༺ Ruang Kisah ༻
[Ruang Kisah - Kebenaran]
mohon ingatkan kalau ada typo ^^
.
.
.
"DENGARKAN aku dulu, Kaly."
Orthopera mengikuti istrinya yang tampak kecewa. Mereka berdua berhenti di balkon kamar kerajaan yang langsung menghadap rumah penduduk dan hutan. Biasanya Kalyptra pergi ke sini untuk melihat langit senja dan menenangkan perasaannya. Namun kali ini situasinya berbeda.
Untuk pertama kalinya ia merasa begitu kecewa pada Orthopera. Hatinya terasa sakit sekali seolah sehabis ditikam belati, perasaan telah terkhianati tidak bisa dipungkirinya. Tetapi ketika melihat wajah bersalah Orthopera, Kalyptra benci bagaimana ia merasa bersalah terhadapnya. Ah, perasaan cintanya memang sedalam itu.
"Sebelumnya, aku sangat minta maaf. Aku tahu—tapi aku tidak punya pilihan lain—"
"Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara dirimu sendiri tahu bahwa aku tengah mengandung Marcia?!" ungkap Kalyptra dengan nada tinggi. "Aku tahu, kau terpaksa—aku tahu. Tapi tidak bisakah kau menerima takdir saja?"
Orthopera menunduk, lalu mengusap wajahnya frustasi. Ia jadi tidak mengerti mengapa masalahnya bisa menjadi serumit ini.
"Tidak ada yang bisa menjamin bahwa wanita itu akan mengandung anak laki-laki, jangan terlalu mempercayai ramalan!"
Orthopera menahan rasa frustasinya, ia sedang mencoba tabah dengan kerumitan di dalam dadanya. Ada desakan kuat dalam dirinya untuk menangis dan melampiaskan amarahnya. "Lantas siapa yang akan mewarisi kerajaan nanti?"
"Jangan berpikiran pendek!" Jika boleh jujur, merasa marah seperti ini semakin membuat lelah dirinya. Ditambah, sekarang ia tengah berbadan dua. "Marcia yang akan menanggungnya nanti."
Itulah permasalahannya. Orthopera tak rela jika anak gadisnya nanti yang harus menanggung beban kerajaan, terlebih sendirian. Akan tetapi, sebagian besar hatinya membenarkan perkataan Kalyptra: belum tentu selir itu akan memberikannya anak laki-laki.
Kalyptra menghela napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya terulur untuk mengusap air mata dengan kasar. "Berapa umur anak itu?"
"Lima bulan. Hanya berbeda dua minggu lebih lama dari Marcia."
Kalyptra menghela napas kuat-kuat, mencoba melepas tekanan dalam dadanya. Tak mau berlama-lama dengan suaminya di sini, ia memutuskan untuk pergi sejenak.
Tetapi, Orthopera menahannya. "Kau mau ke mana?"
"Tolong jangan bicara denganku untuk beberapa hari ini, aku ingin sendirian." Mendengar itu, Orthopera terdiam. Ia ingin membantah, tetapi ia harus bisa memahami kondisi istrinya itu. "Dengar, aku sudah memaafkan kejadian ini, aku hanya butuh waktu untuk berdamai. Jadi, tinggalkan aku sendiri. Aku akan pergi ke duniaku. Lagipula, besok aku juga ada jadwal bertemu dengan dokter kandungan."
"Besok aku akan menyusul, masih ada yang harus kuurus di sini—"
"Tidak perlu. Aku akan pergi dengan ibu," kata Kalyptra tegas. Ia bergegas mengganti gaun kerajaan dengan gaun rumahan dan kardigan panjang. Kini, dirinya sungguhan tidak ingin diganggu oleh siapa pun.
"Jika kau penasaran dengan anak yang dikandung wanita itu, bawa saja ke dunia kita. Biarkan dokter memeriksanya dengan USG. Kita akan bicarakan hal ini lagi nanti jika hasilnya sesuai harapanmu."
Setelah mengucapkan hal itu, Kalyptra pergi. Ada sebuah portal antar dimensi di dalam lemari besar yang berujung pada lemari lain di dunia nyata, dan Kalyptra menggunakan itu.
Sepeninggalan istrinya, suasana menjadi sunyi. Orthopera yang merasa kacau, duduk di tepi ranjang dengan penuh rasa bersalah. Ia menunduk dan menopang kepala dengan kedua tangannya. Sesekali ia mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya.
"Bodoh," makinya yang kesekian kali dalam hati.
Andai ada cara untuk mengetahui jenis kelamin anak yang dikandung selir itu. Jadi, Orthopera bisa memutuskan hubungan dengannya. Terdengar sangat egois, memang. Tetapi di lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak mau berpisah dengan Kalyptra.
Dan membawa wanita itu pergi ke dunianya adalah hal yang buruk. Apa yang harus ia jelaskan padanya? Tidak, Orthopera tidak mau mengambil resiko lagi dengan mengacaukan dunia lagi. Permasalahan berlubangnya tabir dimensi karena benang Sihir Henti Waktu kala itu sudah lebih dari cukup membuatnya jera.
Mau tidak mau, Orthopera pasrah. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu dan mengusahakan semuanya agar membaik.
***
Bulan-bulan telah berlalu. Hingga sampailah mereka pada hari yang telah ditunggu-tunggu. Viona kecil lahir ke dunia.
Tentu itu menjadi kabar bahagia bagi mereka. Orthopera sampai menunda semua pekerjaannya dan pergi ke dimensi lain. Ya, sebab Kalyptra menolak untuk melahirkan dengan para tabib. Ia lebih mempercayakan proses kelahirannya dengan dokter.
Sudah beberapa jam sejak Viona lahir, dan tak bosan-bosannya Orthopera menatap anak pertamanya yang masih tertidur pulas. Raut bahagia menghiasi wajahnya bersama seulas senyum. Sesekali tangannya terulur untuk mengusap pipi mungil itu.
Kalyptra yang terbaring di ranjang rumah sakit merasa sangat lega. Merasa sangat bangga dan bahagia sampai tak mampu berkata. Sedari tadi ia hanya terdiam, namun senyum selalu tersungging di bibirnya. Pandangannya berpindah-pindah dari menatap langit-langit, terpejam, dan memperhatikan suami serta anaknya.
Sebelum akhirnya kabar itu datang. Lewat komunikasi sihir, pasutri itu sama-sama terkejut kala segulungan surat muncul di udara kosong disertai bunyi 'plop'. Orthopera menatap perkamen itu sekilas, lalu meminta persetujuan Kalyptra untuk menerimanya.
Senyum bahagia masih tersisa di bibir Orthopera ketika hendak membaca isi perkamen itu. Akan tetapi, senyumnya luntur sesaat setelah membaca pesan itu. Ia sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaan bersalahnya, wajahnya tertunduk sedih.
"Ada apa?" Kalyptra bertanya.
Ah, haruskah ia memberitahukan hal ini padanya?
"Bolehkah aku kembali ke kerajaan lebih awal? Aku ada urusan."
Kalyptra mengangguk seraya tersenyum. "Tentu saja. Tidak apa, aku paham—"
"Wanita itu sudah melahirkan," kata Orthopera tiba-tiba. Sebetulnya ia tidak mau merusak momen bahagia ini, tetapi ia juga tidak mau berbohong lebih banyak kepada Kalyptra.
Sesaat setelah mengatakan itu, suasana menjadi hening dan canggung. Kedua sudut bibir Kalyptra pun menurun. Ia melamun sejenak sebelum lebih memilih untuk mengalihkan pandangan. "Ya, tentu saja. Jenguklah ia, serta sampaikan salamku padanya. Maaf belum bisa ikut menjenguk."
"Kalyptra ...." Untuk kesekian kalinya, Orthopera dibuat kagum dengan kepribadian istrinya itu. Caranya menyikapi hal ini dengan tabah membuatnya merasa beruntung sekali telah memiliki pasangan yang pengertian. Namun di sisi lain, ia merasa kecewa sekali dengan dirinya yang telah perasaan istrinya itu.
Orthopera sudah memperhitungkan semuanya, termasuk jadwal kelahiran anaknya yang lain. Tetapi siapa yang bisa menyangka bahwa selir itu akan melahirkan lebih cepat dari perkiraannya?
"Maaf," lirih Orthopera. Ada bagian besar dalam dirinya yang merasa gagal untuk menjadi seorang suami yang baik pada Kalyptra. "Maaf."
Kalyptra tidak menjawab. Masih kukuh untuk melamuni jendela dan mencoba berdamai kesekian kalinya dengan rasa sakit hati. Tetapi ketika suasana di sekitarnya terasa sepi, ia menoleh untuk mendapati bahwa Orthopera sudah tak ada lagi di tempatnya semula.
Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia sudah berjanji untuk tidak menangis di hari bahagia ini.
Kalyptra mengubah posisinya jadi menyamping. Matanya menatap Viona kecil di keranjang bayi lurus-lurus, seolah ingin mengajaknya bicara.
Marcia Viona, gumamnya dalam hati. Jika suatu saat nanti kamu mengetahui kebenarannya, tolong jangan membenci kami, ya.
Seakan bisa memahami apa yang Kalyptra katakan, beberapa detik setelahnya Viona kecil memberi respon. Bayi itu mendadak menangis, membuat Kalyptra sempat terperanjat dan bangun dari posisinya.
Ia ingin memanggil perawat, sebab kondisinya belum terlalu pulih untuk saat ini. Akan tetapi, Kalyptra ingin sekali untuk menggendong bayi mungilnya itu.
Hampir saja ia hendak bangkit untuk mendekatkan keranjang bayi padanya, sebelum ia tersadar mengapa tidak menggunakan sihir saja untuk melakukannya. Selagi tidak ada orang di sini, Kalyptra akan menggunakan kesempatan ini.
Ada sihir khusus yang jika dilafalkan pada orang dikehendaki, maka ia akan bisa menggunakan sihir juga. Dan itulah yang dilakukan Orthopera pada Kalyptra. Walaupun sihirnya tak sehebat suaminya, tetapi setidaknya ia bisa menggunakanya untuk mempermudah perkerjaannya seperti saat ini.
Dengan hati-hati, ia mengeluarkan Viona kecil dan menggendongnya. Untuk sejenak, rasanya semua bebannya lenyap ketika ia memandang wajah lucu anak pertamanya itu. Sembari mendiamkan tangisannya, tangan Kalyptra terulur untuk mengusap air matanya.
Namun, entah karena kondisi kulit Kalyptra yang tengah mendingin atau bagaimana, Viona kecil melonjak pelan di dalam dekapan sang ibu. Tentu saja Kalyptra ikut terkejut, apalagi bayinya sampai mengerjapkan mata pelan.
Saat itulah Kalyptra menyadari sesuatu yang aneh. Ia bahkan terdiam, masih dengan menatap Viona kecil yang sudah terpejam kembali. Walau hanya beberapa detik, tapi ia yakin dirinya tidak salah lihat.
Bahwa, Viona memiliki heterokromia.
Kendati warnanya berbeda, tetapi itu sudah cukup mengingatkannya pada seorang raja pertama yang namanya tertulis dalam buku-buku sejarah. Seketika pikirannya berbuntut panjang sampai rasanya Kalyptra mencoba mengingat semua sejarah kerajaan yang pernah ia baca.
Lalu, ia teringat dengan kisah Kekacauan di Hari Upacara Pemindahan Kekuasaan.
Kalyptra tidak ingin salah paham dulu. Tapi ketika ia mencoba mencocokkan tanggal lahir Viona dan tanggal kejadian kisah itu, matanya kembali berkaca-kaca. Ia tidak bisa membohongi perasaan bahagia dalam hatinya, tetapi ia juga tak ingin terlalu berharap. Namun, mungkinkah ...?
Tanpa bisa ditahan, bulir air mata berhasil lolos dan meluncur di pipinya, diikuti bulir-bulir lainnya, lantas bertambah banyak. Kalyptra menangis. Segera ia mendekap erat Viona kecil, berusaha untuk menyalurkan kebahagiaan yang ia rasakan untuk anaknya.
"Ya Tuhan," lirihnya. "Kelak kau akan menjadi anak yang hebat, Marcia Kau terberkati."
Bahkan jika dugaan Ibumu ini salah, jangan kecewa. Kau akan selalu hebat di mata Ibu.
Kalyptra mengusap air matanya. Selintas ide egois muncul di kepalanya. Ia tidak siap jika kelebihan Viona ini malah menjadi boomerang tersendiri baginya. Terlebih jika ia akan mendapatkan banyak tekanan di usianya yang masih belia. Membayangkannya saja membuat hati Kalyptra sakit.
Maka sebelum Orthopera maupun dokter lain menyadarinya, dengan penuh kenekatan Kalyptra menggunakan Mantra Pengubah Warna Iris di tengah kondisinya yang belum stabil. Sebenarnya itu adalah sihir mudah. Akan tetapi, Kalyptra menyegelnya dan membiarkan mantranya menghilang di usia Viona yang ke-tujuh belas.
Ini egois sekali. Kalyptra juga tidak bisa membayangkan reaksi Viona nanti jika sudah terbebas dari segel itu.
Setelah memastikan sihirnya bekerja dengan baik, Kalyptra mengembalikan Viona kecil pada keranjang bayi bersama rasa bersalah. Ia merebahkan badan, tenaganya sudah terkuras banyak dan sekarang tubuhnya bergetar.
Di tengah kesendiriannya itu sambil menunggu ibunya datang menjenguk, Kalyptra menyadari sesuatu. Senyum kecut terukir di bibirnya. Ia tidak mengerti mengapa ia juga mendapat 'kesempatan' untuk merasakan apa yang dialami Orthopera selama ini.
"Jadi begini rasanya terjebak antara rasa tidak ingin dan kewajiban, ya? Ortho, kau hebat sekali."
***
Kalyptra masih teringat dengan anak perempuan yang lahir di hari yang sama dengan Viona-nya. Saat itu, beberapa hari setelah ia melahirkan, ia sempat melihat bayi itu. Bayinya perempuan dengan iris ungu yang sangat cantik, seperti ibunya. Kalyptra jadi berpikir, jika bayi itu dan Viona lahir di hari yang sama, apa ia juga terberkati?
Di hari itu juga, Kalyptra juga paham bagaimana perasaan Orthopera serta harapannya. Tapi ia tak mau ambil pusing, dan berpura-pura tidak menyadari hal itu.
Waktu memang cepat berlalu. Yang Kalyptra ingat, sekarang sudah 16 tahun sejak kejadian itu. Ia jadi bertanya-tanya, kira-kira bagaimana kabar wanita dan anaknya itu. Siapa namanya? Di mana mereka tinggal? Apakah mereka baik-baik saja?
Suasana petang hari di balkon kamar kerajaan memang tidak ada tandingannya. Kalyptra selalu menyukai tempat ini. Rasanya ia bisa melupakan semua bebannya untuk sejenak.
"Apakah Viona sudah pulang sekolah?" gumamnya sambil menerka-nerka.
Berbicara soal Viona, Kalyptra merasa sedikit bersalah masih menyembunyikan tentang dunia sihir sampai saat ini. Walau ia sendiri tahu, tidak baik menyembunyikan kebenaran ini terlalu lama.
Akan tetapi, dirinya dan Orthopera sudah sepakat untuk memberitahu Viona sedikit demi sedikit. Mungkin mulai malam ini (?), jika saja mereka sudah menyelesaikan semua pekerjaan. Karena bila ia baru mengungkapkan yang sebenarnya ketika segel mantra yang menutupi heterokromia Viona telah lepas, semuanya akan rumit. Kalyptra juga berencana memberitahu Orthopera secepatnya.
Setelah berlama-lama tenggelam dalam lamunannya, Kalyptra memusatkan pandangannya secara sembarang ke arah taman kerajaan. Di saat itulah ia menyadari sesuatu yang aneh. Kalyptra kira ia melihat sebuah batang pohon besar yang tumbang, atau sesuatu yang tergeletak di tanah. Tetapi ketika ia mempertajam pengelihatannya, raut wajahnya berubah.
Itu salah satu pengawal yang berjaga di taman.
Dengan cepat, air mukanya berubah pias. Ia memanggil Orthopera beberapa kali sebelum menoleh ke bawah balkon dan memanggil pengawal yang tengah berjaga, memberitahu mereka tentang seseorang di taman—sebab, baru saja ia melihat sesorang berjubah hitam bergerak cepat di sana.
Secepat kedipan mata—bahkan sebelum pengawal menyadari apa yang terjadi, orang berjubah hitam itu tiba-tiba muncul dan lebih dulu menghabisi pengawal yang Kalyptra panggil tadi. Kalyptra tampak sangat syok bukan sampai refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. Di depan kedua matanya, ia melihat pengawalnya terbunuh.
Tanpa di duga, si orang berjubah menengok ke atas, tepat ke arah Kalyptra yang masih di balkon. Tubuhnya berdiri tegap, tudungnya berkibar pelan diterpa angin, wajahnya tertutupi kain. Namun, tatapan tajam yang ia berikan pada Kalyptra berhasil menyalakam alarm tanda bahaya di kepala ratu itu.
Sayangnya, Kalyptra kalah cepat. Sebelum ia sempat meninggalkan balkon dan kamar kerajaan, si orang berjubah itu entah bagaimana sudah memanjat—atau melompat—naik (Kalyptra tidak memperhatikannya). Dan hal selanjutnya yang terjadi adalah si orang berjubah itu menancapkan sebilah belati di abdomen kirinya.
Kalyptra membelalak. Ia masih tidak dapat mencerna apa situasi kini, semuanya terjadi begitu cepat Tahu-tahu sekarang bagian kiri perutnya terasa amat pedih. Ada benda tajam nan dingin berhasil mengoyak kulitnya. Gaunnya mulai basah, terasa lengket dan berbau anyir. Ia hanya bisa menganga kesakitan ketika belati itu menancap semakin dalam.
Saat itulah pintu kamar menjeblak terbuka, menampilkan Orthopera yang terkejut bukan main. Dengan cepat ia mempelajari situasi dan segera menyerang. Kepala si jubah hitam menoleh, menyadari bahwa target utamanya kini telah muncul.
Puas menusuk Kalyptra yang sudah tampak tak sadarkan diri, ia mencabut belatinya tanpa segan. Membuat Kalyptra ambruk ke lantai bersama bunyi berdebum. Darah menggenang di sekitarnya.
Dengan belati yang sama, orang itu menyerang Orthopera. Tentu Orthopera tak mau kalah tanpa perlawanan. Maka ketika si orang berjubah mendekat, ia mencoba melawannya. Sempat terjadi perkelahian sengit sejenak sejenak, mereka bahkan saling mendorong hingga punggung terbentur sana-sini. Hal yang Orthopera tak paham adalah mengapa sihirnya tak mempan padanya?
Berhasil mencari celah, si jubah hitam berhasil menerjang Orthopera tersungkur. Tak mau mangsanya kabur, si jubah hitam menindihnya. Lalu sebelum Orthopera sempat melakukan perlawanan lagi, sebuah belati sudah lebih dulu menancap di perutnya.
Orthopera mengerang kesakitan. Sedari tadi ia sudah mencoba melakukan komunikasi sihir kepada orang-orang terpercayanya. Sekarang tenaganya sudah habis, tetapi belum ada bantuan yang datang padanya.
Seketika darah mengucur deras, merembes dari balik pakaiannya dan mulai menggenangi lantai. Orthopera berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kesadarannya.
Dari sudut matanya yang tidak tertutupi kain, si orang berjubah tersenyum puas memandang wajah kesakitan itu. Netranya berkilat penuh dendam kala bertubrukan dengan milik Orthopera..
"Memalukan ...." Orthopera batuk darah. "Aku kalah dengan anak kecil." Ia tersenyum kecut. "Tumo, itukah kau?"
Tak ada jawaban, hanya kesunyian yang terdengar. Akan tetapi Orthopera bisa merasakan belati di perutnya semakin ditekan ke dalam.
Di ambang hidup dan mati, Orthopera terkekeh menyedihkan. Pikirannya berkecamuk tak karuan. Ada banyak hal yang ia ingin utarakan, tetapi dirinya tidak sanggup untuk mengutarakan semuanya.
"Mengapa ... kau tidak langsung membunuhku?"
Si orang berjubah itu tersenyum miring di balik kain yang menutupi wajahnya. Pandangannya licik. "Aku ingin anakmu menyaksikan orang tuanya sekarat di depan mata kepalanya sendiri. Sama seperti yang kualami ketika kau membunuh kedua orang tuaku."
"Kau sama saja dengan kedua keluargamu. Sama busuknya." Orthopera memaksakan diri untuk bicara. "Orang-orang seperti mereka memang pantas dihukum mati."
Geram, si orang berjubah mencengkram belatinya kuat. Masih belum terpikirkan untuk mencabutnya keluar. Tidak, ia harus menyiksa mereka. Tidak boleh langsung membunuhnya.
Orthopera meringis kesakitan. Kini ia sudah pasrah. Yang ada di kepalanya saat ini hanyalah Kalyptra dan Viona.
Hingga terdengar derap langkah kaki ramai di luar. Saat itu juga, Orthopera merasa lega bukan main. Siapa pun yang datang, ia harap dapat membantunya. Sementara itu si berjubah berdecih kesal. Ia mencabut belatinya, lantas bangkit dengan sigap. "Kuharap hidupmu berakhir."
Langkah besar dan gesitnya berhasil membawanya selamat. Karena tepat satu detik ia meluncur dari balkon, ada seseorang yang datang menyelamatkan Raja Orthopera.
Di saat yang bersamaan, seorang jendral kepercayaan Orthopera datang. Ia terlambat, sangat terlambat. Karena kini ia di hadapkan dengan pemimpin negeri ini yang terletak bersimbah darah. Walau sudut matanya menangkap bayangan hitam melompat turun dari balkon, ia langsung menaruh perhatian penuh pada raja.
"Kau lama sekali," gumam Orthopera setengah sadar.
"Bertahanlah. Aku akan membawa kalian ke—"
"Jangan, Ryno." Orthopera memejamkan mata. "Bawa kami ke dunia Kalyptra."
Jendral Ryno membelalak. Ia ingin menolak untuk ke sana, karena bagaimana pun dimensi lain itu termasuk tempat pribadi bagi raja dan ratu. Tetapi ia tidak bisa menolaknya.
Ia pernah sekali diajak raja oleh pergi ke dimensi lain itu, walau hanya di dalam kamar untuk mendiskusikan sesuatu pribadi. Jendral Ryno masih sangat asing dengan dimensi itu.
Sambil membopong Orthopera berjalan memasuki lemari, ia meminta seorang pelayan untuk membawa Kalyptra dan ikut ke dimensi lain. Pelayan itu tampak keberatan, namun tidak berani membantah. Sisanya, mulai membereskan kekacauan di kamar itu.
Setelah masuk ke dalam portal, merasakan perpindahan antar dimensi, dan sampai di dunia lain yang tampak sangat berbeda, Jendral Ryno merasa sangat pusing. Ia masih tidak terbiasa dengan portal itu. Namun demi rajanya, ia berhasil membopong mereka dengan selamat. Untung saja pelayan di belakangnya juga berhasil membopong Kalyptra walau tampak kacau setelah perpindahan tadi.
Tak ada tangan yang menganggur, Jendral Ryno mendorong pintu kasar dengan kaki. Terseok-seok, ia membawa raja keluar. Darah-darah berceceran. Pria itu merutuk ceroboh dalam hati, seharusnya ia membalut lukanya lebih dulu tadi.
Begitu berhasil keluar dari kamar, langkah Jendral Ryno terhenti kala melihat seorang remaja cantik dengan seragam sekolah berdiri di hadapan mereka. Air mukanya tampak percampuran dari berbagai emosi. Wajahnya pucat pasi saat mendapati darah berceceran, terlebih ia tahu dari mana darah itu berasal.
Jendral Ryno tertegun sejenak. Putri Viona ....
"Ayah, ibu ...." Matanya mulai berlinang. Sebagai bentuk pertahanan diri, ia mengambil benda terdekat dan mengacungkannya pada orang asing itu. "Siapa kalian?!"
"Viona ...," gumam Orthopera yang membuat sang empunya nama menoleh. "Bawa kami ke mobil, panggil Pak Iwan, suruh ia menyetir ke rumah sakit."
"T-tapi, Ayah—"
"Jangan membantah!"
Tak hanya Viona, Jendral Ryno pun terkejut mendengar bentakkan itu. Dengan situasi yang masih tak dipahaminya, Viona menurut. Air matanya luruh. Sambil menangis, ia minta tolong kepada tetangganya. Sebelum akhirnya ia melesat ke rumah sakit.
Adalah hal yang canggung ketika Jendral Ryno dan si pelayan tampak asing dengan semua ini, tapi mereka diam saja. Sementara, Viona remaja memiliki pikiran yang sama dengan Pak Iwan. Mempertanyakan siapa kedua orang itu dan mengapa pakaiannya tampak aneh.
Setelah menempuh perjalanan, mereka sampai di rumah sakit. Jendral Ryno masih setia menemani walau ia tak paham dengan bahasa di dimensi ini.
Sampai di suatu momen ketika ranjang dorong membawa Orthopera masuk ke dalam ruangan untuk mendapat perawatan lebih lanjut, Jendral Ryno membelalak dengan apa yang dikatakan raja itu.
"Samarkan ingatan anakku," lirihnya. "Tolong."
Sebelum Jendral Ryno sempat membalasnya, ranjang itu lebih dulu masuk ke dalam ruangan, pun dengan milik Kalyptra. Ia belum melakukan apa yang diamanahkan raja sampai ia sadar bahwa momen dan perkataan tadi adalah hal terakhir yang ia lihat serta dengar dari Orthopera.
Mereka meninggal kehabisan darah, menyisakan pilu bagi keluarga yang ditinggalkan, khususnya Viona. Mereka lebih dulu pergi, bahkan sebelum Kalyptra sempat mengungkapkan rahasia kecil pada anak satu-satunya itu.
Selanjutnya, Jendral Ryno berusaha keras. Ia memodifikasi ingatan orang-orang yang terlibat, termasuk Viona.
Semuanya berakhir. Banyak hal-hal ganjil dan samar yang diingat Viona, rasanya seperti mimpi buruk. Tetapi, ini adalah kenyataan pahit yang sangat cepat terjadi. Seolah ia melompati waktu, tiba-tiba kini ia sudah berdiri di samping nisan kedua orang tuanya dengan air mata yang membasahi wajah.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
bagian ini kutulis dengan penuh emosi, yang kuharap sampai ke kalian. semoga suka.
ini bagian terakhir ruang kisah. seperti sebelumnya, kalian bisa tulis di komen jika masih ada peristiwa yang masih mengganjal yang barangkali lupa atau tertinggal saat kutulis. nantinya akan kurevisi lagi saat projek ceritaku yang lain kelar.
sudah itu saja—oiya, baru ingat
apa kalian bisa membayangkan bagaimana syoknya viona ketika dia bangun di ulang tahunnya yang ketujuh belas dan mendapati irisnya berubah warna? ;-;
atau apa ada dari kalian yang ingin menyampaikan sesuatu pada tokoh-tokoh dalam bagian ruang kisah? silakan tulis unek-unek kalian 😂
sudah, itu saja.
terima kasih sudah main ke cerita ini, ya! kalau mau ketemu aku lagi, mari pindah ke cerita di sebelah. aku tulis teenfic loh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top