SIP : Bab 20.

Seperti biasa ya, guys.
Komen dan votenya aku tunggu.

Juga, buat kalian yang mungkin bingung atau gagal paham di beberapa scene, boleh banget tanya di kolom komentar. Demi apa, aku gapapa banget. Mending ditanya daripada kalian bingung nantinya, cuma kalau pertanyaan itu bersangkutan sama plot cerita biasanya aku jawab sekadarnya.

Jangan sungkan ngobrol di kolom komen, ya. Makasih buat semua dukungannya.

Selamat membaca.

Sebenarnya acara makan siang itu bukan reuni yang direncanakan Arif untuk bertemu teman-temannya, tapi ide yang diusulkan Mira kalau mereka bisa makan siang bersama mengingat jam istirahat di hari Jumat lebih lama dari biasanya. Semua tak ada yang menolak dan Arif yang langsung memilih tempat sudah tiba setengah jam lebih awal sebelum jam istirahat datang.

Harusnya hanya empat personel saja yang ada dalam meja restoran pilihan Arif. Namun, karena mereka kedatangan 'tamu' secara tiba-tiba, alhasil makan siang itu berlangsung dengan lima orang anggota.

Dan Fale tak menyangka Edgar begitu menyebalkan.

Sebenarnya ia tak keberatan saat pria itu mengajukan diri ingin bergabung bersama mereka. Selama teman-temannya setuju, Fale pikir hal itu tak patut dipermasalahkan.

Namun, sepertinya permasalahan itu mulai dirasakan Fale saat Edgar selalu menarik dirinya agar tak jauh-jauh, memaksanya duduk di dekat pria itu, sampai yang paling menyebalkan adalah melempar pertanyaan-pertanyaan tak penting pada Arif.

"Oh, jadi kalian sahabatan dari kecil, ya? Bagus dong, berarti udah tahu sifat satu sama lain dengan baik. Tapi gue nanya serius deh. Rugi nggak sih, dari sahabat jadi ke hubungan yang lain. Takutnya nanti ada masalah yang hancur bukan cuma hubungan baru aja, tapi hubungan dari kecil juga otomatis bakal beda, kan?"

Saat itu konteks obrolan mereka tak begitu serius. Awalnya Mira yang memancing tentang janji pernikahan di masa kecil yang dibuat Fale, lalu Arif dengan nada bergurau mengatakan kalau sampai sekarang ia memilih lajang karena ada perempuan yang berjanji menikahinya. Namun, Edgar dengan serius dan sedikit ketus menimpali ucapan itu hingga membuat yang ada di sana terdiam serempak.

Sekarang sambil mengaduk kopi dalam cangkir, Fale mendengkus kesal mengingat obrolan kemarin siang. Kemudian, menoleh saat pintu ruangan pantri terbuka dan menampilkan dua sahabatnya.

"Permisi Mbak Fale, saya mau ambil sendok."

Fale terkesiap. "Oh, iya," jawabnya pada wanita yang juga sedang membuat kopi sambil menggeser posisi. "Kenapa, Zol? Kusut banget muka lu pagi-pagi begini?" Lalu beranjak menuju dua sahabatnya yang baru datang.

Zola tak lekas menjawab. Wanita dengan cardigan hitam itu memilih duduk di kursi dekat tembok sambil menumpu wajah pada sebelah yang tertekuk di atas meja panjang, lalu merasakan Fale mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Masih ngegalauin si Edgar, Fal." Mira menyahut sambil membuka kabinet berisi kapsul kopi, lalu menoleh sebentar ke arah Fale yang meringis tipis.

"Dia ngomong apa sih, Zol? Nyakitin banget, ya?"

Masih dalam posisi wajah menghadap meja, Zola menggeleng lemah. "Nggak sih, cuma bilang jangan ngarep apa-apa sama dia. Ya, lu taulah kalau cowok udah bilang gitu emang doi nggak mau dideketin," sahutnya santai sebelum mendongak menatap Fale dengan sorot penasaran. "Apa dia udah punya pacar, ya, Fal? Gue emang nggak nanya apa-apa waktu kemarin nonton."

Fale sengaja memberi jeda untuk pertanyaan Zola. Ia memilih menyeruput kopi sambil melirik Mira lewat ujung cangkir di depan wajahnya, lalu mengangkat bahu tak acuh menjawab pertanyaan itu.

"Kalian kan, sepupuan. Masa nggak tahu, sih, Fal?"

"Udahlah, Zol!" Mira kembali menyahut. "Mundur teratur, jangan dipepet terus kalau nggak mau. Inget lu cewek! Walaupun suka malu-maluin, tapi jaga image dikit."

Embusan napas pelan kembali Zola keluarkan. "Padahal bukan diputusin, tapi kok gue galau ya, Mir? Mana satu kantor kan, gimana mau move on kalau gini."

"Nggak apa-apa, besok gue anter ke kantor BCA."

"Ngapain?"

"Lihat satpam yang kata lu mirip Lee Min Ho."

"Bajingan emang! Masih inget aja!"

Fale tertawa mendengar dua sahabatnya saling bersahutan, lalu menoleh pada daun pintu yang terbuka dan menampilkan dua pria dengan tinggi serupa datang dengan raut wajah berbeda. Jika Kafi menyengir lebar melihat Mira, maka Edgar yang ada di belakang tak menampilkan ekspresi apa-apa selain diam sambil menyandarkan sebelah lengan di kusen pintu.

Omong-omong sudah satu Minggu lebih mereka pergi bersama ke perusahaan dan tadi pagi, Fale hanya masuk ke lift sendirian setelah Edgar berkata ingin merokok di parkiran. Fale tak menjawab apa-apa selain melenggang meninggalkan pria yang sudah merogoh bungkus rokok dalam saku celana. Bukan ingin melarang, ia hanya kesal karena dulu Edgar pernah mengatakan akan berusaha berhenti dari kebiasaan buruk merusak tubuh itu. Namun, sepertinya Edgar tak berusaha sama sekali.

Hah! Lagi pula untuk apa Fale memperumit pikirannya dengan mengurusi kehidupan orang lain. Itu bukan dirinya sama sekali.

"Kaf, gue cabut duluan, ya."

Kafi yang hendak duduk di samping Mira, menoleh ke arah Edgar. "Loh, katanya mau sarapan sambil ngopi."

Namun, ucapan dengan nada bertanya itu tak dijawab Edgar yang sudah memilih pergi dari pantri.

"Tadi katanya mau ngopi padahal," monolog Kafi sambil mendaratkan bokong di kursi yang ada di samping Mira. "Lu nggak bawa sarapan apa-apa, Mir?"

"Nggak."

Bersamaan dengan itu, embusan napas kasar Zola menarik atensi orang-orang di sana. "Edgar kok, nggak mau masuk, Kaf?"

"Mana gue tahu, gara-gara ada lu kali," jawab Kafi sekenanya, tapi Zola menganggap itu hal serius.

"Beneran gara-gara ada gue, ya?" Zola kembali menumpu dagu pada tangan yang tergeletak di meja.

"Bukan!" balas Fale sambil mendengkus. "Udahlah ngapain sih galauin cowok. Mending nanti drakoran, besok libur sampai Rabu."

"Eh, bener besok long weekend! Staycation, yuk!" usul Mira penuh semangat.

"Boleh," sahut Fale santai.

"Gue ikut, ya!" Kafi ikut menimpali.

Sementara itu, Zola yang dalam posisi tak berubah malah merengek prihatin. "Kalian tuh, nggak pernah mikirin gimana caranya dapet cowok, ya? Inget nggak umur kita bukan lagi remaja!"

"Terus?" balas Fale dan Mira bersamaan dengan nada tak hirau.

"Kenapa sih, Zol? Jangan gaya-gayaan cari pacar, nangis aja ingus lu masih melebar ke mana-mana," sindir Kafi membuat Fale dan Mira kontan terkekeh geli.

"Nggak tau! Pokoknya gue mau punya pacar, Kaf!" Zola mendesah pasrah sambil menyambar kopi Fale dan menyeruputnya sedikit. "Kemarin Zaki bawa pacarnya ke rumah, kan. Nyokap gue heboh banget sampe udah ngomongin gedung. Gue gedeg banget dengernya, sumpah! Masalah mobil gue dijual buat ngurus si Zaki masuk FK aja masih enek. Eh, tadi malam malah seenaknya nanya kira-kira gue ikhlas nggak kalau dilangkahi."

"Terus lu jawab apa?" Mira menanggapi dengan pendar jenaka.

"Ya nggak setujulah! Mau gue obrak-abrik isi rumahnya! Enak banget jadi anak cowok dalam rumah, apa-apa diutamain! Kalau beneran terjadi, gue bakal jadi kakak ipar yang jahat," gerutu Zola menggebu-gebu.

Fale tertawa mendengar kemarahan sahabatnya. "Terus mobil lu yang kemarin udah diganti, kan?"

"Iya diganti, cuma gue disuruh bayar cicilan tiap bulan. Bajingan banget hidup gue, Fal." Zola kembali merengek dengan nada menggelikan.

"Udah udah! Mending nikmatin hidup aja, Zol. Biar nggak makin runyam. Senin jadi ya staycation, temen gue manager di salah satu resort di Bali. Kalau deal enak gue bookingnya." Mira yang selalu bersemangat jika ingin pergi liburan, kembali membahas acara jalan-jalan.

"Hah! Emang susah ya, ngomongin beginian sama anak tunggal. Lu berdua nggak akan ngerasa dibanding-bandingin kayak gue," keluh Zola seraya mendesah pasrah.

Kafi terkekeh sambil bangun dari kursi dan menepuk kepala Zola pelan. "Artinya gini Zol, lu anak tunggal lu punya kuasa." Lalu makin tertawa saat Fale dan Mira mendengkus malas. "Kayaknya gue tahu di mana jodoh lu deh, Zol."

Wanita itu mendongak menatap Kafi. Meski tahu pria yang jadi teman kuliahnya itu kerap mengatakan hal tak penting, Zola tetap saja memandangnya penuh rasa harap.

"Di mana?" tanyanya kemudian.

"Orang nomor tiga di tanda pesawat."

Mira dan Fale tak tahan untuk tak menyemburkan tawa, sedangkan Zola bergerak cepat melempar sendok yang ada dalam cangkir kopi Mira ke arah Kafi yang berlari menuju pintu.

***

Sebenarnya saat Edgar tak jadi masuk ke area pantri, Fale mulai bingung sendiri. Sejak tadi pagi pria itu memang tak banyak bicara seperti biasa dan membawa mobilnya dalam keadaan tenang tanpa banyak mengeluarkan suara.

Lantas saat pesan ajakan makan siang hari ini tak dibalas, Fale mulai curiga apa Edgar benar-benar marah prihal kedekatannya dengan Arif? Tapi untuk apa marah? Bukankah pria itu mengatakan tak suka sebuah hubungan dan sepertinya sangat egois jika Edgar melarangnya dekat dengan seseorang sementara pria itu tak ingin memberi kejelasan.

Meskipun dalam hati, Fale belum tentu berani melangkah lebih jauh untuk memastikan kejelasan itu.

"Lu pulang duluan aja, Fal."

Fale yang sudah lebih dulu duduk di dalam mobil sedikit terkejut saat Edgar tiba-tiba muncul di sampingnya. Ia masukkan kembali ponsel yang hendak menghubungi pria itu sebelum keluar dari kereta besinya.

"Pulang duluan?" Fale mengernyit menatap Edgar sambil menyandarkan punggung pada sisi mobil.

"Iya, gue masih lama deh kayaknya."

"Lama ngapain?"

Edgar mendengkus pelan. Ia mengangkat batang rokok yang ujungnya masih menyala.

"Ya udah gue tau tungguin!" balas Fale sedikit sewot sambil masuk kembali mengisi kursi penumpang.

"Nggak bisa, Fal!" Edgar kembali berjongkok untuk menatap wanita itu.

"Apanya yang nggak bisa? Lu nggak mungkin ngabisin lima jam buat satu batang rokok, kan? Kalau mau nambah mending nanti di apartemen lu. Bisa, kan?"

"Gue minta jemput sama temen gue."

Fale terdiam sebentar. "Lu lagi ngehindarin gue, kan?"

Sambil menggeleng, Edgar menjatuhkan rokok yang tersisa setengah. Menginjak apinya dengan ujung sepatu sebelum menatap Fale yang tampak penasaran.

"Nggak."

"Terus?

"Gue cuma nggak mau perkosa lu di dalam mobil," tandas Edgar sambil menyeringai tipis melihat bola mata Fale refleks terbelalak. "Pulang duluan aja, bentar lagi temen gue sampe."

Fale tak buru-buru merespons. Ia melihat Edgar dengan sorot tak suka sebelum membuka pintu mobilnya dan keluar lagi dari dalam sana. "Ke mana?"

"Siapa? Gue?"

"Hmmm."

"Nggak tahu, gue cuma ikut ajakan temen gue aja."

"Lu punya temen di Jakarta?"

Edgar tertawa geli sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Punya dong, Fal. Kalau lu mau tau gue sehari bisa dapet selusin temen."

"Gue bakal laporin ke Om Edo kalau lu pergi-pergi nggak jelas sama temen-temen lu!"

"Silakan."

Fale mendesah pasrah. "Kenapa, sih? Lu lagi marah sama gue atau apa?"

"Nggak, cuma lagi kesel aja."

"Kenapa?"

"Gue nggak suka lu deket sama cowok."

Ucapan itu terlampau santai untuk direspons dengan keterkejutan. Namun, Fale tak bisa mengabaikan perasaan anehnya saat Edgar terang-terangan mengatakan hal tersebut. Ungkapannya seringan meniup bunga dendelion yang sudah mekar sempurna seolah tak akan ada efek apa-apa.

"Lu egois, Ed."

"Gue tahu." Edgar tak ingin menyangkal.

"Dan lu masih kelihatan nggak ngerasa bersalah sama sekali?"

Pria itu hanya mengangkat bahunya samar.

"Emang pilihan yang tepat tuh nggak berurusan sama lu, Ed," imbuh Fale lagi dan mulai tak mengerti kenapa ia tiba-tiba makin emosi. "Oke! Mulai sekarang bersikap layaknya orang asing aja. Nggak usah bawa hubungan sepupu buat deket-deket!"

Meski terlihat tenang, percayalah sejak kemarin Edgar terus menekan diri agar tak terbawa perasaan yang tiap detiknya makin menyebalkan. Lantas saat Fale berkata demikian, kumpulan kekesalan yang berkecamuk di hati mulai naik ke permukaan. Salah satu tangannya dalam di saku celana keluar untuk menahan Fale yang hendak memutar tubuh dan melenggang menuju kursi kemudi, lalu menariknya tanpa susah payah hingga netranya kembali disuguhkan pemandangan garis wajah yang serba pas di sana. Mata, hidung, bibir, bahkan pipi pualam Fale selalu membuat Edgar menekan kuat gigi gerahamnya.

"Lu mau gimana?"

Fale masih terkejut saat dalam waktu kurang dari dua detik, tubuhnya menabrak dada keras Edgar. Menghirup bau khas rokok bercampur parfum yang menempel di kemeja pria itu. Sebelah tangannya tertahan di udara saat Edgar menarik tubuhnya, sedangkan lututnya sedikit lemas melihat tatapan Edgar bak burung elang yang siap membidik mangsa dari kejauhan.

"Mau kita pacaran, hm?"

"Ed-"

"Ayo, Fal! Ayo pacaran!"

Kamu mah Ed, ngajak pacarannya bikin anak orang sawan wkwkwk.

Oke deh, see you tomorrow guys!
Sehat-sehat ya, biar bisa nemenin FaGar ini sama-sama membucin ria.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top