SIP : Bab 19.
Terima kasih buat semua dukungannya. Jangan bosen komen dan vote, ya.
Selamat membaca.
Jika kemarin Edgar menghabiskan waktu beberapa jam bersama Zola, maka hari ini Fale menghabiskan setengah harinya bersama Arif. Menonton film, mengobrol lama di kafe, dan memilih tempat makan yang lumayan mewah untuk mengakhiri pertemuan.
Melangkah lebar untuk memeluk Arif sebentar, Fale yang sudah sampai di depan gedung apartemen tersenyum saat pria itu ingin pamit pulang setelah mengajukan rencana untuk melakukan reuni dengan sahabatnya yang lain. Kemudian, melambaikan tangan saat Arif yang hendak membawa roda empat itu menurunkan kaca mobil dan menoleh padanya.
"Hati-hati, ya!"
"Siap! Lu langsung istirahat, ya! Thanks for your time, Fal!
"My pleasure. Kabarin gue kalau udah sampe apart, ya."
"Oke!"
Setelah kereta besi itu bergerak menjauh, barulah Fale berbalik untuk membawa tungkai menuju pelataran apartemen. Dari kejauhan dia melihat Edgar yang berdiri di depan pos jaga, mengobrol santai dengan seorang sekuriti, sambil memasukkan dua tangan ke saku celana pendek.
Fale tersenyum samar saat pria itu menoleh, menatap dengan sorot tak suka, dalam posisi yang tak berubah. Saat sampai di tempat Edgar berdiri, Fale tak berniat berhenti. Ia hanya mengangguk kecil membalas sapaan pria berseragam putih biru di depan Edgar, lalu dengan santai berjalan melewati pria itu yang jika tak salah tebak mulai melangkah mengikutinya.
"Malam banget pulangnya?"
"Baru jam setengah delapan." Fale berhenti di depan pintu elevator sedangkan pria yang mengikuti mengambil posisi di sampingnya.
"Udah makan malem?"
"Menurut lu aja, emang ada cowok ngajak cewek keluar seharian pulangnya nggak dikasih makan?"
"Ada. Cowoknya dungu, mungkin?" balas Edgar setengah hati.
Fale berdecak malas. Ia melangkah masuk saat pintu besi di depannya terbuka, lalu melirik Edgar yang ikut masuk bersamanya. "Tapi Arif nggak dungu, sih. Dia tau cara ngetreat cewek yang baik." Lalu merasakan pinggangnya ditarik dan tubuhnya bergerak mundur saat Edgar melakukan hal seperti biasa.
"Dia nggak nyium lu, kan?"
Fale benar-benar ingin menyemburkan tawa geli melihat sorot cemburu Edgar yang begitu jelas. Entah pria itu sadar atau tidak, tapi hal tersebut membuat hatinya sedikit menghangat. Mungkin sebuah hubungan yang tak disukai Edgar adalah yang mengekang kebebasan. Pria itu tak tahu kalau banyak jalinan asmara dua orang dewasa yang berjalan baik-baik saja tanpa melibatkan komitmen harus bertukar pesan setiap hari.
Ternyata Edgar hanya pintar merayu, tapi bodoh dalam hal itu.
"Nggak ada urusannya sama lu, kan?"
"Ada."
"Dalam konteks?" Fale berakhir menyeringai saat Edgar mendesah frustrasi. Merasakan ada tangan yang meraih tengkuknya, Fale segera mendorong dada Edgar agar menjauh. "Gue nggak mau."
"Fal ...."
"Lu pernah bilang nggak akan maksa kalau gue nggak mau, kan?"
"Oke! Gue cuma nanya apa cowok tadi nyium lu?"
Fale yang sudah berdiri sempurna setelah mendorong Edgar, menatap pria itu dengan sebelah alis terangkat. "Lu mikir gue cewek yang mudah banget dicium, ya?" Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka lebar. "Terserah sih, mau berasumsi gimana tentang gue," sambungnya lalu keluar setelah melayangkan tatapan tak senang pada Edgar.
"Fal, bukan itu maksud gue." Edgar bergerak cepat mencekal tangan Fale. "Gue cuma nanya dan nggak ada maksud buat berasumsi buruk tentang lu!"
Fale sedikit terkejut saat suara Edgar mulai meninggi. "Terserah, Ed! Setelah ini terserah lu mau ngasih tanggapan apa pun tentang gue." Ia lepas pergelangan tangan yang dicengkeram Edgar. "Kita pernah tidur bareng, ciuman gila tanpa status, bahkan lu tahu masalah gue sama Alka. Jadi gue pikir masuk akal kalau lu anggap gue-"
Ucapan Fale tak berhasil rampung saat Edgar menarik tengkuknya, membungkam bibirnya dengan ciuman kasar, dan mengajak bergerak pelan hingga membuat punggungnya menempel di tembok apartemen seseorang. Fale tak berusaha mendorong, tapi ia juga tak menyambut ciuman itu seperti biasa. Hanya menikmati bagaiman bibir tebal itu menyapu mulutnya yang sedikit terbuka sebelum merasakan wajah Edgar perlahan menjauh sambil meninggalkan deru napas penuh emosi.
"Gue nggak pernah nganggap lu perempuan gampangan atau semacamnya. Gue yang berengsek, Fal. Tapi lu harus tahu meskipun nggak suka sama hubungan gue nggak sembarangan cium perempuan apalagi ngajak tidur."
Untuk beberapa saat Fale merasa terhipnotis melihat sepasang obsidian Edgar begitu berapi-api mengatakan hal tersebut. Rahang pria itu mengetat sedangkan tangan yang ada di tengkuknya mulai bergerak ke depan untuk menyentuh bibir dan mengusapnya.
"Lu juga harus tau gue nggak suka, hal yang lagi gue sukai disentuh orang."
Fale mendengkus pelan sambil menepis tangan Edgar di wajahnya. "Apa itu isyarat larangan dari lu? Kalau iya, gue nggak bisa nurutin. Sorry!" tandasnya sebelum melenggang pergi meninggalkan Edgar yang mematung di tempatnya.
***
Edgar mulai membenci dirinya.
Tepatnya membenci pikiran runyam yang terus menempel seperti permen karet yang sengaja dilempar pada rambut bocah culun. Edgar tak pernah sekesal ini hanya karena seorang wanita yang ia kenal jalan dengan pria lain.
Biasanya daripada pusing memikirkan hal itu, Edgar lebih baik mengotak-atik gitar, memainkan beberapa lagu sambil menghisap nikotin yang dijepit di antara jarinya. Namun, kebiasaan menyenangkan apa pun itu tak bisa ia terapkan saat melihat Fale yang pagi ini memakai rok jin mini dengan kemeja putih melenggang pergi bersama pria yang menjemput di depan gedung apartemen.
Membayangkan Fale tertawa seperti kemarin malam, bicara dengan raut ceria tak seperti biasa, hingga memikirkan sentuhan-sentuhan sialan yang dilakukan pria itu membuat Edgar nyaris membanting gitar yang ada di pangkuannya.
Setelah berkali-kali mengirim pesan yang tak kunjung mendapat balasan, Edgar memilih turun ke bawah dan menunggu Fale pulang sambil berbincang dengan sekuriti apartemen. Untung saja selama jadi pengangguran ia menyempatkan diri membangun hubungan baik dengan para pekerja dan penghuni gedung lainnya.
Kemudian, semua perasaan asing yang masih terasa semu berawal dari sana. Saat ia melihat Fale turun dari mobil hitam, memeluk pria yang membukakan pintu penumpang, sebelum melambai mengantar kepergian si pengendara yang diklaim sebagai sahabat masa kecil wanita itu.
Cemburu?
Kata yang seperti ejekan itu sempat terbesit di kepala Edgar, tapi ia buru-buru menepis keras karena merasa geli dan asing jika harus mengiyakan. Sayangnya, perasaan tersebut kian menonjol saat Fale yang masih menerima ciumannya mengatakan kalau wanita itu tak bisa diatur seenaknya. Wanita itu bukan miliknya. Fale seperti wujud nyata di depan mata yang bisa ia pegang, tapi tak bisa ia pindahkan sesukanya.
Hari ini, Edgar harap perasaan itu akan lenyap seperti yang sudah-sudah. Seminggu yang lalu wanita itu juga sempat berubah setelah bercerita tentang kebejatan Alka serta tindakan bodohnya, tapi itu tak bertahan lama karena Fale lebih dulu menghubunginya.
Sekarang pun Edgar rasa akan seperti itu.
Ya ... semoga saja.
"Pa, Fale di mana? Kok, nggak ada di meja kerjanya?"
Bukan menyapa dengan ucapan yang pantas dikeluarkan, Edgar malah menanyakan wanita yang tadi pagi semobil dengannya saat membuka pintu kantor sang ayah. Ia melangkah santai menuju sofa dan duduk di sana.
"Fale udah pergi setengah jam lalu, katanya mau makan siang sama Arif di luar."
Jawaban itu sontak membuat Edgar mengeraskan rahang. "Setengah jam lalu belum masuk jam makan siang, Pa. Kok, bisa dia keluar gitu aja?"
Kernyitan samar di antara alis Edo mulai terlihat. Ia menatap sang putra dengan sorot kebingungan. "Kamu lupa, ini udah hari Jum'at. Jam makan siang emang diadain lebih awal, Ed."
Edgar tak lupa, hanya merasa kesal tiba-tiba.
"Mau makan siang bareng papa, nggak? Papa mau pulang ke rumah, Mama kamu sama Mama Anya ada di rumah."
Edgar mendesah kasar. Ia memilih bersandar pada punggung kursi sambil menggeleng samar. "Aku nanti makan siang sama Kafi aja, tapi sekarang belum lapar, sih." Sebenarnya lapar, tapi Edgar rasa ingin menelan Fale hidup-hidup karena membuat ia uring-uringan seperti ini.
"Oh, yaudah. Papa lima menit lagi mau keluar." Setelah menutup laci meja kerjanya, Edo beranjak mengambil jas pada standhanger di sudut ruangan.
"Minggu ini kita makan malam keluarga lagi, Ed."
"Rajin banget sih, makan malam keluarga terus."
Edo memberi tatapan heran pada sang putra. Sejak tadi atau mungkin sejak beberapa hari belakangan ini raut sang putra memang tampak frustrasi. "Kamu kenapa, sih? Kerjaan kamu ada masalah atau gimana?"
"Nggak ada." Edgar ikut berdiri saat sang ayah menghampiri. "Heran aja, tiap Minggu makan malam keluarga mulu."
"Itu karena kamu susah diajak tinggal serumah. Kalau tinggal di sana, Mama nggak mungkin ngajak kamu makan malam kayak gini mulu."
Dua pria tinggi beda usia itu mulai keluar dari ruangan, lalu berjalan menuju elevator khusus di ujung lorong.
"Terus Minggu depannya, Alka sama istrinya mau pindah dari rumah." Edo melirik sebentar putranya. "Terus, Papa niatnya mau bawa Mama Anya tinggal di rumah. Menurut kamu gimana, Ed?"
"Kok, nanya aku?"
Edo tak lekas menanggapi pertanyaan singkat itu. Ia memilih masuk ke lift yang akan mengantar mereka pada lantai dasar.
"Kalau aku jadi Mama, ya nggak aku izinin lah!"
"Papa udah bicarain ini sama Mama kamu."
"Pasti Mama oke-oke aja, kan?"
Pria yang hanya dikaruniai satu orang anak itu mengangguk pendek.
"Mama terlalu baik jadi perempuan."
"Kenapa. Kamu nggak suka Mama Anya tinggal di rumah?"
Bukan, Edgar sama sekali tak keberatan dengan hal itu. Ia sudah beberapa kali bertemu istri kedua ayahnya dan sikapnya nyaris seperti sang ibu yang tak banyak bicara dan lemah lembut. Hanya saja saat ini ia merasa sensitif jika harus dimintai pendapat.
"Nggak, kok. Lagian dia bukan tipe istri kedua yang di sinetron-sinetron. Aku oke-oke aja."
Edo terkekeh. "Mama Anya baik, kok."
"Hmmm," balas Edgar tak berminat memperpanjang obrolan.
Bersamaan dengan anggukan kepala Edgar yang menanggapi ucapan ayahnya, ia mengernyit setelah sampai di pelataran parkiran dan melihat Fale sedang mengobrol di depan pos satpam dengan seseorang.
"Oh, itu Fale, Ed. Mungkin mereka lagi nunggu temen-temen Fale yang anak marketing itu. Tadi Fale bilangnya mau makan bareng temen-temennya juga."
"Pa, aku ke sana dulu." Tanpa menoleh pada sang ayah, Edgar melangkah mantap menuju tempat Fale yang sedang mengobrol asyik dengan pria bernama Arif.
Hahahahaha, di mana ada kesempatan, di situ Edgar mengacau!
Emang kalau orang belum pernah falling in love agak bodoh pas baru pertama kali rasain xixixixi.
Jika sudah selesai baca, tekan bintangnya ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top