum hilang. "Anyway, lu udah dapet jasa interiornya?"

Fale terdiam sebentar. "Belum, sih," ucapnya sesaat kemudian setelah berdeham pelan. "Nanti gue kirim nomor Zola."

"Serius nggak mau gue bantuin?"

Fale yang hendak masuk untuk menyudahi obrolan itu, kembali menoleh pada pria di seberang balkonnya. "Katanya lu mau jalan kan, sama Zola."

"Iya, tapi kalau lu berubah pikiran gue batalin. Lagian gue belum buat janji, baru agenda doang." Edgar menatap lekat-lekat wajah yang tampak memikirkan sesuatu, lalu melirik tangan Fale meremas besi memanjang yang jadi pembatas balkon.

"Oke, Sabtu bantu gue beres-beres kamar," putus Fale singkat sebelum bergegas masuk kamar tanpa menunggu tanggapan Edgar yang saat ini sedang tersenyum tipis menatapnya.

Lima menit kemudian.

Fale dan Paris.
Ini nomor Zola.
(Send kontak : Zola si loading lama)

Edgar.
Nggak usah, udah nggak perlu.

Baiklah, mari kita saksikan aksi aligator air payau yang berniat mendekati singa betina setelah hibernasi panjang. wkwkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top