SIP : Bab 12.

Awalnya Fale tak membenci Alka.

Saat itu usianya masih sangat kecil untuk dilibatkan memutuskan pilihan. Namun, Fale ingat saat sang ibu mengatakan akan menikah dan memberi tahu kalau calon ayah tirinya memiliki seorang anak laki-laki.

Bisa jadi seorang kakak untuk Fale. Katanya begitu, tapi hingga saat ini Fale tak pernah merasakan ada peran seorang kakak dari pria yang usianya lima tahun lebih tua darinya. Bukan tak menerima keberadaan Alka. Sejak kecil Fale memang sulit berbaur dengan orang asing. Ia tak mudah akrab dan cenderung memisahkan diri jika merasa tak nyaman berada di sekitar orang yang tak ia kenal.

Bahkan dengan pria yang sekarang Fale panggil dengan sebutan Papa saja, ia butuh waktu lama untuk sekedar mengobrol biasa hingga tak sungkan bertegur sapa. Semakin beranjak dewasa, Fale merasa bersyukur karena ada sosok pria yang bisa ia panggil Papa, bisa datang ke sekolah bersama ibunya jika ada sebuah acara, dan bisa membuatnya merasakan sosok pengganti pria dewasa yang tak sempat bertemu dengannya.

Demi Tuhan, Fale bersyukur dengan semua itu dan ia menyayangi ayah sambungnya seperti menyayangi ibu kandungnya.

Namun, untuk Alka ia tak pernah menganggap pria itu keluarga. Sikap Alka yang membuat ia tak pernah ingin menganggap pria itu sebagai seorang kakak. Sikap gila yang sampai saat ini menjadi alasan Fale tak nyaman ada di rumah.

Mereka tak pernah mengobrol santai, apalagi bertukar canda tawa saat ada di ruang yang sama. Fale jadi orang yang selalu membatasi diri dan orang tuanya pasti mengerti dengan salah satu sikapnya itu.

Namun, sepertinya tidak dengan Alkana. Fale tak tahu apa pria itu merasa tersinggung dengan sikapnya atau memang sudah menyimpan rasa sejak lama. Alasan apa pun itu tak ingin Fale ketahui, sebab kebenciannya pada Alka rasanya sudah mendarah daging sekarang.

"Mas Alka!"

Dengan tubuh yang gemetar, Fale beringsut sambil meremas selimutnya. Matanya menatap tajam pria yang entah sejak kapan ada dalam kamarnya. Saat sadar ayah dan ibunya sedang tak ada di rumah, kepanikan dan keterkejutan itu berubah wujud jadi ketakutan yang membuat dada berdebar hebat.

"Kamu emang sengaja ya, kalau tidur pintu kamarnya nggak pernah dikunci? Nunggu aku masuk, ya?" Seringai menyeramkan itu muncul di sudut bibir Alka.

Memang benar. Fale tak pernah mengunci pintu kamar karena sebelumnya juga seperti itu. Tak ada maksud lain atau membenarkan tuduhan yang baru saja pria itu layangkan.

"Orang gila! Aku bisa teriak, ya!" ancam Fale dan merasa bersyukur suaranya tak bergetar sedikit pun.

"Teriak aja, Fal. Nggak ada orang di rumah." Sambil menyeringai culas, Alka naik ke atas tempat tidur wanita itu. "Aku udah sering loh, masuk ke sini tengah malam. Tapi karena ada Mama sama Papa aku nggak bisa bangunin kamu, sekarang mereka lagi di luar kota jadi aku bebas."

Tangan Fale yang meremas selimut makin gemetar ketakutan. Penglihatannya mulai buram saat rasa panik dan takut itu sepertinya mengundang air mata.

"Mas jangan gila, ya!"

"Nggak, kok." Dengan satu kali gerakan, Alka berhasil menarik selimut Fale. Melihat tubuh sang adik tiri yang hanya memakai piyama pendek. "Kamu sadar nggak sih, Fal. Mas udah merhatiin kamu sejak lama. Mas suka sama kamu, Falea."

"Mas!" Fale hendak turun dari kasur tapi kecepatan tangan Alka sudah menarik lebih dulu kakinya. "Aku nggak akan maafin kamu ya, kalau berani apa-apa!" Dan tangis yang ditahan Fale pecah begitu saja. "Mas Alka jangan!" pintanya saat Alka bergerak cepat mencium lehernya dan menggunakan sebelah tangan menggerayangi tubuhnya.

Dengan perasaan takut luar biasa dan air mata yang mengucur melewati pelipis, tangan Fale yang tadi menahan dada Alka bergerak mengambil ponsel di atas nakas. Bukan untuk menghubungi seseorang, tapi untuk memukul kepala pria itu berkali-kali hingga Alka beringsut menjauh dan memberi ruang yang dijadikan Fale untuk kabur. Sebelum lari, pajangan di atas nakas yang terbuat dari kayu menjadi senjata kedua Fale untuk memukul Alka yang masih memegangi kepala di atas tempat tidurnya.

Setelah mendengar erangan kesakitan dan umpatan kasar, barulah Fale berlari ke arah pintu yang ternyata dikunci pria itu. Namun, bodohnya Alka tak menyembunyikan anak kunci hingga Fale dengan mudah membukanya saat pria itu masih memegangi dahi yang ternyata berdarah.

Berlari menuruni anak tangga, Fale terus memanggil ibunya meskipun ia tahu wanita itu tak ada di rumah. Namun, jerit ketakutannya berhasil memancing satpam penjaga rumah masuk dan beberapa pelayan bangun dari tidur lelapnya tepat di jam dua dini hari.

"Kapan kejadiannya, Fal?"

"Udah lama, waktu gue baru masuk kuliah."

Merasakan tangan Edgar menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya, Fale tatap pria itu dan merasa bingung kenapa cerita kelam yang tak pernah ia ungkap pada siapa pun terurai begitu saja. Saat ciuman yang entah apa alasannya benar-benar selesai, sorot mata Edgar terlihat kebingungan. Pria itu menarik tubuhnya pelan-pelan, membawa ia ke dalam pelukan sambil terus mengusap punggungnya. Lantas saat satu pertanyaan keluar, ratusan kata yang menjadi jawaban Fale tumpahkan saat itu juga.

Sekarang setelah benar-benar sadar ia merasa malu sekaligus kesal.

"Lu udah cerita hal ini sama Tante Lani?"

Fale menggeleng pendek. Matanya terpejam sebentar saat tangan besar Edgar mengusap pipinya, lalu kembali menatap pria yang juga sedang menatapnya. Harusnya ia tak membuka semua cerita di depan pria itu, tapi saat tatapan dan usapan lembut itu dirasakan, Fale ingin semua beban dan kegundahan hati yang selama bertahun-tahun ini ia sembunyikan hilang setelah jadi kisah yang berani ia ceritakan.

"Jadi ini alasannya kenapa lu milih tinggal di apartemen?"

Fale mengangguk.

Sambil tersenyum, Edgar menepuk pelan pipi wanita itu lalu keluar dari kendaraan yang masih mengurung mereka. Berjalan cepat mengitari kap mobil untuk membukakan pintu penumpang.

"Ayo turun! Lu harus istirahat, Fal."

Bak bocah yang tak tahu apa-apa saat diarahkan orang dewasa, Fale yang tadi bercerita panjang lebar tak lagi bersuara saat Edgar memintanya turun. Menuntun tangannya sambil berjalan menuju elevator. Bahkan setelah berada dalam kurungan besi itu pun belum ada lagi percakapan yang ada hanya usapan lembut tangan Edgar di punggung tangannya.

"Fal?"

"Hmmm."

"Gue boleh tanya lagi, lu nggak mau cerita ke nyokap karena takut atau malu?"

Pertanyaan itu terjeda saat pintu besi di hadapan mereka terbuka. Edgar yang lebih dulu bergerak keluar, masih membawa tangan Fale dalam genggamannya.

"Mas Alka ngancem kalau gue bilang."

Edgar mengernyit terkejut. "Ngancem?"

Sambil mengangguk, Fale jatuhkan tatapannya pada genggaman tangan mereka. "Gue lebih takut kejadian itu ada efeknya buat Mama. Gue bisa lihat kalau Mama sama Papa Aldi tuh, bener-bener tulus dan gue juga percaya Papa Aldi emang suami yang baik buat Mama. Menurut lu gue harus gimana selain pilih pergi dari rumah?"

Mereka berhenti tepat di depan pintu apartemen Fale. Edgar mengangguk paham sedangkan Fale yang tak lekas memasukkan sandi apartemen berakhir menatap Edgar di depannya.

"Mungkin gue bakal pulang kalau Mas Alka sama istrinya keluar dari rumah itu."

"Apa dia juga masih berani setelah punya istri?"

Fale mengangguk samar. "Dia bilang pernikahan itu cuma buat nyenengin Mama karena Mama yang ngenalin Mbak Sally ke Mas Alka. Dia juga bilang setiap tidur sama Mbak Sally ... dia ... lu pasti ngerti, gue bahkan jijik inget omongannya, Ed."

"He's really obsessed with you, Fal."


"Dan itu yang bikin gue takut ketemu dia bahkan pulang ke rumah."

"Oke, gue ngerti. Nggak usah dilanjut." Edgar bergerak memberi pelukan singkat dan tepukan pelan di punggung Fale, lalu memisahkan diri dan mengambil satu langkah mundur. "Sekarang lu istirahat aja," suruhnya sambil menunjuk pintu apartemen Fale dengan dagu.

"Ed."

"Hmmm."

"Makasih."

"My pleasure, Babe." Edgar tersenyum saat Fale mendengkus kecil menanggapi godaannya, lalu membuka pintu apartemen dengan gerak santai. "Mimpiin gue ya, kalau bisa."

"Gue nggak mau!"

"Nggak apa-apa, gue tetep maksa buat dateng ke mimpi lu. Sweet dreams, Falea."

Dan Fale harus bagaimana saat dadanya kembali berdebar disertai dorongan gila yang ingin membawa Edgar masuk ke apartemennya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah buru-buru menutup pintu dan meninggalkan pria itu.

"Jangan! Lu nggak boleh, Fal. Gimana mungkin lu mau maju padahal udah tahu kalian cuma bisa jadi sepupu!"

Kalau kata readers terobos aja, Fal. Boleh kok dari sepupu jadi sesuatu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top