SIP : Bab 21.

Tandai typo jika berkenan.
Selamat membaca 💙

Edgar tak pernah menerima penolakan.

Tentu saja karena selama hidup ia tak pernah mengajak wanita mana pun berkencan. Sadar dengan ketampanan yang diwarisi sang ayah didukung finansial di atas rata-rata, Edgar tak perlu melempar tawaran apa-apa hanya untuk membawa seorang wanita menghabiskan waktu bersama.

Namun, Fale bukan wanita yang ada dalam pikirannya. Meski menerima ciuman bukan berarti Fale menginginkan. Wanita itu benar-benar sulit ditebak bagi Edgar yang menganggap semua gadis mudah didapat.

"Gimana?"

Fale terlihat menahan napas saat wajah Edgar mulai merunduk, menghidu aroma lewat perpotongan leher sebelum merasakan tangan itu bergerak mendorong dadanya. Edgar hanya menyunggingkan sebelah sudut bibir saat Fale mengedarkan tatapan waspada ke sekitar sebelum menatapnya dengan sorot jengkel tak karuan.

"Gimana, Fal? Deal?"

Fale tak memiliki jawaban apa pun.

"Falea?" Edgar mengernyit saat wanita itu melengos sebelum memutar tubuh meninggalkannya. Namun, jelas tak ia biarkan begitu saja. "Fale!" sambungnya kembali menahan lengan wanita itu.

"Mau apa?"

"Masih tanya mau apa?" Sorot mata Edgar mulai kesal.

"Gue mau pulang."

"Gue tahu lu bukan cewek bodoh! Lu paham dan pasti denger yang tadi gue ucapin, kan?"

"Lu cuma ngerokok kan, bukan mabok?"

Kernyitan samar di kening Edgar perlahan muncul. "Gue sadar." Lalu untuk kedua kalinya tatapan Fale melengos dari wajahnya. "Oh, lu butuh waktu? Oke."

"Gue nggak butuh waktu. Udah jelaskan kalau gue nolak."

"Maksudnya?"

"Gue yakin lu nggak butuh penjelasan apa-apa karena paham."

"Gue nggak paham." Bersamaan dengan itu emosi Edgar makin naik hingga tak sadar cengkraman di lengan Fale kian erat. "Jelasin kenapa nolak?!"

Fale terdiam sesaat setelah memberi kembali atensinya pada wajah Edgar yang tampak mengeras. Jujur saja hal itu membuat hatinya yang sedang bingung merasa takut.

"Lengan gue sakit."

Edgar tak melepaskan hanya melirik ke arah genggamannya sebelum dikendurkan. "Jelasin. Apa alasannya?"

Tangan Fale yang lain bergerak untuk melepas pegangan Edgar, tapi hasilnya tak ada sama sekali.

"Falea!"

"Apa, apa?!" bentak Fale tiba-tiba. "Orang tua kita, Ed! Orang tua kita! Gue nggak mau ambil langkah apa pun kalau udah tau hasil akhirnya gimana!"

Edgar melepas lengan itu dengan sorot mata yang tak terbaca.

Melihat Edgar mengambil langkah mundur, kepalan tangan Fale di sisi tubuh mulai mengerat. Tatapannya terpaku mendengar decihan sinis Edgar disertai seringai tipis yang muncul skeptis.

"Sekali pun ada masalah sama itu, gue nggak peduli."

Jeda yang disambut keheningan menanggapi ungkapan penuh rasa percaya diri itu.

Fale berhasil menyugesti diri agar tak memegang dadanya yang terasa hangat karena ucapan Edgar. Ia malah bersyukur setelah kalimat menggelitik hati itu usai, kakinya masih bisa diajak bergerak untuk melenggang pergi meninggalkan Edgar yang tak lagi mengatakan apa-apa. Namun, tepat saat tangan Fale meraih pintu kemudi, Edgar kembali melempar sebaris kalimat yang membuat genggamannya mengerat dan hatinya kian menghangat.

"Gue nggak bisa mundur kalau udah maju."

***

Bukannya sejak awal Fale tahu Edgar bukan pria lugu yang penurut. Jadi, harusnya pernyataan semalam tak membuatnya terkurung dalam lingkup kebingungan. Fale ingin mengabaikan ucapan Edgar, tapi tempurung kepalanya terus mengolah kalimat penuh percaya diri disertai gaya pongah Edgar seperti biasa.

Sekarang jangankan membayangkan bertemu pria itu, bahkan menapakkan kaki di balkon saja Fale tak berani. Ia takut. Takut jika tak sengaja bertemu Edgar di sana, lalu kembali mendengar pernyataan yang seperti lelehan es krim dari cone dalam genggaman.

Begitu menggoda untuk ia jilat dan rasakan.

Mengembuskan napas resah karena tak berhasil mengalihkan pikiran meski sudah membuka novel favorit, Fale menyambar ponsel di atas meja. Melihat serentetan pesan dari Mira dan Zola, juga dari Arif yang mengajaknya bertemu. Melihat jam yang tertera di atas layar ponsel, Fale kembali mendesah pasrah.

"Kenapa jadi gelisah begini, sih!" monolognya sambil menumpu kening pada buku tebal yang ia letakkan di atas lutut. "Dia cuma bercanda, Fal! Jadi nggak usah takut apalagi baper!"

Puas meracau menyalurkan kegelisahan hati, Fale beranjak dari sofa menuju kamar. Mulai berpakaian santai untuk bertemu teman-temannya. Ia pikir cara itu lebih ampuh mengalihkan perhatian ketimbang membaca novel romansa yang setiap adegan manis dalam paragraf selalu membuat ia membayangkan Edgar sebagai tokohnya.

Otak Fale sudah kacau!

Ia yakin, mungkin ini hanya efek kejadian di Paris dan akan hilang untuk beberapa hari ke depan. Padahal jika diingat-ingat kejadian malam panas itu sudah berlalu tujuh bulan yang lalu, tapi kenapa Fale masih menyangkut pautkan itu?

Keluar dengan cardigan oversize berwarna coksu yang memperlihatkan siluet tank top hitam sebagai dalaman, Fale memadukan tampilan santai itu dengan celana jin hitam yang begitu pas memeluk kaki kecilnya. Ia keluar dari apartemen sambil berdoa agar tak mendapat kebetulan bertemu Edgar di mana pun. Kemudian, mendesah lega saat merasa doanya kali ini dikabulkan.

Berjalan cepat menuju elevator, Fale merasa bodoh kenapa ia merasa seperti orang yang memiliki hutang dan takut bertemu si kreditur di jalan.

Fale kembali memeriksa ponsel, mengirim kabar pada para sahabatnya kalau ia akan segera bergabung hingga keadaan itu mengantarkannya pada lantai dasar yang mempertontonkan basement apartemen.

Melangkah santai menuju parkiran, kaki Fale nyaris mundur melihat Edgar yang mengobrol santai di pos satpam. Pria itu sedang tertawa kecil sambil mengobrol dengan dua pria yang salah satunya jadi penghuni unit dalam gedung ini. Jika terus menghindar Fale makin merasa bodoh. Jadi, ia teruskan saja karena ternyata keberadaannya sudah tertangkap oleh salah satu orang di sana.

Dan benar saja Edgar langsung menatap ke arahnya.

Tak berniat melihat ke arah kumpulan pria itu, Fale mencoba berjalan santai menuju parkiran mobil. Menarik napas pelan sambil mengatur langkah agar tak terlihat buru-buru. Sepertinya Fale memang juara untuk terlihat tenang karena ia berhasil masuk mobil tanpa menambahkan drama berlari sambil menutupi wajah.

Baru saja menarik tali pengaman yang ada di atas bahu, Fale dikejutkan dengan seseorang yang begitu santai menempati kursi penumpang.

"Edgar!" protesnya sambil terbelalak.

Pria itu tersenyum jenaka. "Mau ke mana?"

Fale masih terkejut dengan kedatangan Edgar. Bahkan tangannya masih memegang sabuk pengaman yang belum berhasil dipasang saat menatap pria yang memakai kaus oversize dipadu celana cargo sebatas lutut masuk ke mobilnya.

"Mau ke rumah Papa, ya?"

Berdecak sambil memutar bola mata malas, Fale yang sudah tersadar kini menatap Edgar berang. "Bukan!"

"Terus?"

"Mau ketemu temen-temen gue!" Fale mulai kesal kenapa ia memberitahu hal itu.

"Gue ikut."

"Nggak bisa!"

"Kenapa?"

"Gue nggak mau ajak!"

"Karena?"

Fale mengerang kesal. Ia sudah emosi, tapi pria di sampingnya masih santai menanggapi setiap ucapannya yang ketus.

"Bukan urusan lu, Edgar! Sana keluar!"

"Gue nggak bisa."

"Kenapa?"

"Baju lu." Edgar menilik tampilan Fale yang menurutnya tak pantas dipakai keluar rumah. Jika di dalam ruangan keadaan itu terlihat biasa saja. Apalagi cuma ada mereka berdua.

Fale memeriksa tampilannya. Ia mengernyit saat mengembalikan atensi pada Edgar. "kenapa baju gue?" tanyanya merasa heran.

"Nggak kenapa-kenapa kalau cuma gue yang lihat." Dengan santai Edgar menarik kaus yang dikenakannya, lalu memasukkan kain berwarna putih itu ke kepala Fale yang tak diberi kesempatan menghindar.

"Edgar!"

Pria itu malah tertawa melihat rambut Fale terlihat acak-acakan setelah leher bajunya masuk. Kemudian, tanpa menunggu perintah ia rapikan helaian yang ada di depan wajah Fale sambil tersenyum geli.

Fale ingin kembali marah-marah sebelum merasakan tangan besar Edgar merapikan rambutnya, lalu beralih menangkup pipi. Tatapannya mulai fokus pada wajah pria itu dan sadar kalau dada Edgar terekspos nyata di depan mata.

"Kok bisa gini ya, habis marah-marah tetep aja kelihatan gemes," ucap Edgar sedikit menekan pipi Fale hingga mulut wanita itu terpaksa manyun.

"Awas, ih!" cetus Fale menyingkirkan tangan Edgar, lalu melepaskan kaus yang memasuki lehernya. Ia melempar benda itu ke arah Edgar sebelum berdeham samar. "Pakai, abis itu keluar!"

"Kok, gue kayak lonte, sih. Habis dipake disuruh keluar." Edgar mendengkus geli.

"Keluar sana, Ed!"

"Gue bilang mau ikut, kan."

Fale mendesah kasar. Selain menyebalkan, Edgar ternyata kekanak-kanakan. "Gue mau ketemu Arif. Mau survei tempat buat restonya dan lu nggak boleh ikut," kilahnya sambil memalingkan wajah saat Edgar masih menyombongkan otot dadanya.

"Berarti gue harus ikut, dong."

"Ed ...."

Sambil memakai kembali kausnya, Edgar berdecak malas. "Semalam udah gue bilang, kan, gue nggak suka lu deket cowok itu. Jadi gue mau ikut."

"Lu nyebelin kalau gabung!"

"Janji kali ini nggak akan." Edgar membersit geli melihat wajah Fale yang kesal sekaligus merona. "Lu punya pacar yang protektif, Fal. Jadi terima aja," sambungnya santai sambil mendorong pintu mobil dan keluar dari sana. Tentu bukan ingin pergi meninggalkan Fale, melainkan berjalan cepat mengitari kap mobil untuk menggantikan posisi wanita di balik kemudi.

Dan Edgar memang benar-benar tak tahu diri.


Hah! Finally bisa up😮‍💨

Komen ya guys, jangan lupa vote juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top