SIP : Bab 17.
Selamat membaca. Jangan lupa sumbangan komentarnya dan tandai typo yang meresahkan.
Terima kasih.
Edgar tak pernah membenci sebuah hubungan.
Meskipun perayu andal, pandai memikat dengan senyuman, bahkan tak jarang membuat wanita rela mengantre di belakang, sejujurnya Edgar tak pernah memandang sebuah hubungan dengan sorot ketidakpercayaan. Ia hanya menganggap ikatan yang terjadi antara pria dan wanita itu sangat merepotkan.
Jiwanya masih ingin bebas, pergi ke mana pun tanpa batas, tanpa membuat pikirannya terkurung dengan hal yang memusingkan. Lagi pula setiap wanita yang datang mendekat sudah ia beri kode transparan, tak akan ada hubungan jelas meskipun melewati malam bersama. Dan syukurlah sampai saat ini, Edgar tak pernah bertemu wanita yang menangis dengan rengekan memuakkan agar ia mau menegaskan sesuatu yang bisa disebut hubungan.
Selain pandai dalam hal menggoda, Edgar juga pandai melihat wanita mana saja yang tak akan menuntut banyak hal saat ia mulai mendekat. Dan Zola bukan salah satunya.
Wanita itu memang lucu dan mungkin sedikit menarik. Namun, untuk dijadikan teman mengobrol dan bergerak lebih jauh, Edgar rasa Zola tak masuk kualifikasi. Wanita itu cenderung memiliki perasaan yang mudah sekali terbawa emosi. Jadi sebelum semua terjadi Edgar memilih mengakhiri.
Edgar sudah memberi isyarat jelas kalau mereka tak cocok jika ingin melangkah dalam hal yang lain. Hal yang lebih dari sebuah pertemanan.
Acara nonton yang direncanakan memang terjadi hari ini. Pure hanya menonton satu film yang direkomendasikan Zola, makan siang setelahnya, lalu pulang tanpa ingin memperpanjang obrolan. Edgar kadung berjanji hari itu. Jadi, karena merasa seorang pria memiliki harga diri, ia hanya mencoba menepati.
Sekarang setelah menyelesaikan semuanya, Edgar memilih pulang ke apartemen. Mendorong santai pintu kamar sambil membuka jaket jins yang dikenakan. Lantas berjalan menuju pantri untuk membuka lemari es sebelum menenggak minuman dingin di dalam sana. Tak lama pria yang lebih senang hidup mandiri itu beranjak menuju balkon sambil mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celana pendek yang dikenakannya, sedangkan bagian tubuh hanya memakai kaus putih yang lengannya ia gunting habis.
Baru saja mengantarkan sebatang rokok ke sela-sela bibir, kegiatan itu urung Edgar lakukan saat seorang wanita yang berbaring pada kursi panjang di seberang balkon lebih menarik perhatiannya daripada menghisap asap nikotin. Fale sepertinya belum sadar dengan keberadaannya. Wanita itu masih asyik membaca novel sambil menggoyangkan telapak kaki yang disanggah ujung kursi.
Edgar tak mengerti kenapa ia selalu penasaran dengan wanita itu. Jika sedang melihatnya seperti saat ini, Edgar selalu ingin mendekat, bicara hal tak penting, hingga merasakan dorongan untuk menyentuh Fale kembali. Fale adalah hal yang sulit ditebak olehnya. Wanita itu pintar menormalkan ekspresi, bahkan tak jarang membuat ia bingung sendiri. Saat Edgar merasa didorong untuk pergi, tangan wanita itu justru menahan untuk tetap di sini. Saat Edgar merasa wanita itu dalam keadaan tenang, justru yang terjadi malah hal sebaliknya.
Edgar tak bisa menebak pikiran Fale dan hal itu membuatnya makin penasaran.
"Gue boleh ke situ, nggak?"
Hendak membalik lembaran novel yang sedang dibaca, Fale yang sedang menikmati 'kencan' dengan para tokoh fiksi buatan penulis favorit sedikit terkejut saat suara familiar itu masuk ke gendang telinganya. Ia menurunkan bukunya, bergerak duduk sebelum melihat Edgar yang tersenyum sambil menatapnya.
"Oh, udah pulang kencannya." Fale menutup novel berjudul Love In Paris setelah memberi bookmark, lalu beranjak menghampiri sisi balkon yang ada Edgar di seberangnya.
"Bukan kencan." Edgar menyahut santai. "Lu tadi ditelepon buat gabung, kan? Gue bareng sama Kafi juga Mira."
Fale mengangguk. Ia memang dikabari untuk ikut bergabung, tapi mengingat beberapa Minggu ini tak sempat mengajak tokoh fiksinya bicara di balkon kamar, Fale menolak ajakan itu santai. Ia tahu ada Kafi juga Mira. Bukan hanya Edgar dan Zola saja.
"Lagi males keluar."
"Kalau gitu gue aja yang masuk. Lu tetep di dalem."
Selalu saja seperti ini. Apa pun yang dibicarakan Edgar selalu membawa otak Fale yang tak lagi suci meliarkan imjinasi. Sudah puluhan novel genre harlequin yang dibaca olehnya, tapi kata-kata penuh isyarat dari mulut manis Edgar selalu membuat hatinya bertingkah konyol. Untung saja ia pandai memasang wajah biasa-biasa saja.
"Gue lagi nggak terima tamu."
"Gue bukan tamu."
"Terus?"
"Penghuni baru ... mungkin?" Edgar menyeringai saat Fale memalingkan wajah sambil berdecih malas. "Tadi Papa bilang ada makan malam penting hari ini, ya?"
Sambil memeluk bukunya, Fale mengangguk pendek. Ia tatap kembali pria yang mengenakan kaus tanpa lengan, memperlihatkan gumpalan otot lengan serta helaian bulu ketiak yang mengintip dari sela-sela lipatan. Itu harusnya terlihat jorok, tapi kenapa malah jadi seksi? Terkadang Fale merasa ngeri, kenapa ia mudah sekali berpikir random seperti ini. Biasanya Zola yang akan memikirkan hal tak masuk akal.
"Hmmm, tadi Mama dateng ke sini dan bilang kalau ada makan malam penting di rumah."
"Dalam rangka apa?"
Fale mengangkat bahunya samar. "Mungkin acara perpisahan si Berengsek yang mau pindahan. Soalnya belum lama gue denger dari Mama kalau Mbak Sally kepingin keluar dari rumah."
"Oh. Lu niat jam berapa berangkatnya."
"Mungkin setengah tujuh."
"Oke, nanti bareng."
***
Fale tak mengatakan apa-apa saat Edgar mengajaknya pergi bersama. Tepat jam setengah tujuh malam pria itu sudah berdiri di balik pintu apartemen Fale, mengenakan kemeja berwarna navy dipadu celana jin hitam. Gaya rambut Edgar masih sama, bahkan aura slebor bercampur karisma yang kuat seperti melekat di sana.
Fale berdeham sebentar saat membuka pintu dengan tampilan yang sudah rapi. Ia tak banyak menghias diri, hanya memakai dress selutut berwarna magenta dengan tas yang sering digunakan. Rambutnya pun diikat seperti biasa dengan riasan wajah yang tak begitu mewah.
"Wow ... manis banget, Fal." Edgar mengeraskan rahang menahan rasa gemasnya sendirian.
Sementara itu, Fale berdecak malas mendengar pujian itu. Tangannya bergerak santai menutup pintu. "Mama bilang acaranya mulai jam delapan."
"Oh, ya udah kita berhenti di mana dulu gitu."
"Maksudnya?" Fale menoleh kebingungan pada pria yang berjalan di sisinya.
"Dari sini ke rumah paling nggak sampai 20 menit, kan. Kita bisa—"
"Nggak! Gue mau langsung ke rumah. Terserah kalau lu mau berhenti ke tempat lain."
Edgar tertawa geli mendengar sahutan itu. Tangannya bergerak santai meraih jemari Fale sebelum menekan tombol elevator di depannya. Ia melirik sebentar ke arah wanita yang tampak terkejut, tapi sepertinya tak berniat memberi protesan apa pun.
Ketika pintu besi di depannya terbuka, Fale mulai merasa gugup. Apalagi merasakan genggaman Edgar kian erat saat menariknya masuk ke sana. Dan benar saja belum sempat pintunya tertutup sempurna, genggaman Edgar beralih merengkuh pinggang sedangkan tangan lain pria itu meriah tengkuknya yang terpaksa harus mendongak.
"Boleh kan, Fal?"
"Apa?" Tangan Fale bergerak ke atas bahu Edgar.
"Kiss?"
Dan Fale yakin tanpa menjawab dengan kata-kata ataupun anggukan, pria itu pasti paham saat kedua tangannya bergerak kian naik ke atas. Buktinya hanya berselang dua detik kemudian, bibir mereka kembali bertemu. Mencium lembut tanpa buru-buru sebelum kaki Fale melangkah mundur merasakan tubuh Edgar mendorongnya pelan hingga tembok lift menempel di punggungnya.
Ciuman manis mereka tak lama. Hanya menghabiskan waktu di dalam elevator sebelum sama-sama terengah dengan bibir yang basah.
"Rasa strawberry. Manis," ucap Edgar sambil mengusap bibir bawah Fale. "Ayo keluar!"
Fale masih terengah saat mengangguk samar. Tangannya kembali digenggam pria itu untuk keluar dari ruang sempit tersebut, sedangkan detak jantungnya kembali liar mendengar ucapan Edgar setelah mereka berciuman. Pria itu benar-benar bermulut manis. Sangat manis.
"Gue bilang ke Zola, kalau nggak akan ada hubungan apa pun kalau berharap sama gue."
Fale refleks menoleh. Ia sedikit mendongak untuk melihat wajah Edgar. "Kenapa?" tanyanya ragu.
"Ada lu, kan?"
"Bukan." Fale berhenti melangkah tepat saat Edgar ingin membuka pintu penumpang untuknya. "Maksud gue kenapa? Lu nggak suka sama status pacaran atau semacamnya?"
"Bener, gue nggak suka hal-hal begituan." Edgar tersenyum sambil merapikan ujung rambut Fale yang terikat rapi ke belakang punggung. "Tapi gue bakal bertahan kalau nyaman. Ngerti maksud gue, kan?" Lalu membuka pintu penumpang dan menyuruh Fale masuk ke mobil.
Kereta besi itu melaju sedang menuju kediaman Wirasena. Tak ada obrolan apa pun yang terjadi di antara mereka karena seperti biasa suara musik dari tape mengudara saat mesin mobil mulai dinyalakan. Sekitar dua puluh menit kemudian mereka akhirnya sampai di pelataran luas rumah mewah yang sudah berisi beberapa mobil di sana.
Edgar turun lebih dulu, berjalan cepat mengitari kap mobil untuk membukakan pintu penumpang. Kemudian, memberikan sebelah tangan pada wanita yang tak ia sadari sedikit berbeda. Sejak ucapan Edgar di lahan parkiran, Fale mulai memikirkan apa pria itu tak merasakan hal yang sama saat mereka berciuman atau Edgar memang terlampau biasa mencium seorang wanita. Lantas perasaan asing mulai mengetuk hati Fale yang mengatakan ia mungkin sama seperti barisan wanita yang diajak pria itu bercumbu mesra.
Benar-benar tak ada yang istimewa dari ciuman mereka.
Setelah keluar dan menutup pintu mobilnya, Fale yang masih merasakan genggaman Edgar mulai menarik tangan hingga pria itu tampak mengernyit kebingungan.
"Kenapa?"
"Apanya yang kenapa? Kita udah di rumah Mama dan cuma mau bilang itu aja, sih."
"Oh." Edgar mengangguk paham dan mulai berjalan di samping Fale menuju pintu utama.
Saat masuk keduanya disambut hangat oleh tuan rumah yang langsung mengajak mereka ke ruang tamu. Ternyata sudah terdapat beberapa orang di sana. Bukan hanya keluarga, tapi beberapa orang yang Fale kenal sebagai sahabat ibunya.
"Falea?"
Atensi Fale ditarik oleh suara pria yang memanggilnya lembut. Matanya memicing sebelum terbelalak karena rasa terkejut. Ia berjalan menghampiri pria tersebut dan meninggalkan sang ibu yang masih berdiri bersama Edgar di ujung sofa.
"Arif?" sapa Fale sambil memeluk pria yang menjadi sahabat kecilnya dulu.
"Siapa, Tan?" Edgar mengernyit saat Fale memeluk pria itu dengan rasa antusias.
"Namanya Arif, temen kecil Fale." Lani menarik lengan Edgar untuk duduk di sofa. "Papa sama Mama kamu masih di lantai atas. Mungkin bentar lagi turun."
Edgar mengangguk pendek. Tatapannya masih tertuju pada Fale yang sudah melepaskan pelukan erat itu sambil tertawa ketika pria yang malam ini mengenakan kemeja biru mulai mengajaknya bicara.
"Arif ada niatan mau lamar Fale, Ed. Mereka tuh, waktu kecil pernah janjian kalau udah sama-sama dewasa mau jadi sepasang pengantin." Lani berujar dengan nada girang yang tak bisa disembunyikan. "Jujur, Tante seneng banget dengernya. Padahal mereka waktu itu pasti cuma main-main doang," sambungnya sambil terkekeh geli dan begitu bahagia.
Namun, tidak dengan Edgar yang sontak menajamkan tatapan ke arah Fale dan pria bernama Arif. Dua orang itu mulai berjalan meninggalkan ruang tamu dan meninggalkan Edgar yang tiba-tiba saja menikmati perasaan tak nyaman. Apa katanya tadi? Lamaran? Sepasang pengantin? Rasanya seperti meletakkan kertas tisu di atas lilin menyala saat Edgar mendengarnya.
Sial! rutuk Edgar dalam hati.
Nah loh, nggak mau ada hubungan tapi marah? Hayoo, sadar nggak kalau lagi cemburu, Ed?
Tekan bintang ya guys.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top