SIP : Bab 24.

Edgar tak mengerti kenapa ia tak bisa menenangkan diri.

Puas menguasai jalanan dengan roda duanya, ia meluncur menuju tempat tinggal sahabatnya yang belum lama ini menetap di Jakarta. Edgar tak yakin jika memilih pulang ke apartemen ia tak akan membuat keributan di depan kamar Fale. Berteriak marah pada wanita itu dan membuat para tetangga terganggu.

Jadi, pilihannya saat ini adalah apartemen sahabatnya.

"Ed, gue mau keluar."

Pria dengan kaus oblong dipadu celana training itu menoleh. Gitar akustik sudah sejak tadi ada dipangkuannya sedangkan sebatang rokok yang tersisa sedikit lagi masih tersangkut di antara bibir dan mengeluarkan asap beracunnya.

"Mau kemana, Sak?"

Sambil mengikat tali sepatu pemilik nama Sakala itu menyahut, "Kampus. Ada temen yang ngajak ketemuan di sana." Lalu menoleh pada pria yang datang sekitar jam dua dini hari. "Omong-omong lu kenapa, sih?"

"Gue?" Edgar menunjuk diri sendiri dengan raut wajah yang berpura-pura bingung.

"Bukan!" ketus Sakala sambil menyambar ranselnya. "Tapi satpam gedung!"

"Oh. Mana gue tahu, tanyalah sama satpam gedung." Kembali memetik senar gitar secara asal, Edgar yang baru saja mengisap rokoknya memilih tak acuh dengan tatapan menyelidik Sakala. "Kulkas lu ada isinya, kan?"

Sembari mendengkus kuat, pria yang sedang mengambil gelar master di bidang teknik informatika itu mulai bangun dari posisinya. "Nggak ada. Cuma minuman doang, lu gopud aja kalau mau makan." Sakala menyampirkan tali ransel di salah satu lengan setelah menjawab.

"Oke." Edgar mengangguk malas.

"Gara-gara cewek, ya?" tebak Sakala sambil melipat tangan di dada.

"Nggaklah gila!" kilah Edgar lalu meletakkan gitar di atas meja sebelum beranjak menuju balkon yang lebih kecil daripada miliknya.

"Oh, kirain. Kalau iya gue cuma penasaran sama bentukan ceweknya." Sakala kembali menanggapi santai. "Ya udah, gue cabut dulu!"

Sementara itu, Edgar yang kembali mengepulkan asap di udara sedang sibuk mengumpat marah dalam hati. Tatapannya jatuh pada sebatang rokok yang dijepit di jari, lalu pikirannya kembali mengingat pertengkaran cukup hebat hingga mengundang emosi lagi.

Menggusur bara api di ujung gulungan tembakau pada pembatas balkon, Edgar berdecak malas sambil melempar sisa rokok ke sembarang arah. Lantas menyugar kasar rambutnya sebelum mengepalkan tangan erat hanya untuk menyalurkan emosi yang kembali meledak-ledak di dada.

****

"Oh, ya udah hati-hati, Ed. Kalau masalahnya rumit atau kamu butuh bantuan hubungin Papa. Kamu juga bisa tanya Pak Hardi kalau bingung di sana."

"Oke. Edgar berangkat sekarang, Pa. Nanti Edgar kabarin kalau udah sampai."

"Iya, iya. Hati-hati, Ed."

Percakapan ayah dan anak dalam sambungan telepon itu berakhir. Edo kembali duduk di kursi kerjanya sebelum memasukkan ponsel ke saku jas, lalu memberi atensi pada sang sekretaris yang duduk di sofa sambil memeriksa beberapa berkas yang harus lebih dulu ia urus.

"Gimana, Fal? Ketemu berkasnya?"

Tak ada jawaban.

"Oh, iya. Nanti kamu cari salinan kerja sama PT. Inhyo Global, ya. Kemarin Om denger ownernya masuk rumah sakit, Om mau lihat saham tertinggi sekarang dipegang siapa," imbuhnya masih menatap Fale yang terdiam sambil memegang berkas. "Falea?" panggilnya sambil mengernyit.

"Eh, iya Om?" Fale tersentak dari pemikiran yang sudah tiga hari ini tumpang tindih di kepalanya. "Kenapa, Om?" sambungnya sambil memberi atensi pada pria di balik meja kerja.

"Kamu kenapa? Sakit?"

"Eh, nggak Om." Fale menghela napas dalam-dalam sambil merapikan berkas yang sebenarnya sejak tadi ia abaikan. "Tadi Om abis teleponan sama Edgar, ya?" tanyanya sedikit ragu.

"Iya. Ada masalah sama material yang ada di Batam, menurut Pak Hardi sih, nggak serius banget. Tapi dia butuh orang yang bisa diajak ngobrol soal laporan suplai material baru."

Fale manggut-manggut sambil menekan diri agar tak begitu agresif karena ingin tahu kabar pria yang sejak malam itu tak pulang ke apartemen. Fale yakin hal itu karena sudah tiga hari ia tak melihat lampu di balkon Edgar menyala saat malam dan parahnya di perusahaan pun pria itu seperti menghindar. Tak pernah menyambangi gedung staff atau bergabung makan siang bersama seperti yang sudah-sudah.

Edgar sepertinya benar-benar marah.

"Tadi Om minta salinan kerja sama PT. Inhyo Global, Fal. Ketemu nggak?"

"Ketemu, Om." Fale beranjak memberikan dua berkas dalam map biru, sedangkan sisanya ia simpan di lemari arsip. "Om mau makan siang di rumah atau pesen kayak biasa?"

"Pesenin aja, Fal. Makanan Sunda yang seminggu lalu itu boleh."

"Oh, oke. Fale pesenin, ya. Kalau gitu Fale keluar dulu."

Edo hanya mengangguk pendek sambil membuka lembaran berkas yang sudah ada di tangannya.

***

"Masih nggak bisa dihubungin, Fal?" bisik Mira saat berjalan bersama Fale ke kafetaria sedangkan Zola sudah ada di depan mereka untuk memilih tempat duduk di sana.

"Kayaknya udah, tadi Om Edo nelepon."

"Terus lu nggak mau telepon lebih dulu gitu? Atau nge-chat duluan, kek?"

"Dih, ngapain?" Meski menjawab demikian, Fale sedikit tergoda dengan usulan Mira.

"Halah! Kangen kan, lu!" Mira mencebik malas sambil menyenggol lengan Fale dengan sikunya. "Tapi masa bodoh lah, yang nahan kangen kan, lu bukan gue."

"Gaisss, di sini aja duduknya!" Dari arah meja bundar yang dekat dengan tembok, Zola berteriak sambil mengangkat sebelah tangan.

Tanpa membuang banyak waktu, Fale dan Mira berjalan menghampiri gadis yang sepertinya sudah terbebas dari perasaan galau seperti beberapa waktu lalu.

"Eh, kalian tau nggak Pak Adimas yang bagian HRD itu?" Zola memulai obrolan dengan nada hiperbol seperti biasa saat Fale dan Mira sampai di hadapannya. "Yang kemarin ke ruangan marketing, Mir. Inget nggak yang masuk barengan sama Pak Alka?" lanjutnya sambil menatap Mira yang duduk di sampingnya.

"Oh, itu." Mira mengangguk mengiyakan.

"Kalau dilihat-lihat kayak Hyun Bin nggak, sih?"

"Gue colok sumpit mi ayam lu, ya, sama-samain Hyun Bin sama lelaki lain?!" ancam Mira sambil bangun dari tempatnya dengan raut ketus andalannya. "Fal, lu mau pesen apa?" Kali ini ia menoleh ke arah wanita yang baru saja terkikik geli.

"Samain aja."

"Gue juga samain aja, Mir." Zola menyengir saat tatapan tajam Mira masih dilayangkan padanya. "Ya udah sih, gue kan cuma nanya," sambungnya setelah Mira sudah benar-benar pergi menuju kedai makanan.

"Emang semirip itu sama Hyun Bin?" Pertanyaan Fale menarik atensi Zola.

"Menurut gue sih, mirip sedikit. Cuma Pak Adimas lebih ke hitam manis sama dia punya gigi gingsul, Fal. Mungkin gambaran Hyun Bin masih ngekos di Lenteng Agung."

Fale mendengkus saja mendengar cekikikan dari mulut Zola yang baru saja menjelaskan ciri-ciri pria yang disebut-sebut mirip aktor Korea. Dan Fale yakin, tanpa melihatnya pun pasti kemiripan yang sedang dibicarakan Zola tak lebih dari 0,5% kebenarannya.

***

Jika lebih dipikirkan Fale tak pantas kesal dengan Edgar.

Mungkin sikap menyebalkan pria itu dan cara bicara yang frontal patut ia permasalahkan, tapi merasa kesal karena Edgar tak memberi kabar bukankah aneh untuk didengar.

Dari informasi tipis yang Fale dapat secara cuma-cuma, pria itu akan menetap di Batam sekitar satu Minggu. Menggantikan CEO di perusahaan utama untuk meninjau masalah di sana sebelum kembali membawa beberapa informasi. Namun, baru empat hari Edgar di sana tanpa pesan apa-apa atau sekedar bertanya kabar, Fale sudah merasa kesal sendirian.

Kendati demikian, gengsinya masih mengalahkan Burj Khalifa untuk lebih dulu bertindak mengirim pesan pada Edgar. Jadi selama pria itu di sana, Fale sebisa mungkin menyibukkan diri agar bayangan rasa bersalah entah karena apa tak begitu mengganggunya.

Sambil membawa tungkai menuju elevator, Fale yang malam ini berniat menginap di rumah Mira kembali ke apartemen hanya untuk mengambil beberapa barang penting dan baju ganti.

Mira sudah tahu semuanya kecuali kejadian di Paris. Fale pikir lebih mudah menceritakan keluh kesah yang membuatnya sedikit bingung pada orang yang sudah paham masalahnya. Jadi, mengingat besok libur pertama di Minggu ini Fale ingin berbagi cerita atau mungkin berbagi sedikit rasa kesal dan gelisah pada sahabatnya.

"Gue nggak mau ya, nanti lu malah jadi cewek tolol yang manfaatin Arif karena mau ngehindar dari perasaan lu sama Edgar. Jangan mutusin apa-apa dulu kalau perasaan lu masih ngambang kayak kapas jatuh di air. Yakinin dulu mana yang patut lu pilih atau lu utamain, kalau udah yakin hubungan lu sama Edgar nggak akan berhasil ya udah sama Arif. Tapi kalau lu masih penasaran buat nyoba sama Edgar, bilang ke Arif gimana perasaan lu ke dia sekarang. Demi anak pertama Hyun Bin yang lucunya menembus Alam Barzah, gue geregetan banget kalau ada orang plin-plan dan ujung-ujungnya nyakitin perasaan orang!"

Fale bahkan masih ingat bagaimana nada ketus dan raut wajah Mira saat mengoceh di telinganya tadi siang. Biasanya Fale akan mendengkus malas atau merotasikan mata mendengar omelan sahabatnya, tapi kali ini ia hanya diam sambil mendesah pasrah.

Sampai di depan pintu lift yang sepertinya sedang membawa seseorang, Fale sesekali memeriksa ponsel dalam genggaman. Lantas saat gerbang mini itu terbuka tanpa membuang waktu banyak kakinya terayun mantap memasuki ruang kosong sebelum terkejut dengan seseorang yang tiba-tiba bergabung dengannya.

Lucunya hal itu tak hanya dirasakan Fale saja. Pria dengan kemeja biru muda dipadu celana jin hitam itu juga sedikit mengangkat alis saat melihat Fale ada di sana.

Fale berdeham sambil menekan tombol ke lantai atas saat Edgar memilih tempat paling pojok. Sebelah tangannya meremas tali tas sedangkan kakinya terasa kaku hanya untuk bergerak.

"Baru pulang dari Batam?" Fale bertanya tanpa menoleh.

Suara gumaman kasar yang terjebak di dada Edgar menjawab pertanyaan Fale. Ia melirik pantulan orang di belakangnya dari tembok lift di hadapan. Pria itu tampak memejamkan mata, berdiri dengan kepala yang bersandar santai, lalu melipat tangan yang tak terbungkus sempurna oleh lengan kemeja ke bawah dada.

Setelah itu hanya keheningan yang ada.

Fale mulai ragu untuk memulai percakapan. Ia masih berpikir positif kalau Edgar mungkin hanya lelah setelah pulang dari perjalanan jarak jauh meskipun pemikiran itu seperti sedang membohongi diri. Jadi, suasana tersebut benar-benar bertahan hingga suara yang menandakan lift sampai tujuan mulai terdengar.

Fale benar-benar menunggu pintu terbuka lebar baru mengayunkan tungkai untuk keluar. Setelah itu ia mendengar langkah mantap yang mengikutinya di belakang. Dalam keadaan seperti ini, Fale merasa geli dengan diri sendiri karena berharap Edgar menarik tangannya, bicara dengan seringai licik, sebelum menciumnya seperti yang sudah-sudah.

Dan demi Tuhan dalam hati kecilnya, Fale benar-benar merasa ngeri saat otaknya berpikir seperti sekarang ini.

Sampai pada pintu apartemen, Fale tak lekas memasukkan sandi. Ia menoleh pada Edgar yang begitu santai menekan angka pada smartlock di unit apartemennya, lalu masuk tanpa memberi sedikit pun atensi.

Dan Fale tak mengerti kenapa perasaannya makin tak karuan seperti ini?

Di vote ya guys.
Makasih 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top