SIP : Bab 1.


Sebelumnya, halo semua.

Selamat datang di salah satu dongengku.

Semoga apa yang aku tulis menjadi hiburan dan pelajaran.

Anyway ini cerita dewasa, harap bijak memilih bacaan, ya.

Genre: chiklit, romance adult, mature.

Selamat membaca.

^__________________^

"Emang dasarnya bodoh!"

"Bego banget sih, bisa sampai kejadian begini?!"

"Udah dibilang jangan sampai tipsy, Fal! Masih aja ngotot nyoba-nyoba!"

"Bangsat!"

"Mau gimana coba kalau udah begini?! Sialan!"

Masih sibuk memaki diri sendiri, wanita yang baru saja mengikat asal-asalan rambut panjangnya mulai duduk di ujung kasur. Setelah menyambar stoking hitam yang berceceran di lantai, ia memakainya buru-buru dari ujung kaki sampai ke paha hingga membuat bahan tipis itu sedikit robek terkena kukunya.

Selesai mengenakan sepasang stoking hitam model jaring-jaring kecil, wanita yang kerap dipanggil Fale itu gegas bangun dari posisinya. Ia menurunkan sedikit rok mini yang dikenakan sambil berlari meraih tas dan ponsel yang ada di atas nakas.

"Mampus!" umpatnya untuk yang kesekian kali.

Kali ini bukan karena keterkejutan yang terjadi setengah jam lalu saat ia sadar terbangun dengan keadaan telanjang sambil memeluk punggung seseorang, tetapi karena 50 panggilan tak terjawab serta puluhan pesan yang menyerbu ponselnya. Semakin panik dan sedikit gemetar ketakutan, Fale memasukkan ponsel ke dalam tas.

Bergerak cepat mencari-cari sepatu, wanita yang memiliki tinggi kurang dari 160 cm tersebut menggeram kasar karena tak menemukan benda itu di mana-mana meskipun sudah mencari ke kolong-kolong meja.


"Oh, kau sudah bangun?"

Fale yang masih berjongkok mencari sepatunya nyaris tersungkur mendengar suara serak seorang pria yang masuk ke gendang telinga. Ia refleks menoleh, melihat seseorang yang tadi tidur dengan posisi telungkup mulai bergerak telentang sambil menguap lebar. Mengabaikan pria di atas kasur, Fale kembali mencari sepatunya agar bisa cepat-cepat keluar dari sana.

"Apa yang kaucari?"

"Shut up!" sahut Fale tak mengalihkan kegiatannya.

Mengernyit mendapati balasan ketus itu, pria yang kini bersandar pada headboard mulai fokus mengamati wanita yang semalam jadi teman tidurnya. Ia biarkan selimut hotel yang dipakai hanya menutupi bagian pinggul hingga ke bawah, sisanya dengan sombong ia pamerkan.

"Kau ingin pergi?" Pria itu kembali bertanya saat menguap. "Kenapa buru-buru? Kurasa kita perlu sarapan bersama atau sekedar mengobrol tentang kejadian semalam."

Fale refleks menoleh. Ia menatap angker pria yang tampak menyeringai puas karena berhasil menarik atensinya. Mengembuskan napas kasar, Fale berkacak pinggang dengan tatapan yang menghunus tajam.

"You bastards! fucking!"

"Wow!" Pria tersebut membuat raut wajah yang pura-pura terkejut. "Kenapa bicara seperti itu, Babe? Kita menikmati malam dengan gairah serupa. No need to curse," tambahnya santai seraya menyisir rambut pirangnya dengan jari.

Napas Fale yang sejak tadi tak beraturan makin terasa bergemuruh saat pria di sana jelas tak seperti dirinya yang nyaris tenggelam dalam rasa panik dan takut. Namun, sialannya dalam keadaan seperti ini pun Fale tak bisa mengabaikan otot tangan yang menonjol sombong saat pria tersebut memakai dua tangan sebagai bantalan, memamerkan tato di salah satu lengan yang terlihat seksi, dada bidang yang tampak keras, bahu lebar dan kokoh, serta bulu ketiak sialan yang membuat Fale berpaling sambil mengumpat kasar.

"Di mana sepatuku?!" tanya Fale tak ramah.

"Kau benar-benar ingin pergi?"

Fale kembali memberi atensi pada pria yang masih terlihat santai di atas kasur. "Jangan banyak bertanya, cepat katakan di mana sepatuku? Aku yakin kau mengerti bahasa Inggris, bukan?!"

Tawa menyebalkan meluncur dari bibir tebal pria itu. "Kita sejak semalam memakai bahasa Inggris, Nona. Bahkan mendesah pun memakai bahasa itu."

"Oh, shit!"

Fale nyaris bergidik ngeri saat bayangan tentang umpatan yang mungkin semalam ia ucapkan, mulai muncul diingatan. Masih menatap berang pria di sana, Fale mulai merasa bodoh jika terus marah-marah sebab memori bercinta yang semalam mereka lakukan mulai berkumpul seperti potongan puzzle, lalu mengejeknya tanpa ampun.

"I have to go!" teriak Fale frustrasi sambil meremas rambutnya sebentar. "Sialan! Kenapa apes gini sih, lu, Fal. Perasaan lu pamit deh pas mau berangkat, bukan kabur begitu aja!" sambungnya pada diri sendiri sebelum mengusap wajahnya kasar.

"Sepatumu ada di dekat pintu." Pria itu berseru tiba-tiba lalu turun dari tempat tidur. Bergerak memakai celana yang ada di lantai sebelum menarik resletingnya dengan santai. "Pergilah. Jika ada kebetulan lagi, kita harus bicara sambil minum kopi. Aku yang teraktir."

Fale bergegas cepat dari tempatnya, menyambar tas di atas meja yang sudah ia siapkan sebelum melempar tatapan tajam pada pria yang tersenyum mengerikan padanya.

"Are you nuts!"

"Not just me, but us to be exact."

"No, only you!"

"Kenapa begitu? Apa kau tidak penasaran dengan satu atau dua adegan kita di atas kasur ini?"

"Tutup mulutmu, bajingan!" sembur Fale sambil memakai sepatunya di depan pintu kamar, lalu mendesis kesal mendengar tawa mengejek dari pria yang melipat tangan di dada dan bersandar pada tembok yang tak jauh darinya.

"Hati-hati, Nona. Kamu terlihat buru-buru sekali." Pria itu kembali bersuara dengan nada meledek. "Padahal aku bisa mengantarmu kalau mau. Kau tahu bukan, Kota Paris begitu tinggi dengan kasus kejahatan bagi turis."

"Dan salah satunya kau! Kau penipunya! Memanfaatkan wanita mabuk dan menyeretnya ke kamar hotel, berengsek!"

Pria itu kembali menyeringai. "Terserah kalau begitu," balasnya santai. "Padahal aku hanya menawarkan bantuan."

Fale tak lagi menyahuti ucapan itu. Ia memilih memutar tubuh cepat dan berjalan menuju pintu untuk keluar dari sana. Mengeluarkan ponsel dalam tas, dengan gerak tergesa Fale menyusuri lorong hotel sambil menelepon salah satu sahabatnya yang pasti mencari dirinya semalaman.

"Dasar berengsek! Ke mana aja lu semaleman, Fale! Anak begadul sialan, lu bikin gue sesek napas dari semalem! Cepat bilang, lu di mana?!"

Fale menjauhkan ponsel saat suara nyaring yang menjawab panggilannya nyaris memecahkan gendang telinga. Ia menekan tombol elevator di hadapannya, menoleh sebentar pada pintu hotel yang ditinggalkan sebelum masuk ke sangkar besi yang mulai terbuka lebar.

"Lu sama Zola masih di hotel, kan?"

"Iyalah! Lu pikir gue berani pulang ke Indo nggak sama lu?! Bisa dimasukin penjara gue sama Tante Lani!"

Memilih bersandar pada tembok besi, Fale mendesah pasrah seraya memijat kening yang mulai berdenyut nyeri. Ia yakin efek itu bukan karena omelan Mira—sahabatnya dalam sambungan telepon—saja, tapi karena alkohol yang semalam entah berapa banyak ia konsumsi. Sekarang perutnya terasa mual tiba-tiba.

"Lu di mana, Fal. Cepet balik ke hotel, gue takut lu diculik."

Dari seberang telepon, suara wanita berbeda masuk ke obrolan Fale dan Mira.

"Gue lagi di hotel, cuma belum tahu hotel mana dan apa namanya. Nanti gue sherlock ke kalian kalau udah tahu. Kayaknya gue bakal pingsan di jalan, deh."

"Lu di hotel sama siapa, njir?!" Mira kembali mengambil alih obrolan.

"Gue kejebak sama cowok Prancis."

"Bajingan emang, ya!" sembur Mira tanpa ampun. "Habis bikin gue nggak bisa tidur semalaman, si Zola nangis sampai ingusan, dan lu semalem malah main kelonan! Dasar otak Adudu! Kalau bukan anak bos, udah gue cekek lu kalau ketemu. Lu tahu, gue sama Zola tengah malem lapor ke polisi, kita takut lu diculik sama mafia. Mending kalau lu beruntung kayak Laura diculik Massimo terus dijadiin ratu, kalau kagak bisa berakhir di pasar China. Dijual tuh organ dalem lu!"

"Udah, udah! Gue mual dengerin lu ngomel, Mir. Nanti gue telepon lagi!" pungkas Fale sambil memutus sambungan dan keluar dari elevator yang membawanya turun. Ia berjalan cepat menuju meja panjang yang dijaga beberapa pegawai hotel sebelum menarik napas kasar.

"Please, lu inget nama hotelnya dan jangan pernah balik lagi ke sini!" batinnya berujar tegas. "Sekarang berdoa, Fal! Seumur hidup lu nggak akan ketemu lelaki Paris tadi. Aamiin. Biasanya doa anak yang nurut sama orang tua selalu dijabah walaupun gue jarang ke gereja."

Sembari memohon dalam hati, Fale berjalan percaya diri menuju meja resepsionis untuk bertanya nama hotel tersebut. Berharap besar permohonan kecilnya dikabulkan Tuhan tanpa syarat. Namun, cara kerja takdir tak pernah ada yang tahu, bukan? Bahkan sering kali datang dengan cara tak terduga hingga membuat orang-orang yang dijumpainya ternganga tak percaya.

****

Enam bulan kemudian.

Sudah tak terhitung berapa kali jari Fale mengetuk setir mobil. Embusan napas kasar yang mulai sering ia lakukan sudah menjelaskan bagaimana kebosanan memenjara dirinya saat roda empat yang dibawa terjebak kemacetan jalan raya.

Kembali melirik ponsel yang mengeluarkan bunyi notifikasi, kebosanan Fale bukan berkurang malah kian bertambah. Ia melempar punggung pada sandaran kursi setir sebelum mendesah pasrah melihat kemacetan yang menahan, sepertinya memiliki durasi panjang.

Dan benar saja, satu jam setelahnya kereta besi Fale baru terbebas dari kemacetan yang diakibatkan pohon tumbang di pinggir jalan. Terus membawa roda empat itu ke tempat tujuan, akhirnya Fale sampai di rumah mewah berlantai tiga dengan gaya mediterania bernuansa putih dan cokelat alami.

"Fale, kamu baru sampai, Nak?"

"Eh, Papa Aldi." Fale tersenyum sambil menghampiri pria yang menggantikan sosok sang ayah sejak usianya menginjak lima tahun. "Iya, aku kena macet. Papa Aldi dari outlet?"

Pria yang gemar memakai batik itu mengangguk pendek. "Sama, papa juga habis kena macet. Di jalan Kalijaga, kan?"

"Iya, Pa." Fale menjawab santai.

"Nggak apa-apa. Tadi papa udah bilang sih, sama Mama kalau kamu juga pasti kena macet. Orang jalannya sama, kan?"

Fale mengangguk saja sambil berjalan di sisi pria yang memiliki tinggi sama dengannya. Meski berstatus tiri ia sudah menganggap pria berusia 47 tahun seperti ayah sendiri, selain memberi banyak kasih sayang dan menggantikan sosok sang ayah yang meninggal ketika ia masih ada dalam kandungan, Fale juga menghargainya karena terlihat sangat menyayangi ibunya.

"Mama ada acara apa sih, Pa?"

"Nggak tahu papa juga, kayaknya dadakan, deh. Soalnya semalam nggak ada bilang apa-apa."

Terus berjalan memasuki rumah, Fale tak heran jika suasana dalam bangunan bak istana itu sudah ramai mengingat ada beberapa mobil yang tak ia kenali terparkir di halaman. Masih mengobrol santai dengan ayah sambungnya, suara sang ibu yang menyambut dari ruang keluarga membuat Fale menoleh dan tersenyum.

Wanita itu berjalan antuasias sebelum memeluk Fale yang hari ini memakai jumpsuit berwarna biru terang. "Ini kalian kok bisa barengan?" sambutnya setelah melepas pelukan singkat.

"Iya sampainya barengan, papa ketemu Fale di depan tadi. Kita sama-sama kena macet gara-gara pohon tumbang," balas Aldi pada wanita yang sudah 21 tahun menjadi istrinya.

"Ooh, pantes lama banget." Lani—nama ibu Fale sekaligus anak pertama dalam keluarga terpandang Wirasena itu mengangguk paham. "Ya udah, ayo! Ada kejutan dari Om Edo hari ini."

"Kejutan?"

"Ya udah, Mama sama Fale duluan aja, ya. Papa ke kamar mandi dulu. Udah kebelet."

"Oke."

"Kejutan apa sih, Ma?"

Kening Fale mengkerut samar. Sambil mengikuti sang ibu yang terlihat antusias, ia berjalan ke arah kerumunan orang-orang dalam ruang keluarga. Lantas tak lama melihat seorang pria yang bangun dari sofa untuk mengambil minuman di atas meja, menyisir rambut hitam tebalnya dengan jari, sebelum menoleh secara alami ke arahnya.

Untuk beberapa saat Fale hanya mengernyit. Ia terus berjalan santai sampai bola matanya terbelalak mengingat wajah tak asing milik pria yang juga menatapnya.

"Edgar, sini Sayang. Kenalin ini anak Tante." Lani berseru sambil memberi isyarat pada pria yang ada di tengah-tengah keluarganya. "Fal, itu Edgar. Anaknya Om Edo," bisiknya pada Fale yang terdiam di tempat.

Fale belum mencerna ucapan sang ibu. Ia masih mengamati pria yang berjalan menghampiri seraya menerka-nerka apa pemikirannya benar atau salah? Namun, untuk membuang rasa was-was berlebihan yang bercampur sedikit takut, Fale mengangguk kecil menanggapi ucapan sang ibu sambil mendongak menatap pria tinggi yang sudah sampai di hadapannya.

"Kalian pasti nggak saling kenal, kan? Edgar emang nggak pernah dibawa ke rumah ini." Lani kembali bersuara.

Kembali mengabaikan ucapan ibunya, prasangka Fale makin kuat dan beralasan saat pria di hadapannya ikut mengernyit ketika tatapan mereka saling bertabrakan. Namun, melihat seringai kecil yang tak lama muncul serta sorot terhibur dari sepasang manik gelap di sana membuat Fale yakin apa yang pria itu pikiran sama dengannya.

Bedanya Fale kesulitan mengontrol ekspresi terkejut sedangkan pria yang dikenalkan sang ibu dengan panggilan Edgar tersebut jelas orang yang pintar mengendalikan mimik wajah. Sekarang rasa kejut Fale perlahan berubah dengan perasaan takut sekaligus kesal yang menyerbu dari dua arah berlawanan.

"Dari miliaran cowok di dunia, kenapa harus dia sih, orangnya! Sialan!" batin Fale mengerang marah.

Tak kunjung melihat dua orang di depannya berjabat tangan, Lani mencolek lengan putrinya pelan. Lantas melihat Fale sedikit terkesiap sebelum menoleh padanya.

"Hai?"

Suara berat Edgar kembali menarik atensi Fale. Tak salah lagi, dia orangnya. Si Pria pirang di Paris.

Sudah menyodorkan sebelah tangan pada wanita yang pasti memikirkan banyak hal, Edgar tersenyum karena Fale tak kunjung membalas jabatannya.

"Hai," balas Fale setelah beberapa detik kemudian, lalu menjabat tangan besar yang terasa hangat dan kasar.

"Kalingga Edgardo ... Wirasena." Seringai licik Edgar kembali muncul merasakan tangan dalam genggamannya terasa dingin. "Panggil aja Edgar," sambungnya tenang.

"Gue Fale." Sambil menjawab, Fale menarik tangannya cepat dan berpaling dari tatapan Edgar yang tampak mengulitinya. "Sial! Doa gue nyangkut di mana, sih?!"

_______________________

Waaah, ottoke?

Aku harap kalian sukaaa.

Mohon dukungannya dengan cara menyentil bintang di pojok bawah dan bersilaturahmi dengan pasangan baru dalam imajinasiku lewat kolom komentar.

Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top