༺ Ruang Kisah ༻
[Ruang Kisah - Rencana Mauve]
.
.
.
"DIA tabib terakhir, Tuan."
Salah satu pengawal kerajaan memperkenalkan seorang tabib yang datang untuk menyembuhkan Raja Carlton. Pria yang dipanggil 'Tuan' itu menilai sang tabib dari atas hingga bawah. Ia mengangguk sekilas lalu berkata, "Masuklah."
Si Tabib menunduk hormat dan izin untuk memasuki ruangan. Mereka tak perlu khawatir jika tabib tersebut bertingkah yang tidak-tidak, sebab ada beberapa pengawal yang mengawasi di dalam sana.
Sebenarnya, pria yang dipanggil 'Tuan' ini adalah seorang kepercayaan raja: kaki-tangannya raja, bisa dibilang begitu. Namanya adalah Voi. Maka ketika beliau sakit, dirinyalah yang dipinta untuk mencarikan tabib yang sekiranya bisa menyembuhkan penyakitnya.
Voi menutup pintu setelah sang tabib masuk. Wajah ramahnya perlahan berubah, ia menatap si pengawal kesal. Ia merendahkan tubuhnya, mencoba mengintimidasi. Itu berhasil, lawan bicaranya menunduk takut.
"Apa itu betul-betul yang terakhir?!" geramnya tertahan.
"I-iya, dia yang terakhir, Tuan," jawab sang pengawal tertahan.
Voi menegakkan badannya kembali dan berdeham pelan. Ia melonggarkan raut wajahnya. "Bagus. Sekarang pergilah. Jika ada tabib yang datang, tolak mereka."
Pengawal itu mengangguk patuh dan segera menghilang dari pandangannya. Voi menghela napas kesal. "Menyusahkan saja."
Kembali pria itu mengendalikan dirinya, bersikap tenang dan berwibawa. Ia memasuki ruangan yang merupakan kamar pribadi raja. Setelah melambaikan tangan sebagai tanda menyuruh pengawal untuk keluar, Voi memasang wajah khawatir. Ditatapnya tabib serta raja yang terbaring lemah bergantian seolah dia adalah orang yang paling sedih sedunia.
"Bagaimana keadaannya?"
Sang tabib menoleh sekilas. Sekali lagi ia memeriksa bagian vital tubuh raja seperti nadi, leher, dan denyut jantungnya. Lantas menggeleng. "Memburuk."
"Aku tidak pernah menangani penyakit seperti sebelumnya," lanjut si tabib, masih dengan pikiran menerka-nerka. "Menurutku ini penyakit langka. Secara fisik, ia sama sekali tidak menujukkan gejalanya. Namun, bagian dalam tubuhnya mulai rusak perlahan. Detak jantungnya tak beraturan."
"Kurasa beliau terkena kutukan," terkanya. "Atau tak sengaja meminum racun."
Voi menegang seketika. Tetapi buru-buru ia merelaksakikannya kembali saat mendapati tabib itu hendak menaruh curiga seketika.
"Apa kau bercanda? Raja tak mungkin meminum racun."
"Iya jika saja tidak ada yang secara sengaja menaruh sesatu pada makanan ataupun minumannya."
Ah, seharusnya ia tak perlu menjawabnya tadi. Sekarang posisinya terancam.
"Jadi, apakah bisa disembuhkan?"
"Aku tak yakin. Tapi mari kita berharap yang terbaik."
"Baiklah, sekarang kau boleh pergi."
"Eh? Tetapi bagaimana dengan beliau?" Pandangan sang tabib menoleh khawatir sekilas pada pemimpin negeri ini yang tengah terbaring.
"Itu urusan kami. Kami akan mencari tabib lain," jawab Voi tegas. "Kau bisa kembali sekarang, silakan."
"Ta-tapi—"
Melihat tabib itu hendak menentang, Voi lebih dulu mengangkat tangannya dan membuat dua pengawal tergerak untuknya. Seolah paham, mereka berdua menghampiri tabih itu dan mengajahknya.keluat secara paksa. Namun, tabib itu memberontak.
"Aku bisa sendiri," katanya kemudian. Ia merasakan ada sesuatu yang tak beres di sini tetapi tidak tahu apa. Maka ketika ia melewati Voi, ia berjalan begitu saja tanpa ada sedikitpun penghormatan.
Voi menghela napas pelan. Tadi itu ... hampir saja.
Sudah seharian ini mereka mencari tabib untuk menyembuhkan raja, tetapi tak ada satu pun yang bisa. Kebanyakan dari mereka berkata hal serupa: 'penyakit langka' atau 'belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya'.
Hingga langit di luar berubah jingga dan mereka belum menemukan satu tabib pun. Di lubuk hatinya yang paling dalam, Voi merasa resah sekaligus senang. Resah karena gugup sebentar lagi waktunya tiba. Senang karena akhirnya waktu yang telah ditunggu- tunggu tiba. Peristiwa yang memang akan mengaduk-aduk perasaannya.
Di saat ia tengah melamun sejenak sambil menatap raja yang terbaring dengan senyum miris, seorang pelayan datang dan berkata, "Tuan, tempatnya telah siap."
Voi balas mengangguk. "Bawa raja ke sana, kita akan lakukan sekarang," perintahnya tegas. "Dan pastikan tidak ada tabib lagi yang datang ke sini."
***
"Tolonglah. Aku ingin sekali bisa merawat Yang Mulia. Dia berjasa sekali bagiku, aku ingin membantunya."
Kedua pengawal saling bertatapan, bertukar pikiran. Dipandangnya tabib perempuan dengan iris ungu itu dari atas hingga bawah. Perempuan itu memang tampak seperti tabib, namun masalahnya, perintah untuk jangan-menerima-tabib-lagi dari Tuan Voi baru saja diterima mereka.
"Tapi, Nona—"
"Apa kau tidak bisa memberiku kesempatan? Aku datang dari jauh sekali hanya agar bisa menyembuhkan Yang Mulia Raja. Jika pada akhirnya aku tak bisa, setidaknya aku bisa langsung mendoakan beliau."
Kedua pengawal itu terdiam. Mereka dilanda dilema sekarang. Di satu sisi, tabib ini tampak sungguh-sungguh dan mereka merasa kasihan sebab ia telah datang dari jauh. Di sisi lain, mereka tidak bisa menentang perintah Tuan Voi.
Akan tetapi pada akhirnya ....
"Baiklah, silakan masuk."
Seorang pengawal yang berdiri di sebelahnya membelalak tak percaya, pandangannya tampak memperingati temannya. "Apa-apaan—?"
"Terima kasih!"
Si pengawal yang mengizinkan balas mengangguk pada sang tabib yang tampak senang. Setelah melihat tabib perempuan itu melenggang masuk, barulah ia membalas perkataan temannya.
"Biarkan saja. Jika Tuan Voi marah, salahkan dia. Lagi pula, dia yang memaksa masuk."
Sekarang, mari kita beralih pada si tabib muda tadi. Dengan seorang pelayan yang menemaninya untuk menunjuk arah, mereka mulai melewati koridor kerajaan.
Sebetulnya ia tidak yakin dengan kemampuan menyembuhkannya sendiri, jika boleh jujur, ia bahkan tidak memiliki bakat itu. Namun entah mengapa, intuisinya menuntut agar ia melihat raja dengan mata kepalanya sendiri. Dan firasatnya mulai tidak enak semenjak kedua pengawal tadi melarangnya masuk.
"Ngomong-ngomong, dari mana kau berasal?"
Tabib itu menoleh sekilas. "Dari pulau yang sangat jauh. Kau pasti bertanya demikian karena warna mataku, bukan?"
"Jujur saja. Warna mata Nona mengingatkanku dengan seseorang, dan hanya dia satu-satunya orang di sini yang memilikinya."
Si tabib mengulas senyum tipis. "Dan sekarang, di mana ia?"
"Entahlah. Bukan urusanku."
Apa ia tidak sadar bahwa orang yang dimaksudnya kini tepat berada di sampingnya?
Tabib itu merapatkan jubahnya, sedikit menurunkan topinya, dan memalingkan wajah sebelum tersenyum miris.
Ternyata posisinya di sini memang tak pernah akan berubah. Tidak dipedulikan dan tak berharga.
Setelah perbincangan singkat itu, mereka berdiri tepat di sebuah persimpangan koridor. Pelayan itu berkata, "Tunggulah di sini. Kami sedang mengururs raja untuk sesuatu pribadi. Kau harus menunggu."
Setelah melihat tabib itu mengangguk dan memastikannya paham, sang pelayan bergegas pergi.
Koridor tampak sepi dari sini. Mempunyai firasat bahwa pelayan itu akan datang lama, tabib itu bersandar pada dinding. Kepalanya menoleh pada persimpangan koridor di sisi lain yang sesekali tampak cukup banyak pengawal berlalu-lalang.
Merasa tak ada yang memperhatikan dirinya, ia melepas topi lusuhnya, membuat rambut hitamnya terurai bebas. Ia menghela napas.
"Kutandai pelayan tadi, aku sakit hati."
Pikiran kalian pasti tertuju pada satu nama, dan tentu saja itu benar. Tabib wanita ini adalah Mauve.
Mauve sendiri juga tak paham bagaimana ia sama sekali tidak dikenali oleh seorang pun. Namun, ia juga bersyukur karena penyamarannya berhasil dan ia bisa memasuki kerajaan.
Jujur, ketika pertama kali sampai di pulau ini, Mauve sama sekali tak tahu harus apa atau ke mana. Tetapi ketika ia mendengar kabar bahwa kerajaan mencari tabib yang bisa menyembuhkan raja, ide penyamaran ini terlintas begitu saja.
Dan di sinilah ia, berusaha memperjuangkan hak untuk anaknya.
Seingat Mauve, cuaca sedang cerah di luar. Oleh karena itu, suara gemuruh yang terdengar tiba-tiba cukup mengagetkannya.
Ia mengikat rambutnya dan memakai topinya kembali, lalu menuju jendela terdekat. Benar saja, cuaca cerah sedang bertransformasi kelabu di atas sana. Awan mendung mulai berdatangan. Sepertinya akan turun badai.
Sadar ia tak bisa terus menunggu di sini, Mauve mulai mencari akal. Ia tak bisa berlama-lama di sini, harus bergegas. Tetapi setelah puluhan menit kemudian, pelayan itu tak menampakkan batang hidungnya juga. Jadi, jangan salahkan ia mulai tergerak untuk mencari tujuannya sendiri.
Ketika ia memutuskan untuk meninggalkan tempat ia berdiri, di saat yang bersamaan terdengar ramai dari sisi lain koridor. Para pengawal tampak berjalan cepat, pun beberapa pelayan. Entah mengapa, Mauve menjadi penasaran.
Dan berubahlah tujuannya. Dari mencari raja, menjadi mengikuti kemana para pengawal dan pelayan itu pergi.
Mauve tinggal di sini sudah cukup lama, jadi dengan mudah, ia mencari tahu tujuan hiruk-pikuk itu melewat koridor yang aman dan sepi sambil sesekali mengintai mereka.
Setelah beberapa saat mengikuti, Mauve berhenti sejenak dan bersembunyi di balik dinding. Rupanya, mereka keluar-masuk dari pintu besar yang (tampaknya) menuju bawah tanah. Mendadak, firasat Mauve menjadi tak enak.
Ia sangat penasaran sekarang. Maka, setelah para pengawal maupun pelayan tampak mulai berkurang melewati pintu itu, Mauve bergerak cepat. Ia menyusup masuk dengan mudah sebab pintu terbuka lebar.
Jujur, selama ini di sini, ia belum pernah melihat bahwa ada ruang seperti ini di kerajaan. Tempat ini betulan bawah tanah. Sebab ketika Mauve mencapai pintunya, yang terlihat hanyalah tangga lebar yang menuju ke bawah, sangat minim cahaya.
Mauve menyempatkan diri untuk menoleh ke sekitarnya sebelum benar-benar masuk. Langkahnya cepat nan hati-hati, pun berusaha untuk meminimalkan suara dari sepatunya. Setelah menuruni beberapa anak tangga, beruntungnya ia menemukan sebuah celah sempit yang bagus untuk bersembunyi sebentar. Letaknya cukup tidak terjangkau oleh mata, bahkan Mauve sempat melewatkannya tadi.
Kebetulan sekali, tak lama setelah Mauve bersembunyi, ada seorang pengawal masuk dan menutup pintunya. Membuat jarak pandang semakin terbatas karena kurang pencahayaan. Jantung Mauve berpacu cepat. Di saat seperti ini ia sangat mengandalkan pendengarannya.
Mauve mematung, bahkan menahan napasnya. Sedikit panik karena deru jantungnya akan terdengar sebab suasana di luar celah sangat sunyi. Langkah kaki terdengar jelas menuruni anak tangga.
Mauve takut sekali ketika mendengar langkah kaki itu berhenti di dekatnya. Ia pikir dirinya akan ketahuan. Namun rupanya, orang itu hanya mengambil obor yang tak jauh darinya. Barulah wanita itu bernapas lega tatkala melihat bayangan penerangan berjalan menjauh, yang menandakan bahwa pengawal itu sudah tak lagi di sini.
Mauve melonggarkan tubuhnya sedikit. Perlahan ia keluar dari celah sempit itu dan menghirup udara banyak-banyak. Sungguh, di dalam sana panas sekali. Rasanya ia bisa saja mati kepanasan jika terlalu lama berada di dalam celah itu.
Untuk menghindari kecelakaan, Mauve mencari aman dengan berjalan berpegangan pada dinding, lebih dekat dengan penerangan obor juga. Tetapi sebetulnya ini sedikit berbahaya karena bayangan tubuhnya bisa saja tertangkap oleh penjaga di sini. Oleh karena itu, Mauve tak mengurangi kewaspadaan dirinya.
Struktur tempat ini persis seperti batu, atau memang dengan batu-lah tempat ini terbuat. Dindingnya terasa sangat dingin saat telapak tangan Mauve berpegangan padanya. Suhu di sini juga terasa rendah alih-alih panas, lembap, licin, bahkan Mauve mendapati lumut tumbuh di pojokkan dinding.
Kondisinya mengingatkannya pada penjara bawah tanah (Mauve pernah ke sana sekali). Akan tetapi, sepertinya semua ruang bawah tanah di kerajaan memiliki struktur seperti ini. Dan hawa dinginnya mungkin saja datang dari sungai yang tak jauh dari sini.
Selepas menuruni tangga yang Mauve sadari bentuknya melingkar, Mauve menemukan lorong panjang dengan persimpangan di hadapanya. Seketika dirinya menjadi was-was. Di sekitar sini tak ada tempat persembunyian yang bagus, sementara seseorang bisa datang kapan saja dari atas sana. Karenanya, ia harus segera memutuskan dan bergegas.
Sebetulnya Mauve ragu ke mana ia harus bergerak, dirinya kehilangan jejak pengawal yang membawa obor tadi. Akan tetapi ia kembali beruntung, karena dari lorong sebelah kirinya ia melihat orang itu baru saja lewat dan berbelok ke sisi lain. Tanpa berpikir panjang, Mauve segera mengikutinya.
Demi keamannnya, ia menyisakan jarak antara dirinya dan si pengawal agar tak ketahuan, lantas mengikuti dengan langkah pelan. Sepertinya Mauve sudah gila. Dirinya bisa saja ketahuan kapanpun, mengikuti secara terbuka seperti ini sangatlah bahaya. Tetapi ia tetap mengikuti.
Selama Mauve berjalan dan mengamati ke mana tujuan pengawal itu, Mauve menyadari bahwa banyak sekali ruangan-ruangan tua di sini. Persimpangan yang sering ia temui bukanlah hanya sekadar persimpangan, tetapi itu adalah jarak untuk memisahkan satu ruangan dengan ruangan lain. Kira-kira setiap kurang lebih tujuh meter sekali ia menemui persimpangan, dan sedari tadi ia hanya berbelok-belok mengikuti pengawal itu. Jalan tempat ini seperti labirin.
Sial, Mauve lupa menandai lorong yang telah dilaluinya tadi. Sepertinya ia akan tersesat saat akan kembali nanti.
Setelah berjalan cukup lama, tanpa diduga pengawal itu mendadak berhenti. Dengan panik, Mauve segera melangkah mundur dan bersembunyi di persimpangan sebelumnya. Beberapa detik kemudian, ia mencuatkan sedikit kepalanya, memantau pengawal itu takut-takut.
Dalam radius beberapa meter, Mauve bisa melihat pengawal itu berhenti di depan sebuah pintu berdaun dua yang cukup besar. Sepertinya adalah pintu terbesar yang ia lihat di sini. Ia meletakkan obornya pada dinding, sebelum akhirnya mulai masuk ke dalam sana. Pintu tertutup pelan setelahnya.
Dengan rasa penasaran yang masih sama, Mauve mencoba untuk mendekati ruangan itu. Namun lagi-lagi niatnya terurung saat terdengar suara langkah kaki lain dari lorong di belakangnya. Secepat mungkin ia bersembunyi di lorong lain yang cukup jauh.
Dan benar saja, ada dua orang pria datang tak lama kemudian. Namun ada yang aneh. Mauve mengenali salah satunya adalah pengawal kerajaan. Tetapi satu pria lain yang datang bersama pengawal itu membuatnya terkejut.
Jubah panjang, topi lebar, tubuh pendek namun tegap, dan jenggot putih tipis. Mauve tak salah mengenali, bahwa ia adalah salah satu penyihir ternama di masa ini, selain Raja Carlton sendiri tentunya. Tetapi ia melupakan namanya.
Mauve melongo. Pasalnya, raja tak pernah dan tak suka mengundang penyihir lain ke istana. Baginya, hanya dialah penyihir terhebat di dunia ini. Itu tak salah, sebab hanya Raja Carlton-lah satu-satunya penyihir yang punya sihir murni. Bukan mempelajarinya, maupun meminjam kekuatan dari Kegelapan.
Mauve semakin tidak mengerti ketika kedua orang itu masuk ke dalam ruangan yang sama dengan pengawal awal. Bisa dirasakannya bahwa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Sebetulnya Mauve sedikit ragu sekarang. Tetapi karena dia sudah di sini, maka sekalian saja.
Entah sejak kapan, hal ini menjadi tampak menarik untuk diselidiki. Dengan langkah pelan nan senyap bagai pencuri, Mauve mulai mendekati pintu itu. Dirinya sama sekali tak gemetar saat ini, ia bahkan heran dari mana mendapatkan keyakinan ini. Ia tak paham, tetapi yang terpenting Mauve merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah benar.
Tanpa mengurangi kewaspadaan, ia mulai membuka pintu itu, mengintai sejenak, dan masuklah Mauve ke dalamnya. Gelap. Pandangannya mencoba untuk menyesuaikan sejenak dengan kondisi, sementara pencahayaan hanya datang searah dari sisi kirinya.
Jika dilihat sekilas, tempat ini termasuk dalam ukuran besar. Tetapi ia bisa lihat ada lorong buntu tepat di depan dan sebelah kirinya. Sementara, ada pagar pembatas batu dan tangga menuju ke bawah.
Mauve mencoba untuk melihat ke mana tangga itu, maka mendekatlah ia pada sebuah pilar besar yang menopang ruangan ini. Tetapi sebelum ia melihat ke bawah, pandangannya malah beralih fokus ke langit-langit.
Ada lubang besar di sana, langsung menampilkan langit yang tampak kelabu. Mauve kehabisan akal untuk berpikir mengapa langit-langitnya terbuka padahal sudah terlihat tanda-tanda akan badai?
Detik itu juga, Mauve menoleh ke bawah. Tak habis-habisnya membeku dengan apa yang ia lihat di sini. Dan satu-satunya pemikiran yang terlintas di kepalanya adalah: ini gila!
Seolah sebelumya Mauve tuli, kini ia baru menyadari bahwa ada ramai di bawah sana. Ada obor besar yang menyala di setiap sudutnya untuk menerangi. Terlihat beberapa pengawal dan pelayan yang dapat dihitung dengan jari berdiri untuk menjaga dan membantu. Di bawah sana juga, Mauve melihat si penyihir tengah berbincang dengan Tuan Voi.
Tuan Voi? Bukankah ia orang kepercayaan raja?
Bersamaan dengan firasatnya yang mulai merasa tak beres, Mauve menajamkan pengelihatannya. Darahnya membeku ketika menyadari bahwa ada empat orang wanita di sana. Ia tak mungkin salah mengenali kalau mereka adalah keempat selir kerajaan.
Seolah itu semua belum cukup membuatnya mematung, Mauve mendapati hal lain yang membuatnya sampai menutup mulutnya agar tidak kelepasan berteriak. Hatinya terasa sesak melihat Raja Carlton yang terbaring lemah di atas ranjang yang terletak tepat di bawah lubang raksasa pada langit-langit. Tubuh Mauve lemas memikirkan kemungkinan apa yang sedang terjadi di sini.
Ini gila, sangat gila.
"Hei, apakah semua sudah siap? Ayo kita lakukan sekarang juga!"
Mauve ikut tersentak dengan seruan Tuan Voi barusan. Refleks, ia membalikkan tubuh, bersembunyi sepenuhnya di balik pilar.
Sahutan terdengar tak lama setelahnya. Mauve belum bisa melihat apa yang mereka lakukan sekarang. Dirinya banyak terkejut, kini ia mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum memikirkan rencana apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Ya, ia harus melakukan sesuatu.
Entah hanya perasaan Mauve saja atau memang sekitarnya mulai menggelap, seperti obor-obor telah dimatikan, membuat suasana remang-remang. Tak lama setelahnya, dingin mulai menjalari isi ruangan ini. Mauve sangat bisa merasakan perubahan yang tengah terjadi.
Mauve mencoba memberanikan diri ketika ia merasa sudah siap untuk melihat hal yang berlangsung di sana. Betapa terkejutnya ia kala baru menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah ritual sakral.
Oh, Tuhan. Ini Upacara Pemindahan Kekuatan.
Mauve baru ingat dengan sebuah buku yang pernah ia baca mengenai hal ini. Bahwa, siapa pun yang memiliki sihir harus memindahkan sihir mereka ke wadah lain agar jasadnya bisa diterima dengan baik oleh bumi. Sebab, sihir bisa membuat membuat jasad mereka kekal di dalam tanah. Yang paling buruk, sihir itu bisa saja menjadi boomerang bagi mereka, atau menjelma jadi kekuatan jahat yang memiliki pemikiran sendiri
Mauve juga tidak begitu paham dengan detailnya. Tetapi satu pertanyaannya saat ini: apakah Raja Carlton sudah tiada sampai mereka melakukan hal ini?
Atau, Raja Carlton sebetulnya masih hidup—hanya berpenyakitan, tetapi mereka memaksa untuk melakukan ritual ini?
Pertanyaan terakhir membuat bulu kudukknya meremang.
Jika itu benar, maka sepertinya Mauve paham mengapa firasatnya mengatakan ada banyak hal yang tak beres di sini. Sejak awal ia masuk, hingga sampai di sini, semuanya memang sudah ganjil.
Bahwasanya, ada seseorang yang sudah merencanakan ini semua. Tamak, serakah, haus kekuasaan dan harta.
Tidak, tidak hanya 'seorang'. Tapi 'beberapa'.
Mauve menatap Tuan Voi, Afina, Flanna, Haimi, dan Yin dengan tajam. Ada kilatan api di matanya, perasaan membara di dadanya.
Wanita itu tahu persis apa yang mereka incar, dan tentu saja Mauve takkan tinggal diam, ia akan mengambil 'bagiannya'. Persetan dengan Raja Carlton. Toh, seumur hidupnya ia hanya bisa melukai harga diri Mauve.
Kini tidak akan ada kebaikan dan toleransi lagi, Mauve bersumpah untuk mengacaukan ritualnya. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya, dan ia akan mendapatkan 'bagiannya'.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
hai, aku mau update banyak hehe.
btw sekadar informasi. aku mengupdate ruang kisah di pertengahan tahun 2021, sementara, epilognya sudah keluar ketika tahun baru.
agak aneh memang, kuakui. walau secara keseluruhan cerita tidak ada masalah, kuharap kalian tidak bingung dengan author notenya, hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top