SIP : Bab 26 (END)

Yuhuu, kita bertemu kembali yess. Boleh banget tandai typo yang mengganggu jalan cerita sepasang sepupu ini.
So, selamat membaca sadayana🍒

Setelah bertemu dengan Sakala yang dipaksa untuk makan siang bersama, Edgar kembali ke apartemennya dengan keadaan yang masih marah. Sebenarnya sejak keluar dari kamar dan mengingat ada pria di dalam apartemen Fale, Edgar berusaha sebisa mungkin tak menyambangi unit milik wanita itu dan berteriak marah-marah pada sang pemilik tempat.

Namun, setelah pulang bertemu Sakala yang ia ceritakan sedikit alasan dari perasaan kesalnya, niat Edgar yang ingin menenangkan pikiran dengan cara bermain musik harus tertunda. Ia melangkah tegas untuk menggedor pintu apartemen Fale, menekan belnya berkali-kali, hingga menggeram kesal karena tak mendapat jawaban apa-apa.

Memilih masuk ke apartemen sendiri, Edgar mulai cara menenangkan diri dengan sibuk menjajal satu persatu alat olahraga yang ada di sana secara bergantian. Sambil menghabiskan tenaga ia mulai berpikir kalau hubungannya dengan Fale mungkin memang tak bisa lebih dari sekadar sepupu. Wanita itu sudah menegaskannya, kan. Jadi untuk apa memaksakan hal yang membuat ia selalu kesal.

Setelah puas dengan barbel seberat 2,5kg, Edgar beralih memakai treadmill yang baru seminggu lalu ia beli. Berjalan cepat di atas benda itu sambil memakai headset yang sedang memutarkan lagu favorit, kegiatan tersebut tertunda dengan suara bel yang samar-samar ia dengar. Edgar mengernyit sebelum menghentikan pergerakan mesin yang sedang dipakai. Kemudian, beranjak menuju pintu sembari menyugar rambut yang lepek karena keringat.

"Fal-"

"Lu habis apa?" Pertanyaan itu meluncur dari bibir Fale disertai perasaan takut yang membuatnya terlihat gugup.

Kernyitan di kening Edgar kian jelas. "Gue abis olahraga. Sorry, nggak kedengeran bunyi bel soalnya pakai headset."

"Olahraga?"

"Iya."

"Olahraga beneran?" Ragu-ragu Fale menggeser kepala untuk melirik ke balik punggung Edgar.

"Emang ada cabang olahraga bohongan?"

Edgar makin mengernyit saat wanita di hadapannya terlihat aneh. Lantas kepalanya mulai mengingat kejadian tadi pagi saat ada pria di apartemen Fale. Setelah itu Edgar mendengkus pelan sambil melipat tangan di depan dada yang masih berlumuran keringat.

"Mau ngapain ke sini? Oh, baru selesai nge-date, ya."

"Gue sama Arif ... kayaknya kita perlu ngobrol deh, Ed."

"Ya udah, obrolin aja di sini."

"Di sini?"

Edgar mengangguk setengah hati.

"Di depan pintu?"

"Iya. Apa yang mau lu omongin?"

Kecurigaan Fale tentang seorang wanita dalam apartemen Edgar kian menanjak saat pria itu tak mempersilahkannya masuk. Ia melangkah maju, ingin melihat langsung situasi di sana dan mengetahui ada apa sebenarnya. Apa pria itu benar-benar olahraga normal atau olahraga dalam bentuk yang ambigu? Namun, belum sempat kakinya masuk tangan Edgar sudah lebih dulu menahan bahunya dan mendorong ia kembali ke tempat.

"Nggak boleh masuk!"

Fale mengernyit dengan kecurigaan yang kian besar. "Kenapa?" tanyanya sambil memicingkan mata.

"Hak gue buat terima tamu atau nggak. Sekarang gua nggak mau nerima orang masuk ke apartemen. Kalau lu mau ngobrol, cepet ngomong ... heh! Falea!" bentak Edgar saat wanita itu menerobos masuk seenaknya saat ia sedang bicara. "Fale!" sambungnya masih dengan nada tinggi.

"Apa?!" balas Fale tak kalah dengan nada yang disuarakan Edgar.

"Keluar!"

Fale menulikan telinga. Ia malah berjalan menuju ruang tengah dan melihat treadmill yang monitornya masih menyala. Kemudian, kembali menatap Edgar yang masih berdiri di depan pintu.

"Lu habis olahraga pakai treadmill?"

"Lu ngapain, sih, Fal?! Iya gue habis lari di treadmill."

"Lari?" Fale berdeham malu saat otak kotornya yang menuduh Edgar tak berbukti benar.

"Menurut lu aja, selain lari apa? Paling jalan nggak mungkin gue kayang!" Edgar berdecak malas melihat Fale yang tiba-tiba memalingkan wajah. "Udah sana keluar! Gue mau lanjut olahraga!"

"Lu beneran lagi marah sama gue, Ed?"

"Menurut lu?!"

"Menurut gue iya."

"Ya bagus berarti nggak bego-bego banget jadi cewek. Sekarang keluar!"

Fale kembali mengabaikan perintah Edgar. Ia masih berdiri di tempatnya berada. "Karena Arif, ya? Ed, gue ... maksudnya, gue sama Arif emang sahabatan dari kecil. Kami nyaman kalau lagi sama-sama tapi bukan berarti-"

"Gue bilang keluar, Falea!" Tatapan Edgar mulai tajam. Rahangnya mengeras mendengar Fale menyebut nama pria itu.

"Kalau gue nggak mau!" balas Fale keras kepala. "Lu bener-bener nggak ada yang mau diomongin lagi sama gue?"

"Nggak ada!" Edgar berdecih sinis. Tangannya masih menahan pintu yang terbuka lebar agar wanita yang menerobos masuk ke apartemennya keluar karena sejujurnya Edgar tak tahu ia bisa menahan diri atau tidak setelah ini. "Keluar, Falea! Gue kasih waktu lima detik buat ambil keputusan kalau lu masih di sini, gue jamin lu bakal nyesel!" ancamnya tak main-main.

Tangan Fale yang menggantung di sisi tubuh mulai mengepal erat. Bukan karena takut dengan ancaman itu, tapi karena gugup sekaligus penasaran apa yang akan Edgar lakukan jika ia tetap di sana meskipun sekarang otak sialannya mulai menerka-nerka kurang ajar. Jadi, selama menunggu kemarahan Edgar kian meledak Fale tak bergerak sedikit pun dari tempatnya.

"Fale ...." Edgar mendesis kesal dengan suara rendah saat wanita itu masih bergeming. "Gue hitung, satu ... dua ... Berengsek!"

Benar saja.

Tak sampai waktu lima detik seperti yang dijanjikan, Fale sudah merasakan ciuman kasar dari pria yang bergerak cepat ke arahnya setelah membanting daun pintu. Menciumnya dengan penuh nafsu bersama tangan yang mengurung tubuhnya, lalu mendorongnya kasar hingga punggungnya merasakan tembok apartemen yang keras.

Tak membiarkan Edgar bekerja sendirian, tangan Fale bergerak menyusuri lengan hingga tengkuk Edgar yang terasa basah. Menekan kepala pria itu agar ciuman mereka makin intens dan menuntut. Namun, hal tak terduga terjadi saat tangan Fale mulai turun menggerayangi dada kokoh itu. Edgar melepaskannya tiba-tiba, bergerak menjauh dengan tatapan mengancam dan napas memburu.

"Keluar, Fal! Lu bener-bener bakal nyesel kalau nggak keluar dari sini."

Fale tak menjawab. Kondisinya yang tak beda jauh dengan Edgar membuat kosa kata dalam kepalanya terasa hilang untuk menyahuti perintah itu.

"Falea-"

Berdecak kasar menanggapi ucapan Edgar, giliran Fale yang bergerak menyerang bibir pria itu. Mendorong Edgar sambil terus menciumnya dengan gerak tergesa-gesa.

"Gue mungkin lebih nyesel kalau keluar dari sini," ucap Fale di sela-sela ciuman mereka dan tepat setelah itu bibir Edgar kembali menyapu bibirnya, menyesapnya kuat, melumat, bahkan menggigit secara gemas.

Dan setelahnya kejadian tujuh bulan lalu di Paris kembali terulang lagi. Bedanya, kali ini mereka melakukan itu dalam kondisi yang benar-benar sadar.

Sadar dengan keadaan, sadar dengan status, dan sadar dengan perasaan masing-masing.

***

Fale bukan orang yang suka dengan tantangan. Bukan menganggap semua sepele, hanya saja berpikir untuk apa membuang waktu dengan hal yang tak menjanjikan apa-apa.

Dulu ia ingin menjadi dokter saat berusia 15 tahun. Keinginan itu membuat ia menggemari dunia medis, mata pelajaran yang bersangkutan, hingga selalu bersemangat jika mengantar kerabatnya ke rumah sakit. Ia suka bau obat-obatan, jas putih yang menempel di tubuh seorang dokter, serta tulisan yang hanya bisa dibaca oleh ia dan orang-orang tertentu saja.

Namun, saat lulus SMA ibunya menawarkan ia masuk ke dunia bisnis. Katanya keturunan Wirasena limited edition dan ia menjadi salah satu harapan di perusahaan raksasa yang sudah bertahun-tahun didirikan oleh kakeknya. Fale memikirkan hal itu secara matang, lalu tak lama mengambil keputusan kalau ia setuju dengan tawaran sang ibu karena berpikir masa depannya memang terlihat lebih cerah jika berkecimpung dalam bisnis besar yang sudah ada di depan mata.

Sifat tak ingin ambil pusing benar-benar diterapkan Fale dalam hal apa pun, termasuk asmara. Fale pernah berpacaran saat kuliah, lalu saat mantan kekasihnya mulai berulah ia memilih melepaskan begitu saja. Baginya malas mengemis sebuah penjelasan untuk hal yang sebenarnya hanya jadi pemanis masa-masa muda.

Pikiran Fale sesimpel itu.

Bahkan saat ingin membaca novel baru. Selain blurb yang diperiksa, hal yang harus ia baca adalah halaman terakhir dalam buku tersebut. Fale ingin tahu ke mana penulis menggoreskan takdir untuk tokoh ciptaannya. Apa berakhir bahagia atau malah sebaliknya. Jika ending-nya tak ia minati maka Fale tak akan jadi beli. Bukan tak suka dengan akhir tak bahagia dalam sebuah novel, hanya saja merasa cukup kehidupan saja yang penuh dengan kejutan. Untuk bahan bacaan ia lebih tertarik dengan karya seseorang yang membawa ia berimajinasi tentang sebuah kebahagiaan, lalu menerapkannya di dalam kehidupan.

Namun, hari ini Fale mengambil sebuah tantangan. Berjalan masuk ke hubungan yang tak tahu akan berakhir seperti apa. Jadi, sambil menarik napas dalam-dalam, ia bangun dari tempat tidur yang semalam digunakan. Menelisik sebentar tempat yang semalam tak sempat ia amati sebelum tersenyum kecil melihat kaus kebesaran yang membungkus tubuhnya.

"Gue sebenernya suka sih, lihat cewek pakai kemeja kegedean. Apalagi kalau nggak pakai bra sama celana dalem. Cuma pakaian itu nggak cocok buat tidur. Nggak nyaman. Jadi lu pakai kaus lengan panjang gue aja, ya. Ini lebih enak dipake tidur."

Begitu kata Edgar setelah mereka benar-benar selesai dengan seks yang berulang kali dilakukan, lalu membantunya memakai kaus lengan panjang tanpa memperbolehkannya mengenakan bra. Pria itu menambahi dengan kalimat yang membuat Fale tertawa geli.

"Gue pernah baca di internet kalau cewek yang tidur pakai bra berisiko kena kanker payudara. Ngeri banget, kan. Ya udah nggak usah pakai bra mulai sekarang."

Padahal selama ini Fale memang selalu melepas pengait bra saat tidur. Namun, karena lelah dan mengantuk Fale mengangguk saja mendengar titah Edgar yang membawanya tidur ke dalam pelukan.

Selesai dengan urusan kamar mandi, Fale yang berjalan sambil mengikat rambutnya asal mulai keluar dari kamar. Ia sedikit lapar tapi tujuannya bukan sarapan melainkan bertemu dengan pemilik tempat. Kemudian, saat melihat jendela balkon terbuka lebar, senyum yang sulit ia usir kembali muncul di bibir.

Sembari membawa langkahnya, Fale meremas lengan baju yang kepanjangan. Lantas melihat punggung kokoh Edgar yang sedang menumpu siku di pembatas balkon. Pria itu hanya memakai celana pendek berwarna hitam, membiarkan bagian atas dipajang seperti semalam.

"Lagi ngerokok, ya?"

Edgar langsung menoleh. Ia tersenyum sambil memutar tubuh, berjalan menuju kursi balkon untuk meletakkan cangkir kopi di tangan sebelum meraih lengan Fale dan membawa wanita itu ke pembatas balkon.

"Sekarang ada yang lebih candu dari rokok, Fal," kata Edgar sambil bergerak membuat Fale bersandar di pembatas dengan ia yang mengurung santai. Posisi mereka berhadapan sekarang. "Baju gue jadi gaun gini, ya, Fal," lanjutnya setelah mengamati tampilan Fale.

Fale mendengkus pelan sebelum meletakkan tangan di bahu Edgar. "Gue udah laper," ujarnya sambil menerima kecupan singkat di ujung hidung.

"Laper mau makan gue?"

"Ck, serius!"

Edgar tertawa. "Pesen aja, ya. Gue nggak punya makanan apa-apa di dapur. Biasa gopud soalnya."

Fale hanya mengangguk saja. Tangannya masih di bahu pria itu dan tatapannya mulai mengamati wajah dengan variasi rambut pirang tersebut, lalu melihat senyum tipis Edgar yang menciptakan lesung pipi, mata besar dengan netra segelap malam, hingga tatapannya jatuh pada kissmark di bawah dagu pria itu. Fale berdeham samar sambil melepas pandangan dari sana. Kemudian, mengingat-ingat kejadian semalam.

Ia tak menghitung ada berapa tanda di tubuhnya yang dibuat Edgar. Dan pria itu dengan sombong menantangnya membuat hal yang sama. Edgar memintanya membuat kissmark di bawah dagu yang jelas ada di area mudah terlihat dan Fale benar-benar tak menyangka dengan bekal ilmu yang dipelajari dalam waktu kurang dari sepuluh menit ia bisa membuat tanda itu. Meski kecil tapi terlihat begitu merah dan nyata.

"Fale?"

"Hmmm."

"Lu sama Arif gimana?"

Fale tersenyum. Ia turunkan tangannya dan membiarkan lengan kokoh Edgar mulai melilit pinggangnya. "Gue nggak ada apa-apa. Mungkin yang kemarin dibicarain Mama bener, cuma gue yakin Arif nggak akan maksa kalau gue nggak setuju."

"Sekalipun dia maksa gue yang bakal nentang."

Fale membersit geli sebelum merasakan wajah Edgar mendekat dan dalam waktu kurang dari dua detik, ciuman manis di pagi hari mulai dirasakan. Sambil mengangkat tangan untuk mengalung di leher Edgar, Fale balas ciuman itu pelan-pelan dan merasakan tubuhnya kian menempel pada dada bidang di depannya.

"Kayaknya gue mau ke minimarket dulu, deh." Edgar berujar setelah melepas ciuman.

"Ngapain? Katanya mau pesen aja."

"Kondom gue habis." Pria itu menundukkan kepala di bahu Fale. "Gue kayaknya bakal terus kecanduan nidurin lu deh, Fal. Apa gue minta izin resmi aja sama Tante Lani biar legal?"

"Emang berani?"

"Kenapa nggak?" Edgar menjauhkan wajah sambil menatap sepasang telaga bening di sana. "You want a piece of me, Babe?" sambungnya dengan smirk khas lalu kembali mempertemukan bibir mereka. Memulai ciuman yang lebih menuntut dari sebelumnya.

Dan inilah tantangan yang diambil Fale.

Edgar adalah sebuah tantangan baginya. Meskipun belum tahu takdir apa yang akan mereka lalui, untuk saat ini Fale ingin menikmati debaran aneh tiap kali Edgar menciumnya, memeluknya, mengatakan hal gila yang membuat ia tak bisa berkata-kata, lalu membawanya merasakan banyak hal yang belum pernah ia coba.

Intinya Fale hanya ingin Edgar dalam hidupnya.

S. E. L. E. S. A. I.

Finally bisa menyelesaikan satu cerita lagi😭

Ada yang mau kalian utarakan? Tulis di sini!

Sebelum kalian memprotes diriku karena tak membawa mereka sampai ke jenjang pernikahan, aku mau bilang makasih banyak sudah menemani tulisanku lagi sampai akhir🥺🤧

Jadi cerita ini challenge menulis 25 hari, nanti kalau ada kabar apa pun tentang pasangan sepupu yang mesum ini, aku pasti kabari di lapak ini. Jadi tungguin kabar mereka, ya.

Udah ya.

Aku pegel ngetiknya.

Happy weekend 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top