SIP : Bab 22.
Rencana Fale gagal.
Keinginan bertemu teman-temannya harus diurungan karena Edgar. Bukan mempermasalahkan kehadirannya, Fale hanya takut kejadian beberapa waktu lalu terulang. Pria itu kelewat menyebalkan jika dalam situasi tak terduga. Jadi daripada memberitahu lokasi Mira dan Zola, Fale yang baru mengirim pesan tak bisa datang pada dua sahabatnya memilih kafe secara asal karena Edgar begitu berisik menanyakan ke mana arah tujuan.
Sebenarnya ini belum masuk waktu makan siang. Namun, mau bagaimana lagi? Fale benar-benar tak mau mengajak Edgar ke perkumpulan sahabatnya. Terlebih mengingat Zola yang masih galau karena harapannya tak disambut baik oleh Edgar.
"Oh, mau ngajak nge-date ya sebenarnya?" Edgar tersenyum jenaka saat mobil yang berhasil ia bawa 'paksa' diperintah berhenti di depan pelataran kafe. "Gue nggak bawa dompet. Sekarang lu yang bayar, next time gue yang tanggung. Kalau mau gue akomodasiin sampai penginapan," sambungnya setelah keluar dari kereta besi itu dan berjalan bersama Fale menuju pintu masuk.
"Ck, dasarnya mokondo!"
Edgar tertawa kecil. "Serius Fal, gue nggak kantongi uang sama sekali. Tadi kan gue lagi asyik ngobrol sama satpam waktu lu ngajak jalan."
"Siapa yang ngajak!" bantah Fale sewot sambil melirik ke sekitar dan berharap omelannya tak memancing perhatian.
See, Edgar benar-benar menyebalkan, bukan?
"Oh, tadi gue nggak diajak cuma inisiatif aja, sih. Kreatif, kan?" Membawa Fale duduk di kursi paling pojok, Edgar yang melihat wanita itu ingin menempati sofa yang dekat tembok gegas melarang tanpa aba-aba. "Jangan duduk di sini, lu kalau lagi makan pasti belahan dadanya kelihatan. Gue udah lihat beberapa kali soalnya waktu di mobil."
Refleks menyentuh dada sambil menarik tank topnya, Fale mendelik kesal saat Edgar dengan santai menariknya duduk menghadap tembok. Kadung sewot dengan ucapan itu satu pukulan keras Fale layangkan di lengan pria yang malah tertawa sebelum beranjak menempati kursi yang sempat ia pilih.
Sedangkan Edgar memilih abai saja dengan keberangan Fale yang melotot ke arahnya. Ia sudah duduk tenang sebelum mendongak menatap seorang pelayan wanita yang datang sambil membawa buku menu di tangan.
"Permisi, Mas sama Mbak-nya mau pesan makanan sekarang?" tanya pelayan itu sopan.
"Mau makan apa, Fal?"
Fale berdecih sinis. Siapa pun yang mendengar hal itu, pasti menyangka kalau Edgar yang membayar makanannya.
"Summer strawberry Yakult sama pisang keju, Mbak." Fale memilih tak banyak memeriksa daftar menu, ia langsung memutuskan tanpa pikir panjang.
"Baik, kalau Mas-nya?" Pelayan itu beralih pada Edgar yang masih melihat-lihat buku menu.
"Ice Amerikano sama martabak telor toping keju."
"Baik." Wanita dengan seragam khas itu mengangguk paham. "Pesanan datang paling lama 25 menit lagi, jika terlambat dari waktu yang tertera dalam struk dapat free lemon tea." Lalu menarik bill yang keluar dari mini printer thermal dan dengan santai memberikan itu pada Edgar.
"Yang bayar saya, Mbak. Dia nggak modal!"
"Oh, maaf Mas." Pelayan tersebut meringis tipis.
"Nggak apa-apa." Edgar tersenyum ke arah pelayan sebelum menambahi, "Mbak kalau lihat ada cowok yang bayarin makan berarti itu pacarnya, kalau yang bayar cewek berarti istrinya. Paham kan, Mbak?"
"Oh, iya Mas. Saya paham."
Sementara itu, Fale rasanya tergoda menyambar alat di tangan pegawai kafe untuk memukul kepala Edgar yang saat ini melempar senyum menyebalkan. Setelah wanita berseragam itu pergi, Fale harap ada laser merah yang keluar dari matanya saat menatap Edgar. Melubangi kepala pria itu sampai ke otak sebelum ia tertawa puas.
Fale tak mengerti kenapa kepalanya selalu berpikiran random jika menyangkut tentang Edgar. Ia rasa sikap konyol pria itu lama-lama menular seperti penyakit berbahaya.
"Omong-omong gue denger Alka Minggu depan pindah rumah, ya?"
Fale mengangguk malas. "Katanya Mbak Sally sih, yang dari dulu mau keluar."
"Jadi, kalau nanti Alka udah out dari rumah lu bakal pulang?"
Fale terdiam sesaat sambil memicingkan mata pada wajah pria di depannya. "Mungkin."
"Di apart aja sih, Fal."
"Kenapa ngatur-ngatur?"
"Bukan ngatur cuma ngusulin."
"Terserah gue lah mau pulang atau stay di apart. Lagian pas ada lu gue jadi nggak nyaman."
Bahu Edgar sedikit bergetar menahan kekehan gelinya mendengar ucapan Fale. "Nggak nyaman kenapa, sih? Gue nggak pernah nerobos masuk ke kamar lu malem-malem. Kalau pun iya paling cuma mimpi. Itu pun lu doang yang tahu."
Fale mendengkus sebal seraya melipat tangan di dada.
"Nggak jadi ketemuan sama temen lu itu?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Lu pasti ganggu!"
"Bukan gue, tapi dia. Menurut lu siapa yang ganggu kalau ada orang kencan, nggak mungkin cowoknya pasti orang ketiga, kan? Kalau orang ketiganya setan efek gangguannya enak, kalau orang ketiganya berbentuk manusia yang ada bikin emosi."
"Lu orang ketiganya."
"No! Kalau pun iya gue bakal lebih gila ganggunya daripada setan."
"Udah gila, kan? Belum sadar, ya?"
"Belum, hari ini baru sadar kalau gue pacar lu. Sisanya belum."
Fale ingin kembali mendengkus mendengar kata pacar yang meluncur santai dari mulut Edgar, tapi yang keluar hanya bersitan geli hingga nyaris jadi kekehan kecil. Sepertinya mulai sekarang ia harus terbiasa dengan ungkapan nyeleneh Edgar yang kali ini lebih aneh dari biasanya.
***
Jika manusia senang berencana, maka sebelum berharap pada Tuhan untuk mewujudkan, ada mood kurang ajar yang menentukan. Contohnya wacana beberapa hari lalu saat Mira begitu menggebu-gebu mengusulkan staycation ke Bali.
Kemudian, sehari setelahnya wanita itu mengkonfirmasi lewat grup chat kalau rencana tersebut dibatalkan atau tepatnya diundur karena ada hal yang tak bisa ia tinggal. Entah hal apa yang dimaksud, tapi wanita berperawakan bak model itu bilang kalau tanggal saat ini tak cocok dengan kegiatannya.
Kegiatan sampingan yang menjadikannya beauty blogger cukup terkenal di kalangan para wanita kantoran.
"Oh, iya Kaf. Gue mau tanya deh, cuma iseng doang, sih." Mira yang memulai.
Saat ini Mira, Zola, Fale, dan Kafi yang ditugaskan menjaga rumah makan milik kakak laki-lakinya sedang mengisi salah satu meja makan di dekat jendela. Biasanya jika libur kerja, Kafi memang ada di sana entah membantu atau sekedar menumpang makan.
"Apa?"
"Dalam Islam itu yang nggak boleh nikah selain adik-kakak sekandung siapa aja, sih?"
Kafi mengernyit begitu juga Zola, sedangkan Fale yang duduk di samping Kafi nyaris tersedak minuman saat Mira bertanya hal tersebut. Ia berdeham sambil meletakkan minumannya ke atas meja, lalu memberi sorot peringatan pada Mira yang masih menatap Kafi. Tentu saja sedang menunggu jawaban pria itu.
"Kenapa nanya itu?"
"Nanya doang. Gue bilang kan tadi cuma iseng."
Zola memicingkan mata menatap sahabatnya. "Jangan bilang lu mau nikahin adiknya bokap lu yang duda itu?!" tuduhnya tak ragu-ragu.
"Heh! Sontoloyo! Pertanyaan itu nggak ada korelasi apa pun sama gue! Sembarangan banget kalau mangap!"
Zola menyengir. "Ya kali aja. Lu tiba-tiba banget nanya begitu."
"Sebenarnya itu bisa gua ambil contoh yang artinya nggak boleh. Bokap lu kan punya adik cowok, nah nggak boleh kalau misal ada drama kepingin nikahin lu karena mahromnya kuat."
Mira mengangguk paham. "Terus apa lagi?"
"Ada beberapa sih, setahu gue selama bukan mahram, sekandung, se-ayah, sepersusuan ya boleh-boleh aja. Cuma gua juga nggak begitu paham. Dan ada juga yang awalnya bukan mahram jadi mahram. Kayak misalnya nyokap lu dulu janda terus nikah sama cowok dan mereka udah ngelakuin hubungan suami-istri, kan. Nah, lu sama bokap tiri lu nggak boleh nikah kalau di masa depan ada takdir lain.
Kayak contohnya mereka cerai, terus beberapa tahun kemudian mantan bokap tiri lu ketemu sama lu dan kepingin nikahin, namanya rabibah intinya pernikahan itu diharamkan. Sebenarnya boleh kalau misal nyokap sama bokap tiri lu nggak pernah berhubungan intim waktu berumah tangga. Ya, kedengarannya mustahil sih tapi lu tahu sendiri kan, sekarang hal gila bukan rahasia lagi."
"Kalau sepupuan gimana, Kaf?" balas Mira cepat, bahkan mungkin tak mencerna penjelasan Kafi sebelumnya.
"Sepupu?" Kafi mengernyit mencerna pertanyaan Mira. "Kalau sepupu sepemahaman gue boleh kecuali keponakan. Kayak yang tadi gue jelasin, misal Om lu yang duda itu kepingin nikahin lu, Mir. Itu nggak boleh intinya. Bahaya juga nggak, sih? Satu gen soalnya."
"Maksudnya gimana-gimana? Kok, gue malah bingung sih, Kaf?" Zola menimbrung sambil mengaduk-aduk minumannya.
"Haduh! Gue ngeri kasih penjelasannya. Mending lu tanya sama Abang gue deh, nanti kalau beliau udah dateng ke sini. Bang Hilman pesantren tujuh tahun kalau gue cuma sembilan bulan. Nanti salah kasih pencerahan dosa yang ada."
Zola dan Mira mengangguk samar dan tanpa mereka perhatikan Fale yang sejak tadi mendengarkan ikut mengangguk sebelum bergerak cepat meraih minumannya.
"Intinya kalau masih lingkup saudara nggak boleh ya, Kaf?"
Kafi menoleh ke arah Fale yang baru saja bersuara. "Nah, mending cari aman aja deh yang nggak sepohon intinya. Tapi kalau emang ada takdir nikahnya sama kerabat, sih, ya nggak apa-apa selama boleh dalam hukum. Tapi yang tadi gue jelasin tuh, menurut kepercayaan gue, Fal. Lagipula kalau masih sedarah jatuhnya inses bahaya juga kan, menurut medis bisa cacat keturunan."
Dan Fale terus memikirkan hal itu.
Bahkan saat kakinya mulai memasuki rumah besar sang ibu yang tadi pagi mengatakan kalau ada makan malam keluarga yang memang diadakan sedikitnya dua kali dalam sebulan. Jika dipikir-pikir kenapa ia harus pusing karena obrolan random Mira yang membahas tentang menikah dengan kerabat. Ia tak menaruh harap apa-apa pada Edgar, jadi untuk apa dipikirkan?
"Baru dateng, ya?"
Fale terkesiap saat berjalan menuju ruang tengah dalam keadaan diam, lalu Edgar yang entah muncul dari mana merangkul bahunya dengan santai. Ia mendongak menatap pria itu, tapi kali ini tak berniat menyingkirkan lengan yang menumpu di tubuhnya.
"Lu udah lama sampai sini?"
"Hmmm." Edgar menjawab sambil berjalan menuju ruang makan. "Dari siang sih, ngobrol lama sama Papa."
"Oh." Saat itu barulah Fale menyingkirkan tangan Edgar. "Gue mau ketemu Mama."
"Ada di dapur," ucap Edgar lalu membiarkan Fale melenggang pergi menuju area pantri.
"Kalian sebenarnya ada hubungan apa, sih?"
Edgar menoleh dengan raut santai seperti biasa. Ia mendapati Alka yang berdiri tak jauh darinya sebelum mencebik samar. "Perlu banget tahu, ya?" balasnya tak acuh.
"Nggak sih, tapi aku kemarin denger Mama Lani ngomongin perjodohan Fale sama Arif."
"Oh. Makasih infonya." Setelah itu Edgar memilih pergi meninggalkan Alka yang berdecih sinis.
****
"Gimana menurut kamu, Fal?"
Wanita yang sedang ditanyai masih setia menatap keluar jendela kamar. Pandangannya terpaku pada kolam ikan di dekat paviliun, sementara otaknya sibuk dijejali hal yang harusnya tak ia pikirkan.
Setahu Fale, usianya dan Edgar terpaut empat tahun. Apa mungkin ibunya pernah memberi ASI pada Edgar? Sepertinya mustahil karena saat Edgar bayi, ibunya jelas belum menyusui dan juga sejak lahir Edgar sudah tinggal di Batam. Jadi benar-benar mustahil, kan?
"Falea?"
Tersentak dengan panggilan sang ibu, Fale yang sedang menggigiti jari menggeleng samar saat otaknya kembali memikirkan hal random.
"Kenapa, Ma?"
Ia menoleh pada wanita yang duduk di bibir kasur. Tadi saat menemui ibunya di dapur, wanita itu langsung membawanya masuk kamar dengan dalih ada hal penting yang ingin dibicarakan.
"Kamu nggak dengerin Mama, ya?" Lani sedikit memberengut kesal pada anaknya. "Tadi Mama tanya, hubungan kamu gimana sama Arif?"
Nah, Fale sudah menyangka pasti hal penting yang dimaksud ibunya adalah perjodohan.
"Menurut Mama?" Fale menjawab setengah hati sambil berjalan menuju sofa.
"Kok, menurut Mama, sih? Kalau tanya Mama atau Mami Disha, ya kami jelas setujulah kalau kalian mau seriusin hubungan." Lani beranjak menghampiri sang anak. "Tapi Mama sadar betul kalau sekarang itu bukan jaman Siti Nurbaya. Mama serahin semaunya sama kamu, Fal."
Tapi Fale tahu nada yang tersirat dalam ungkapan ibunya, jelas perjodohan inilah yang diharapkan.
"Ma ...."
"Ya, Sayang?" Lani membalas antusias sambil duduk di samping Fale. "Kenapa?" sambungnya terdengar penasaran.
Fale terdiam sebentar melihat raut semringah dari sepasang mata ibunya. Ia tersenyum kecil sambil menepuk tangan yang entah sejak kapan menggenggam tangannya.
"Fale sama Arif belum ngomongin ini secara serius, tapi ...."
***
Acara makan malam memang belum dimulai. Namun, semua anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan termasuk istri kedua dari ayahnya Edgar. Mereka sudah mengisi kursi masing-masing saat Lani yang malam ini mengenakan setelan berwarna dusty ingin membicarakan hal penting.
Kernyitan di kening Edgar muncul saat Fale yang duduk di sampingnya terlihat gugup, lalu wanita yang tadi mengatakan ada hal penting terlihat lebih semringah dari biasanya.
"Fale, Mama bicarain sekarang aja, ya?"
"... tapi Arif bilang kalau aku siap, dia bakal langsung lamar."
Fale sedikit menyesal mengatakan hal itu pada ibunya. Harusnya ucapan Arif beberapa hari lalu hanya ia saja yang tahu. Jika sudah begini sepertinya tindakan sang ibu sulit ia cegah, apalagi saat wanita itu terlihat menggebu-gebu.
"Terserah Mama aja," balas Fale sebelum menahan napas karena terkejut dengan telapak tangan Edgar yang mendarat di atas pahanya. Ia tak berniat menoleh pada pria yang pasti sedang menatapnya.
"Jadi, gini ... Mama sama Disha udah pernah bicarain hal tentang Arif sama Fale. Kami sebenarnya nggak maksain mereka buat jalanin hubungan ke arah serius, tapi ternyata Arif udah lebih dulu ngomongin maksud baiknya sama Fale.
Dan syukurnya Fale nerima dengan baik. Jadi, kalau nggak ada halangan atau rintangan mereka mau mengadakan pertunangan. Mungkin lamaran dulu secara kekeluargaan baru bicarain pertunangan. Gimana, kalian seneng nggak dengernya?"
Suara dari mulut ke mulut membuat suasana di atas meja makan makin terasa hangat. Namun, keadaan tersebut jelas tak dirasakan Edgar yang sekarang beralih menarik tangan Fale dan menggenggamnya erat di bawah meja.
"Nanti jelasin semuanya ke gue," bisik Edgar terdengar begitu menyeramkan.
Jelasin apa Ed, wong jelas-jelas Fale mau dilamar😃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top