SIP : Bab 13.
"Berhenti, aku mohon berhenti! Please, stop bikin aku capek kayak gini!"
"Mas cuma mau ngobrol sama kamu, Fal. Nggak lebih. Mas juga mau minta maaf sama kejadian malam itu."
"Menurut Mas perempuan gila mana yang bisa nyaman ngobrol sama lelaki yang hampir merkosa dia! Aku bukan perempuan bodoh! Asal Mas tau!"
Saat itu, Fale yang masih mengenakan dress berwarna ivory dengan tas tangan yang akan berubah jadi senjata jika tiba-tiba pria di depannya menyerang, sudah mulai menangis sambil terisak. Bukan sekadar takut tapi juga merasa lelah dengan sikap kakak tirinya yang makin hari makin gila. Padahal siang tadi, pria itu sudah mengucapkan janji suci pernikahan di depan para tamu undangan.
Namun, Alka masih tak lelah mengejar Fale yang jelas-jelas tak akan sudi memberi waktu untuk mendengarkan permohonan maaf karena kejadian malam itu.
"Falea, ada masalah?"
Fale menoleh. Posisinya masih di depan pintu apartemen yang tak berani ia buka. Fale takut jika membuka benda tersebut, pria yang entah sejak kapan menunggunya di depan gedung apartemen ikut masuk ke kamarnya.
"Mas Ezra, tolong telepon satpam! Kasih tahu ada orang gila yang nerobos masuk ke sini!" perintah Fale pada pria di depan pintu kamar lain yang tadi memanggilnya.
"Eh, oke oke!" Pria yang menempati unit sebelah kamar Fale bergegas masuk mengambil ponsel dan kembali keluar sambil bicara dengan seseorang dalam sambungan.
"Saya kakaknya!"
"Nggak, dia bukan kakak aku, Mas!" bantah Fale saat Alka mulai membela diri.
Menatap Alka dengan mata yang basah disertai sorot kebencian, Fale yang bergerak mundur selangkah akhirnya bisa bernapas lega saat Alka terdengar mengumpat pelan sebelum melenggang pergi.
"Falea, kamu oke, kan?"
Fale tak menjawab pertanyaan khawatir dari tetangganya, ia malah terduduk lemas setelah pria yang dianggap anak sendiri oleh ibunya berhasil membuat ia hidup dalam ketakutan dan rasa tak nyaman.
Terkesiap dari lamunan pagi saat suara nyaring teko air yang ada di atas kompor berbunyi, Fale yang berhasil menyeret kesadarannya dari bayangan menyebalkan beberapa tahun lalu mulai bergerak mengambil cangkir di dalam kabinet. Lalu memutus aliran listrik pada kompor elektrik yang baru saja ia gunakan.
Pagi ini Fale memilih green tea untuk menemani selembar roti dengan olesan selai kacang sebagai menu sarapan. Sambil menggigit roti tawar yang dilipat menjadi segitiga, Fale mengayunkan langkahnya menuju balkon.
Semalam hujan. Bau basah di pagi hari yang merebak di udara sedikit membuat ia merasa jauh lebih tenang. Bayangan sikap kurang ajar Alka membuatnya tak mendapat tidur berkualitas sedikit pun, hingga keadaan itu memaksa ia bangun dalam keadaan yang terasa melelahkan. Menyeruput sedikit teh hijau tanpa gula, Fale memutar kepalanya ke arah balkon Edgar yang seperti tak ada tanda-tanda orang di dalamnya. Gorden berwarna abu-abu masih terpasang rapat, pun dengan jendela kaca yang menjadi pembatas balkon dan kamar pria itu.
Kembali menggigit rotinya, Fale memilih menatap langit sebelum mengembuskan napas kasar.
Ada apa dengan hatinya?
Bukankah sejak awal ia menganggap kalau Edgar seorang cassanova? Entah itu benar atau tidak, harusnya Fale tak meletakkan harap apalagi rasa. Terlebih saat status di antara mereka sudah jelas-jelas tak akan berubah. Ia tak bisa membayangkan bagaimana keterkjutan sang ibu jika tahu ia melakukan hal yang melewati garis antar sepupu.
Mendesah kasar saat kepalanya mulai pening karena tiba-tiba memikirkan Edgar, Fale kembali beranjak ke dalam apartemen. Meletakkan cangkir teh yang isinya sudah ia habiskan di bawah wastafel, lalu melenggang masuk kamar untuk mengambil tas dan blazer sebelum pergi bekerja dalam keadaan mood yang berantakan.
Hari ini sepertinya Fale harus bersikap tegas pada hatinya yang mulai goyah. Edgar bukan pria yang tepat jika ia jadikan tempat ternyaman untuk berbagi cerita, apalagi untuk menolongnya dari rasa takut yang selama bertahun-tahun ia sembunyikan sendiri. Jadi, pilihan untuk membatasi diri adalah yang paling tepat saat ini.
Berjalan santai menuju pintu apartemen, Fale yang hari ini memakai kemeja biru dipadu celana bahan hitam dibuat terkejut dengan pria yang sedang ia pikirkan sudah berdiri di depan pintu unitnya. Fale kira Edgar masih tertidur pulas. Pria itu terlihat santai mengenakan hoodie putih dan celana pendek berwarna hitam sambil memainkan ponsel sebelum memberi atensi penuh padanya.
"Baru mau gue telepon."
"Lu ngapain?" Fale sudah benar-benar keluar saat Edgar yang bergerak mengantongi ponsel berujar demikian.
"Gue mau nebeng ke rumah Tante Lani."
"Gue nggak mau kasih tebengan." Fale menyahut sambil berjalan bersama Edgar menuju elevator. Tepatnya nggak mau deket-deket sama lu, Ed, batinnya mendesah pasrah saat Edgar masih terlihat santai memasuki lift dan berdiri di sampingnya.
"Terserah sih, gue tetep bakal naik mobil lu. Entah di balik setir atau kursi penumpang." Edgar tersenyum jail saat pantulan wajah Fale di tembok lift terlihat kesal. Ah, ia suka sekali melihat sepasang manik itu berotasi malas. "Mau gue yang pegang setir atau lu?" tanyanya sambil menengadahkan sebelah telapak tangan di hadapan Fale. Tak lama wanita itu mengeluarkan kunci mobil dan menyerahkannya.
"Good girl, Fal." Edgar tersenyum, lalu mengernyit saat tangannya yang hendak menepuk kepala Fale ditangkis kasar.
"Mood gue lagi jelek, jangan bikin gue nambah kesel sama tingkah lu yang kayak gini, ya!"
Meski sedikit terkejut, Edgar mengangguk saja sambil mengatongi kunci mobil Fale. "Lu insom ya, Fal? Muka lu kayak orang ngantuk."
"Bukan urusan lu." Fale mulai kesal kenapa ia begitu sensitif pagi ini, padahal beberapa menit yang lalu ia melirik ke arah balkon Edgar untuk memastikan keberadaan pria itu.
Memilih diam meladeni wanita yang sepertinya sedang datang bulan, akhirnya mereka berjalan menuju parkiran mobil dalam keadaan diam. Meskipun sebenarnya hanya Fale yang begitu sedangkan Edgar sudah dua kali menyapa penghuni gedung yang tak sengaja berpapasan di jalan. Fale sedikit heran. Pria itu bahkan belum genap satu bulan tinggal di sana dan sudah mengenal beberapa tetangga yang kadang jarang di rumah. Mengingat Edgar seorang pengangguran yang punya banyak waktu luang, Fale memilih abai saja meski sedikit penasaran hal apa saja yang pria itu lakukan saat siang.
Selama perjalanan, Fale masih setia bungkam. Wanita itu bahkan tak sedikit pun melirik ke arah Edgar yang sesekali mengikuti lirik lagu yang diputar dalam tape. Hingga atensinya sedikit teralih saat jalan yang dilalui Edgar bukan mengarah pada rumah melainkan perusahaan.
"Lu bilang mau ke rumah Mama?"
"Gue nganter lu aja ke perusahaan, nanti pinjem mobil Papa di sana buat ke rumah Tante Lani."
Sambil mengangguk santai, roda empat itu mulai memasuki parkiran khusus. Fale sesekali mendesah pelan merasakan mood yang kacau pagi ini hanya gara-gara perasaan aneh jika sedang bersama Edgar.
"Lu bawa aja mobil ini. Nanti gue pulang bareng Om Edo."
"Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?" Bukan menjawab, Fale malah balik bertanya. "Mobil Om Edo suka dibawa keluar kalau ada pertemuan outdoor mendadak."
"Oh. Oke gue bawa mobil ini, nanti pulang gue jemput. Kabarin aja pulang jam berapa."
"Nggak usah!"
Makin bingung dengan sikap Fale yang pagi ini terlampau sensitif, Edgar sengaja mengunci pintu mobil saat wanita itu sudah melepas sabuk pengaman. Perhatian Fale tertuju padanya saat suara door lock terdengar dalam ruangan sempit tersebut.
"Kenapa dikunci?"
"Ada masalah, ya?"
Fale mengembuskan napas kasarnya. "Nggak ada! Gue emang lagi bete aja pagi ini."
"Tapi keadaan lu nggak kayak biasanya, Fal. Gue tahu sih, lu suka marah-marah. Cuma hari ini beda aja vibe-nya. Apa gara-gara kejadian semalam? Lu nggak bisa tidur ya, kalau habis ketemu Alka?"
"Bukan urusan lu, Ed. Udah deh, nggak usah sok perhatian tanya keadaan gue atau berusaha peduli. Gue lagi males ladenin basa-basi orang yang suka—"
Mata Fale mengerjap dua kali saat Edgar menarik tengkuknya dan mengecup singkat bibirnya. Mungkin tak lebih dari dua detik dan setelah itu Edgar kembali duduk tenang di kursi setir sambil membuka door lock hingga mengeluarkan bunyi klik.
"Selamat bekerja sekretaris bawel yang—"
Kali ini Edgar yang dikejutkan dengan satu tamparan di pipinya. Ia refleks menoleh ke kanan sebelum memberi atensi pada Fale yang menatapnya berang.
"Fal—"
"Apa karena kejadian di Paris? Atau karena cerita semalam yang bikin lu kurang aja gini sama gue!"
"Fale, gue nggak ada maksud—"
"Bersikap layaknya sepupu! Lu tau batasan, kan?!" bentak Fale. Dadanya turun naik saat gemuruh emosi membuat napasnya terasa cepat.
"Fal ...." Tangan Edgar gegas meraih lengan wanita yang hendak turun dari mobil. "Lu tahu kan, yang tadi itu cuma—"
"Cuma apa?! Bercanda? Cari perempuan yang bisa lu ajak bercanda sampai bisa diajak tidur sepuasnya!"
"Falea ...."
"Lu nggak ada bedanya sama bajingan itu, Ed! Sama-sama berengsek!" pungkas Fale sambil menepis kasar tangan Edgar yang masih memegangi lengannya, lalu turun dari roda empat itu meninggalkan Edgar yang diam menatap kepergiannya.
Udah tau lagi mode singa betina, masih aja dibecandain. Gak dipukul pakai tas aja udah bagus lu, Ed.🥲
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top